#menerawang lebih dalam#

Pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit (Pasal 1 UU 4/1998) :

 Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
Kreditur dan atau para kreditur
Kejaksaan untuk kepentingan umum
Bank Indonesia jika menyangkut debitur yang merupakan Bank
Badan Pengawas Pasar Modal jika menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek
Dalam praktek MA beberapa putusannya memberikan dalil atau ketentuan bahwa:
a.Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan, asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian mareriil yang menjadi dasar gugatan (MA 15 Maret 1970 No. 547/K/Sip/1972)
b.Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas ( MA 21-11-1970 N0 492 K/Sip/1970
c.Pihak-pihak yang beracara harus dicantumkan secara lengkap  (MA 13-5-1975 No 151 K/Sip/1975 )
d.Khusus mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak tanah, batas-batas, ukuran /luas tanah ( MA 9-7-1973 No 81 K/Sip/1971 )
e.Gugatan yang ditujukan terhadap lebih dari seorang tergugat  yang diantara tergugat-tergugat tidak ada hubungan hukumnya maka tidak dapat disatukan dalam surat gugatan  ( MA 27 Juni 1979 no. 415 K/Sip/1975)
f.Gugatan yang tidak sempurna karena tidak menyebutkan dengan jelas  hal-hal yang dituntut , harus dinyatakan tidak diterima (21 -11-1970 No. 492.K/Sip/1970)
g.Tuntutan subsidiair dapat dikabulkan asal masih dalam kerangka petitum primair (MA 140 K/Sip/1971, 12-8-1972)

Tugas/kewajiban pokok Hakim (UUPKK 4/2004)

 
1.Pasal 1, Pasal 3 (2) : Menerima, memeriksa mengadili atau menyelesaikan perkara
2.Pasal 4 (1) :  dilakukan       Demi Keadilan berdasarkan KeTuhanan  Yang Maha Esa
3.Pasal 5(1)  : hakim mengadili menurut hukum  
4.Pasal 5(2): hakim wajib membantu para  pencari keadilan dan berusaha keras  mengatasi hambatan dan rintangan.     
5.Pasal 16 (1) hakim tidak boleh menolak untuk mengadili dengan alasan hukumnya tidak ada/kurang jelas, tetapi hakim wajib mengadili
6.Pasal 28 (1) (ex ps 27) : hakim wajib menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
7.Pasal 29 ayat 3 : Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ke 3, atau hubungan suami/istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera  
8.Pasal 29 ayat 5: Hakim atau panitera wajib mengundurkan  diri apbl. Mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dg. perkara yang sedang diperiksa
9.Pasal 19 (4):  dalam sidang permusyawaratan, hakim  wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari putusan
10.Pasal 19 (5) Pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan jika tidak tercapai mufakat (dissenting opinion)
11.Pasal 32: Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman dibidang hukum.
12.Pasal 33: Hakim wajib menjaga kemandirian pengadadilan.

Masalah BUMN, Administrasi kekayaan negara, Akuntanbilitas kekayaan negara

Oleh : Bpk. Budi Agus (dosen FH Uii)
•MASALAH POKOK BUMN
§Kekayaan negara bisa diklasifikasikan menjadi 4 kategori :
1.Kekayaan yang diperoleh melalui APBN
2.Yang dipisahkan Dan masuk dalam BUMN
3.Yang dikelola BPPN akibat krisis moneter
4.Anugrah Yang Maha Esa diwariskan oleh nenek moyang
§Masalah pokok yang terkait dengan kekayaan negara adalah : pencatatan dan pengadministrasian, utilitas dan aspek pengelolaannya dan akuntabilitas para pengelola kekayaan negara
•ADMINISTRASI KEKAYAAN NEGARA
§Kenyataan di lapangan masih sering menunjukkan :
a.Akurasi pencatatan dan adminitrasi kekayaan  negara yang berasal dari APBN masih  diragukan mengingat banyaknya kasus-kasus yg menyelimuti keberadaan kekayaan negara
b.Nilai kekayaan negara di BUMN masih siur
c.Nilai kekayaan yang dikelola BPPN juga penuh dengan kontroversi yang sampai dengan saat ini membingungkan masyarakat
§Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP) tidak Cuma mencatat aset-aset milik negara, tapi juga mencatat hutang negara secara akurat dan tepat waktu.
§Kemajuan teknologi mengharuskan setiap negara untuk menerapkan Fund Accounting yang baik
•ADMINISTRASI KEKAYAAN NEGARA
§Kenyataan di lapangan masih sering menunjukkan :
a.Akurasi pencatatan dan adminitrasi kekayaan  negara yang berasal dari APBN masih  diragukan mengingat banyaknya kasus-kasus yg menyelimuti keberadaan kekayaan negara
b.Nilai kekayaan negara di BUMN masih siur
c.Nilai kekayaan yang dikelola BPPN juga penuh dengan kontroversi yang sampai dengan saat ini membingungkan masyarakat
§Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP) tidak Cuma mencatat aset-aset milik negara, tapi juga mencatat hutang negara secara akurat dan tepat waktu.
§Kemajuan teknologi mengharuskan setiap negara untuk menerapkan Fund Accounting yang baik
•AKUNTABILITAS KEKAYAAN NEGARA
§Akuntabilitas kekayaan negara sangat terkait dengan sistem dan budaya politik yang dianut, landasan hukum, SAP, profesionalitas dan integritas dari para penyelenggara negara
§Akuntabilitas merupakan wujud pertanggungjawaban politik dan hukum penyelenggara negara terhadap kewenangan dan mandat yang diberikan rakyat. Lemahnya SAP, lemahnya landasan hukum serta rendahnya integritas pengelola kekayaan negara akan menjadikan kekayaan negara bukan sebagai sumber daya yg optimal melainkan sebagai pemborosan.
•Pengelolaan Keuangan Negara yang Sehat
§Reformasi di bidang pengelolaan kekayaan negara melalui penyusunan SAP yang sehat akan memberikan manfaat :
a.Memungkinkan pengelolaan kekayaan negara yang transparan, akurat, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan
b.Mencegah dan meminimumkan kebocoran
c.Mempermudah ditemukannya adanya penyimpangan dan dapat dipakai untuk pengukuran efisiensi
d.Membantu apabila pemerintah ingin memperoleh sumber-sumber pembiayaan dari masyarakat melalui obligasi
e.Membantu wujud pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat
f.Memberi contoh kepada masyarakat atau swasta tentang good public government dan tidak hanya menuntut good corporate government dari mereka

PRIVATISASI BUMN

Oleh : Bpk Budi Agus (dosen FH Uii)

§Tujuan dari privatisasi  BUMN antara lain :
1. Memberikan kesempatan kepada BUMN untuk melakukan direct place-ment dan go public
2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas BUMN dalam rangka menghadapi persaingan di pasar global dan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat  berperan serta dalam pemilikan  saham BUMN.
§Pasar Modal dan Democratization of Capital
1. Pasar modal bertujuan menunjang pembangunan nasional dalam rangka pemerataan, pertumbuhan. dan stabilitas ekonomi nasional.
2. Pasar modal berfungsi menghimpun dana yang dapat digunakan untuk sumber pembiayaaan bagi dunia usaha.
3. Keberadaan pasar modal dapat dimanfaatkan oleh perusahaan berskala besar, menengah maupun kecil baik swasta maupun BUMN.
4. Pasar modal juga sebagai wahana penyebarluasan pemilikan saham (democratization of capital)
5. Pasar modal juga memberikan manfaat dalam peningkatan efisiensi perusahaan
§Peran BUMN dalam Pasar Modal
1. Tahun 1977, BUMN dipercaya untuk membantu pengembangan pasar modal , yaitu melalui PT Danareksa.
2. Partisipasi BUMN diharapkan lebih ditingkatkan lagi dengan aktivitas BUMN sebagai emiten. Partisipasi emiten di pasar modal akan meningkat Dan terus meningkat sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam rangka privatisasi BUMN.
3. Sejalan dengan kebijakan privatisasi, khusunya melalui pasar modal peranan yang lebih besar bagi BUMN sebagai emiten dalam pengembangan pasar modal di masa datang, merupakan suatu kenyataan yang tidak sulit dicapai.
BUMN sebagai badan usaha mempunyai peranan yang sangat besar dalam menciptakan likuiditas pasar mengingat pada umumnya BUMN memiliki asset yang besar.
BUMN dapat pula mempengaruhi perkembangan pasar modal karena faktor daya tarik BUMN bagi masyarakat.
Dengan masuknya BUMN ke pasar modal diharapkan akan berdampak positif terhadap pengembangan pasar modal di Indonesia
Semakin banyak BUMN yang Go Public, diharapkan akan menciptakan iklim yang semakin baik bagi pengembangan pasar modal yang pada akhirnya akan meningktakan efisiensi ekonomi nasional.
§Hambatan Privatisasi :
1. Menyangkut kultur  dalam BUMN itu sendiri. Hampir di semua lini dan level dalam BUMN, mulai dari tingkat menteri hingga jajaran direksi berperilaku sebagai pemegang saham di samping fungsi-fungsi lain yang dimiliki pemerintah sebagai regulator
2. BUMN terlalu banyak menggunakan tenaga konsultan yang tidak jelas peranan dan fungsinya.
§Privatisasi memang tidak selalu go public (initial public offering – IPO) melalui pasar modal. Privatisasi juga bisa dilakukan secara langsung (private placement)  dengan mengundang investor strategis (strategic partners)
§Di Indonesia program privatisasi dilakukan dalam wacana reformasi, demokrasi dan penegakan hukum (law enforcement). Dari sisi ini pelaksanaan privatisasi juga harus dipertanggung jawabkan kepada public

POLITICAL COST DAN BUMN

Oleh : Bpk. Budi Agus (dosen FH Uii)

§BUMN sebagai Badan Usaha Milik Negara sering ditafsirkan bahwa negara berkuasa penuh terhadap kinerja BUMN.  Sehingga BUMN menjadi tergan-tung kepada siapa yang memerintah dan yang menjalankannya.

§
§BUMN menjadi fokus perhatian masyarakat, karena adanya gap antara fasilitas yang dimiliki BUMN dengan harapan masyarakat.
§BUMN beroperasi dengan dukungan fasilitas penuh (modal, perlakuan, sektoral). Sedangkan masyarakat sangat berharap mendapatkan manfaat dari keberadaan BUMN yang belum bisa terpenuhi secara optimal.
§
§BUMN dan Birokrasi :

Dominannya peran negara menjadikan BUMN sebagai kepanjangan tangan penguasa yang sarat kepentingan politik merupakan salah satu sebab BUMN tidak bisa berkembang sebagaimana layaknya badan usaha. Peran negara menjadikan BUMN sebagai kepanjangan tangan penguasa yang sarat kepentingan politik merupakan salah satu sebab BUMN tidak bisa berkembang sebagaimana layaknya badan usaha.

 

§Struktur Organisasi BUMN :
a. Pemilik : Pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan dan Menteri Negara Investasi dan BUMN
b. Komisaris : Para pejabat Departemen Keuangan, Kementerian Negara Investasi dan BUMN dan departemen lainnya
c. Direktur : Diisi orang-orang yang memiliki latar belakang beragam
d. Hukum : Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT)
§Kekuatan BUMN :
a.Jumlah Dan nilai aset yang besar
b.Posisi Dan bidang usaha yang strategis
c.Akses ke kekuasaan lebih besar
d.Akses ke sumber pendanaan, khususnya Bank pemerintah lebih besar
e.Perlakuan birokrasi berbeda dengan swasta
f.Definisi negara sebagai pemilik dan pemerintah sebagai regulator sulit untuk dipisahkan dan melekat pada BUMN itu sendiri.
§Kelemahan BUMN :
a.Keterlibatan birokrasi dengan kepentingannya menimbulkan penyimpang-an policy direction yang merugikan BUMN sendiri
b.Policy direction yang merugikan timbul karena adanya kepentingan elite BUMN yang ditampilkanmelalui formal policy
c.Birokrat di BUMN sulit membedakan dirinya sebagai birokrat atau profe-sional perusahaan, sehinggamenimbulkan political cost yang sulit diukur
d.Aset yang besar dan tidak disertai utilitas optimal berakibat over-investment dan pemborosan yang membebani BUMN itu sendiri
e.Kemudahan dari negara adalah bentuk subsidi yang setara dengan cost bagi rakyat banyak
f.Perlakuan istimewa negara kepada BUMN menjadikannya tidak peka terhadap lingkungan usahanya, lemah dalam persaingan, tidak lincah dalam bertindak, lamban mengambil keputusan, sehingga hilangnya momentum yang berakhir pada kerugian
g.Privileges yang diberikan birokrasi harus dikompensasi dengan memberi-kan kemudahan kepada pihak lain melalui policy direction yang menjadi political cost bagi BUMN.
h.Keterlibatan birokrasi dalam BUMN yang berlangsung lama sering menyulitkan direksi untuk bertindak objektif.
•BUMN sebagai development agent boleh boros atas nama pembangunan, sehingga manajemen memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi.
•BUMN memiliki strategic position atau natural monopoli, sehingga revenue bersumber dari captive market yang jarang dimiliki oleh swasta.
•Kebocoran dan penyimpangan yang muncul di BUMN :
1.Munculnya pos pengeluaran fiktif untuk menampung political cost
2.Lahirnya biaya yang tidak relevan dengan core business BUMN
3.Biaya-biaya yang dikeluarkan tidak mengandung kewajaran dari aspek bisnis normal yang berakibat BUMN terjebak bisnis berbiaya tinggi.
4.Over investment yang terus menerus menimbulkan cost yang terus menerus ditanggung selama hidup BUMN.
§Rekontruksi BUMN :
1.berbagai bentuk, praktik dan pola-pola yang menimbulkan political cost harus dihilangkan atua diminimumkan
2.Political will dari pemerintah untuk mengatasi sunguh-sungguh dan terencana
3.Pemerintah harus menetapkan pola rekruitmen yang baku karena hingga saat ini belum ada pola rekruitmen yang jelas
§Pembenahan BUMN untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa :
1.Meminimalkan keterlibatan birokrasi di BUMN
2.Redefinisi BUMN menjadi Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) sehingga pertanggungjawaban pengelola BUMN kepada rakyat.
3.Budaya mundur bagi direksi-komisaris BUMN harus mulai ditanamkan sehingga ada kejelasan hubungan antara performance dan punishment.
4.Pengelola yang berprestasi dipertahankan dan dipromosikan  sedangkan yang bermasalah diberhentikan berdasarkan kriteria yang objektif
5.Melakukan review terhadap keberadaan BUMN melalui :
a.BUMN yang bergerak dalam bidang usaha yang telah dilaksanakan masyarakat atau swasta tidak perlu lagi ada BUMN. BUMN yang ada diprivatisasi 100%
b.Prioritas utama adalah bank-bank BUMN dan perusahaan sekuritas diswastakan 100% karena menjadi beban negara
c.BUMN yang memiliki posisi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak dan bidang usahanya tidak dilaksanakan swasta, perlu dipertahankan.
6.Hilangkan political cost dengan public accountability dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan. Keterlibatan pemerintah melalui :
a.Pola rekruitmen yang objektif dan terukur
b.Perencanaan anggaran, misi dan sisi perusahaan
c.Evaluasi kerja BUMN melalui mekanisme rapat umum pemegang saham (RUPS)

Tata Cara Pendirian Koperasi

Oleh : PEMERINTAH KABUPATEN CIANJUR DINAS KOPERASI Jl.ARIA WIRATANUDATAR – Tip (0263) 264874

 

• PENDAHULUAN
Berdasarkan tuntutan arus perubahan yang demikian cepat, Gerakan Koperasi di
Kabupaten Cianjur diharapkan dapat memberikan kontribusi dan peranan yang
nyata dalam mendukung perwujudan tatanan dan paradigma baru pembangunan
ekonomi dalam era otonomi daerah saat ini, karena sebagaimana diamanatkan
dalam rangka upaya meningkatkan taraf hidup kesejahteraan rakyat (penjelasan
UU No. 22/1999 Pasal 43 huruf e), Koperasi merupakan perwujudan konsep
demokrasi ekonomi yang ideal, yang harus dilakukan secara bersama-sama
melalui fasilitasi dan pengembangan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang
mencakup permodalan, pemasaran, pengembangan teknologi, produksi, dan
pengolahan serta pembinaan dan pengembangan sumber daya manusianya.
Untuk memberdayakan koperasi agar dapat menjawab tantangan dan
memanfaatkan peluang yang ada sebagai akibat dari krisis yang terjadi,
pendekatan yang dapat dilakukan seyogianya konsisten dengan amanat dan
batasan yang ada dalam peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, yaitu
koperasi dibangun dan membangun dirinya.
Pendekatan koperasi dibangun, berarti ada komitmen dan keberpihakan dari
pemerintah dan masyarakat yang memungkinkan koperasi itu tumbuh dan
berkembang sedangkan koperasi membangun dirinya, berarti harus ada komitmen,
partisipasi dan upaya proaktif dari anggota, pengelola dan pengurus koperasi itu
sendiri untuk mengembangkan potensi dan sumberdaya yang dimilikinya untuk ikut
serta mengatasi krisis yang terjadi, yang antara lain upaya-upaya untuk
meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Untuk dapat menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang tersebut, Proses
pendirian, seluk beluk kelembagaan dan
pengelolaan koperasi periu terus diinformasikan kepada masyarakat luas. Koperasi
sebagai salah satu lembaga ekonomi akan semakin dapat dipahami dan dirasakan
manfaatnya oleh masyarakt.
Untuk mengaktualisasikan komitment tersebut, pemerintah memberikan
kemudahan kepada masyarakat untuk mengembangkan usaha melalui wadah
koperasi. Sebagai wadah pengembangan usaha ekonomi rakyat, koperasi
diharapkan dapat menjadi pilar utama peningkatan kesejahteraan anggota dan
sekaligus menumbuhkan semangat kehidupan demokrasi ekonomi dalam
masyarakat.
Berbagai kemudahan telah diusahakan oleh pemerintah. Salah satunya adalah
mengganti Inpres 4 tahun 1984 dengan Inpres 18 tahun 1998 yang kemudian
ditindaklanjuti dengan Kepmenkop RI no. 139 tahun 1998 jo. No. 226 tahun 1999
tentang penunjukan pejabat yang berwenang untuk memberikan pengesahan akta
pendirian dan perubahan Anggaran dasar Koperasi serta pembubaran Koperasi.
• PENGERTIAN
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan
hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
• PRINSIP KOPERASI
Seluruh Koperasi di Indonesia wajib menerapkan dan melaksanakan prinsipprinsip
koperasi, sebagai berikut :
a. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
c. Pembagian sisa basil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan
besarnya jasa usaha masing-masing anggota.
d. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal.
e. Kemandirian.
f. Pendidikan perkoperasian.
g. Kerjasama antar koperasi.
• BENTUK DAN KEDUDUKAN
1. Koperasi terdiri dari dua bentuk, yaitu Koperasi Primer dan Koperasi
Sekunder.
2. Koperasi Primer adalah Koperasi yang beranggotakan orang seorang, yang
dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (duapuluh) orang.
3. Koperasi Sekuder adalah Koperasi yang beranggotakan badan-badan hukum
koperasi, yang dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) Koperasi yang telah
berbadan hukum.
4. Pembentukan Koperasi (Primer dan Sekunder) dilakukan dengan akta
pendirian yang memuat anggaran dasar.
5. Koperasi mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah negara Republik
Indonesia.
6. Koperasi memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya
disahkan oleh Pemerintah.
7. Di Indonesia hanya ada 2 (dua) badan hukum yang diakui kedudukannya
sebagai badan hukum, yaitu Koperasi dan Perseroan Terbatas (PT). Oleh
karena itu kedudukan/status hukum Koperasi sama dengan Perseroan
Terbatas.
PERSIAPAN
• MENDIRIKAN KOPERASI
1. Anggota masyarakat yang akan mendirikan koperasi harus mengerti maksud
dan tujuan berkoperasi serta kegiatan usaha yang akan dilaksanakan oleh
Koperasi untuk meningkatkan pendapatan dan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi anggota. Pada dasamya Koperasi dibentuk dan didirikan berdasarkan
kesamaan kepentingan ekonomi.
2. Agar orang-orang yang akan mendirikan koperasi memperoleh pengertian,
maksud, tujuan, struktur organisasi, manajemen, prinsipprinsip koperasi, dan
prospek pengembangan koperasinya, maka mereka dapat meminta
penyuluhan dan pendidikan serta pelatihan dari Dinas Koperasi Kabupaten
Cianjur.
3. Adanya alasan yang nyata dan jelas untuk membentuk suatu usaha bersama
dalam bentuk organisasi koperasi. Usaha bersama harus digerakkan oleh
adanya satu kebutuhan bersama, benar-benar dirasakan dan sangat mendesak
untuk dipenuhi dalam rangka memperoleh manfaat ekonomis, atau untuk
menggalang kekuatan dalam menghadapi suatu ancaman (kelangkaan barang,
kesulitan pemasaran dll).
4. Adanya sekelompok individu anggota masyarakat yang memiliki kepentingan
ekonomi yang sama, yang berfungsi sebagai anggota pendiri dan yang
bekerja kearah perwujudan
5, keterpaduan kepentingan antara para anggota kelompok koperasi, segera
seteiah koperasi dibentuk.
6. Orang-orang yang bergabung dalam koperasi itu harus slap untuk
bekerjasama, artinya harus ada hubungan atau ikatan sosial di antara para
anggota.
7. Para anggota harus memiliki suatu tingkat pengetahuan minimum tertentu.
Mereka harus dapat merasakan kelebihan atau keunggulan dari kegiatan
koperasi, dan memahami prinsip, praktek, hak, dan kewajiban dalam
berkoperasi.
8. Harus ada yang menjadi pemimpin, yaitu orang yang telah dipersiapkan dan
mampu memotivasi kelompok tersebut, serta mampu mengarahkan
aktivitasnya untuk mencapai tujuan koperasi.
RAPAT
PEMBENTUKAN KOPERASI
1. Proses pendirian sebuah koperasi diawali dengan penyelenggaraap
Rapat Pendirian Koperasi oleh anggota masyarakat yang menjadi
pendirinya. Pada saat itu mereka harus menyusun anggaran dasar,
menentukan jenis koperasi dan kenanggotaanya sesuai dengan
kegiatan usaha koperasi yang akan dibentuknya, menyusun rencana
kegiatan usaha, dan neraca awal koperasi. Dasar penentuan jenis koperasi
adalah kesamaan aktivitas, kepenbngan dan kebutuhan ekonomi anggotanya,
misalnya ; Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi Produksi, Koperasi Konsumsi,
Koperasi Pemasaran, dan Koperasi 3asa.
2. Pelaksanaan Rapat Pendirian yang dihadiri oleh para pendiri ini dituangkan
dalam Berita Acara Rapat Pembentukan dan Akta Pendirian yang memuat
Anggaran Dasar Koperasi.
3. Apabila diperlukan, dan atas permohonan para pendiri, maka Pejabat Dinas
Koperasi dapat diminta hadir untuk membantu kelancaran jalannya rapat dan
memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya.
• PENGESAHAN BADAN HUKUM
1. Para pendiri Koperasi mengajukan perrnohonan pengesahan akta pendirian
secara tertulis kepada Dinas Koperasi Kabupaten Cianjur, dengan
melampirkan :
a. 2 (dua) rangkap Akta Pendirian, satu diantaranya bermeterai cukup
b. 2 (dua) rangkap petikan berita acara rapat beserta lampirannya.
c. 2 (dua) rangkap lembar Neraca Permulaan atau Bukti Setor Modal Awal.
d. Rencana awal kegiatan usaha.
e. Daftar hadir rapat pembentukan.
f. Foto Copy KTP dari masing-masing anggota pendiri.
g. Surat Keterangan Domisili dari Desa/Kelurahan dan Refenrensi dari
Forum Komunikasi KPKM Kecamatan.
2. Permohonan pengesahan Akta Pendirian kepada Dinas Koperasi, tergantung
pada bentuk koperasi yang didirikan dan luasnya wilayah keanggotaan
koperasi yang bersangkutan, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Kepala Dinas Koperasi Kabupaten/Kota mengesahkan akta pendirian
Koperasi primer dan sekunder yang anggotanya berdomisili dalam wilayah
Kabupaten.
b. Kepala Dinas Koperasi Propinsi/DI mengesahkan akta pendirian Koperasi
primer dan sekunder yang anggotanya berdomisili dalam wilayah
Propinsi/DI yang bersangkutan dan Koperasi Primer yang anggotanya
berdomisili di beberapa Propinsi/DI, namun koperasinya berdomisili di
wilayah kerja Propinsi/DI yang bersangkutan.
c. Sekretaris Menteri Koperasi mengesahkan akta pendirian Koperasi
sekunder yang anggotanya berdomisili Ii di beberapa Propinsi/DI.
3. Dalam hal permintaan pengesahan akta pendirian ditolak, alasan penolakan
diberitahukan oleh Pejabat kepada para pendiri secara tertulis dalam waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan.
4. Terhadap penolakan pengesahan akta pendirian para pendiri dapat mengajukan
permintaan ulang dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya
penolakan.
5. Keputusan terhadap pengajuan permintaan ulang diberikan dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permintaan pengesahan.
6. Pengesahan akta pendirian diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
bulan setelah diterimanya permintaan pengesahan.
7. Pengesahan akta pendirian diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
• ANGGARAN DASAR KOPERASI
Penyusunan isi AD Koperasi berangkat dari tujuan Koperasi dan sistimatika yang
telah disepakati. Isi AD berupa kesepakatan yang merupakan aturan main dan
menjadi pedoman bagi seluruh pihak yang terlibat.
Isi AD harus singkat, jelas dan dengan bahasa yang tidak rumit, sehingga mudah
dipahami oleh anggota, pengurus, pengawas, manajer, dan karyawan. Disamping
itu, isi AD tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang lebih
tinggi, seperti UUD 1945, Undangundang dan lain-lain.
Sistimatika Anggaran Dasar Koperasi terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh :
I. Pembukaan, Pembukaan berisi tentang latar belakang, maksud, tujuan, dan
cita-cita didirikannya Koperasi.
II. Batang Tubuh, Batang tubuh terdiri dari bab, pasal, dan ayat, yang berisi
paling sedikit tentang :
a. Nama dan tempat kedudukan
Nama Koperasi ditetapkan berdasarkan jenis Koperasi, bukan berdasarkan
fungsi anggota. Tempat kedudukan adalah alamat kantor pusat berikut
wilayah pelayanannya.
b. Maksud dan Tujuan
Maksud didirikannya koperasi adalah jawaban dari latar belakang dan citacita
didirikannya koperasi. Sedangkan tujuan adalah sesuatu yang
diinginkan sebagai jawaban maksud tersebut. Tujuan sebaiknya sesuatu
yang jelas dan dapat diukur. Dengan begitu, mudah bagi kita untuk
mengetahui, sejauh mana tujuan tersebut sudah tercapai.
c. Usaha
Usaha yang akan diselenggarakan oleh Koperasi hendaknya memiliki
hubungan dengan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya.
Seseorang bergabung dalam koperasi karena memiliki kegiatan usaha atau
kepentingan yang berkaitan dengan usaha koperasinya. Bila tidak memiliki
kegiatan usaha atau kepentingan yang berkaitan dengan kopersdinys,
debsiknys tidak bergabung dengan koperasi tersebut. Dengan begitu, antara
naggota dalam satu koperasi
mempunyai kegiatan dan kepentingan ekonomi yang sama. Sehingga,
koperasi akan dapat lebih mudah melayani semua anggotanya.
d. Ketentuan mengenai keanggotaan
Mengatur tentang persyaratan keanggotaan, hak dan kewajiban anggota,
sanksi dan berakhirnya keanggotaan. Persyaratan keanggotaan adalah syarat
minimal yang harus dipenuhi oleh seseorang anggota bila hendak bergabung
dengan koperasi. Syarat normatifnya, memiliki kegiatan dan kepentingan
ekonomi yang berkaitan dengan koperasinya. Hak adalah sesuatu yang
seharusnya diperoleh. Dan bila hak ini tidak terpenuhi, maka yang
bersangkutan dapat menuntut. Tetapi, bila hak tersebut tidak digunakan, tidak
dikenakan sanksi. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus
dilakukan, dan bila dilanggar, maka akan dikenakan sanksi. Aturan tentang
sanksi ini tercantum dalam AD dan ART. Sanksi adalah ketentuan yang
dikenakan bagi seseorang yang melanggar ketetapan yang tertuang dalam AD
dan ART. Berakhirnya keanggotaan adalah berupa peristiwa yang
menyebabkan seseorang kehilangan status keanggotaannya.
e. Ketentuan mengenai Rapat Anggota
Didalam Koperasi, Rapat Anggota merupakan kekuasaan tertinggi.
Keputusan-keputusan penting dan strategis ditetapkan dalam Rapat Anggota.
Di sini diatur tentang kedudukan, mekanisme, hak suara, pengambilan
keputusan, jenis, fungsi, wewenang, tugas dan kuorum Rapat Anggota.
f. Azas dan Prinsip
Asas koperasi Indonesia adalah kekeluargaan, artinya, koperasi Indonesia
dibangun atas semangat kekeluargaan. Intl dari semangat kekeluargaan
adalah semangat kebersamaan. Kebersamaan dalam segala hal. Mulai dari
membangun rasa, cita-cita dan tujuan bersama samapai menciptakan dan
membesarkan organisasi milik bersama (koperasi) yang bertujuan
memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi secara bersama-sama agar lebih
balk lagi. Kekeluargaan bukan berarti hanya memperjuangkan kemakmuran
keluarga, kolega atau kelompok sendiri saja, tetapi kemakmuran bersama
semua anggota, tanpa terkecuali. Prinsip adalah nilai-nilai yang mendasari
gerakan koperasi dalam menjalankan organisasi dan usahanya. Prinsip
merupakan pedoman sekaligus cermin. Melalui prinsip ini, gerakan koperasi
dapat mengevaluasi dirinya sendiri, apakah berada pada jalan yang benar
atau salah. Jab diri dapat dilihat dari sejauh mana gerakan koperasi taat alas
terhadap prinsip-prinsip tersebut.
g. Pengurus
Pengurus adalah pemegang kuasa Rapat Anggota untuk mengelola koperasi,
yang dipilih dari, oleh dan untuk anggota dalam Rapat Anggota. Mengelola
koperasi terdiri dari dau hal, yaitu organisasi dan usaha. Sebaiknya,
pengelolaan organisasi dan usaha ini dilakukan oleh dua pihak
yang berbeda. Organisasi oleh pengurus, sedang usaha oleh
manajer dan karyawan yang profesional.
h. Pengawas
Pengawas adalah perangkat organisasi yang mendapat kuasa dari Rapat
Anggota untuk mengawasi pelaksanaan keputusan Rapat Anggota yang
khususnya menyangkut organisasi, kelembagaan, pendidikan, serta
penyuluhan. Pengawas dipilth dari, oleh dan untuk anggota. Sebenarnya,
tugas pengawas bukan untuk mencari-cari kesalahan, melainkan untuk
menjaga agar kegiatan yang dilaksanakan oleh koperasi sesuai dengan
keputusan Rapat Anggota. Apabila menemukan kesalahan, maka pengawas
perlu mendiskusikanya bersama pengurus untuk kemudian diambil tindakan.
Setelah itu, basil pengawasan dilaporkan kepada Rapat Anggota.
i. Modal
Modal koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman. Sebaiknya,
modal sendiri lebih besar dari modal pinjaman. Semakin besar modal sendiri,
maka semakin sehat sebuah koperasi. Modal sendiri terdiri dari simpanan
pokok, simpanan wajib, cadangan dan hibah.
j. Pembukuan
Pembukuan koperasi diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi
Koperasi Indonesia. Tabun bukunya, biasanya menggunakan tahun takwim, 1
]anuari sampai dengan 31 Desember.
k. Transaksi
Transaksi mengatur hubungan dagang antara anggota dan koperasinya.
Hubungan ini akan semakin kuat, bila antara anggota dan koperasi
dikukuhkan dalam sebuah kontrak pelayanan. Sehingga ada jaminan dan
kekuatan hukum yang pasti.
Sisa Masi! Usaha
Secara normatif, SHU adalah kelebihan yang diperoleh dari basil efisiensi
biaya yang dilakukan koperasi atas pelayanannya kepada anggota. Secara
teknis, SHU adalah total pendapatan dikurangi total biaya. Disamping
menjelaskan pengertian, pada bagian ini diatur juga pembagian SHU untuk
siapa saja, berapa besarnya dan bagairnana cara menghitungnya.
m. Jangka Waktu Pendirian
Lazimnya, sebuah koperasi didirikan dalam jangka waktu yang tidak terbatas,
selama masih seirama dengan maksud dan tujuan didirikannya koperasi.
Kecuali bagi koperasi-koperasi yang secara khusus dibatasi oleh sumber days
produksi, misalnya. Sehingga jangka waktu berdirinya koperasi juga menjadi
terbatas.
n. Sanksi
Pengaturan tentang sanksi ini diperlukan untuk menegakkan disiplin organisasi
dan menjamin kepastian pelaksanaan organisasi dan usaha koperasi. Saksi
yang dijatuhkan, antara lain berupa :
•:• Sanksi terhadap tidak dipenuhinya kewajiban oleh anggota, pengurus dan
pengawas.
• Sanksi terhadap pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang dan
tugas yang telah dibebankan kepada pengurus dan pengawas
•• Sanksi terhdap kesengajaan dan atau kelalaian yang dilakukan oleh
pengurus dan pengawas yang menimbulkan kerugian koperasi.
o. Pembubaran Koperasi
Pembubaran Koperasi dapat dilakukan berdasarkan kepada :
a. Keputusan Rapat Anggota
b. Keputusan Pemerintah
Sebelum dibubarkan, lazimnya dibentuk “Tim Penyelesaian”, Tim ini bertugas :
a. Melakukan segala perbuatan hukum untuk dan atas nama Koperasi serta
mewakilinya didalam dan diluar Pengadilan.
b. Mengumpulkan segala keterangan yang diperlukan.
c. Memanggil anggota dan bekas anggota tertentu, Pengurus serta
Pengawas balk sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.
d. Memperoleh, memeriksa dan menggunakan catatan-catatan serta
arsip Koperasi.
e. Menetapkan dan melaksanakan segala kewajiban pembayaran yang
didahulukan dan hutang lainnya.
f. Menetapkan oleh siapa dan menurut perbandingan bagaimana biaya
penyelesaian harus dibayar.
g. Mempergunakan sisa kekayaan Koperasi sesuai dengan azas dan tujuan
Koperasi atau menurut keputusan Rapat Anggota terabit., atau
sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar.
h. Membagikan sisa basil penyelesaian kepada anggota.
i. Menetapkan tanggungan anggota, bila temyata sisa kekayaan koperasi
tidak mampu menutupi seluruh kewajibannya terhadap pihak lain.
j. Menetapkan tanggungan pengurus, pengawas, manajer atau karyawan,
bila terbukti bahwa merekalah yang menyebabkan kehancuran atau
kerugian Koperasi.
k. Membuat berita acara penyelesaian.
p. Perubahan Anggaran Dasar
Perubahan Anggaran Dasar Kopersi hares dilakukan berdasarkan keputusan
Rapat Anggota yang diadakan untuk itu, dan wajib membuat Beata Acara
Rapat Anggota Perubahan Anggaran Dasar Koperasi. Terhadap perubahan
Anggaran Dasar yang menyangkut penggabungan, pembagian, dan perubahan
bidang usaha koperasi dimintakan
pengesahan kepada Pemerintah, dengan pengajuan secara tertulis oleh
Pengurus kepada Pemerintah/Dinas Koperasi.
• PENUTUP
Anggota harus mempunyai kegiatan dan atau kepentingan ekonomi yang sama.
Hal itu mengandung arti bahwa tidak setiap orang dapat mendirikan dan atau
menjadi anggota koperasi tanpa adanya kejelasan kegiatan atau kepentingan
ekonominya.
Kegiatan ekonomi yang sama diartikan, memiliki profesi atau usaha yang sama,
sedangkan kepentingan ekonomi yang sama diartikan memiliki kebutuhan
ekonomi yang sama. Orang-orang yang akan mendirikan koperasi tersebut tidak
dalam keadaan cacat hukum, yaitu tidak sedang menjalani atau terlibat masalah
atau sengketa hukum, balk dalam bidang perdata maupun pidana. Usaha yang
akan dilaksanakan oleh Koperasi harus layak secara ekonomi. Layak secara
ekonomi diartikan bahwa usaha tersebut akan dikelola secara efisien dan mampu
memberikan kemanfaatan ekonomi bagi anggotanya.
Modal sendiri harus cukup tersedia untuk mendukung kegiatan usaha yang akan
dilaksanakan oleh Koperasi. Hal itu dimaksudkan agar kegiatan usaha koperasi
dapat segera dilaksanakan tanpa menutup kemungkinan memperoleh bantuan,
fasilitas dan pinjaman dari pihak luar.
Kepengurusan dan manajemen harus disesuaikan dengan kegiatan usaha yang
akan dilaksanakan agar tercapai efisiensi dalam pengelolaan Koperasi. Perlu
diperhatikan mereka yang nantinya ditunjuk/dipilih menjadi pengurus haruslah
orang-orang yang memiliki kejujuran, kemampuan dan kepemimpinan, agar
koperasi yang didirkan tersebut sejak dini telah memiliki kepengurusan yang
handal.

good blog (y)

"Ubi Societas, Ibi Ius"

1.Azas Legalitas...

A.Asaz legalitas menurut KUHP Korea?

Dalam Pasal 1 “criminality and punishment”:

  1. Mengandung asas lextemporis delictzi (ayat1).
  2. Mengatur masalah larangan retroaktif dalam perubahan UU (ayat2).
  3. Perubahan UU setelah adanya putusan pemidanaan in kracht (ayat3).

Adanya pengecualian yaitu :

  • Ada perubahan UU setelah kejahatan dilakukan.
  • Perubahan itu menyebabkan perbuatan yang bersangkutan tidak lagi merupakan kejahatan, atau pidana yang diancamkan menjadi lebih ringan.

B. Asaz legalitas menurut KUHP Thailand?

Terdapat Pasal 2 aturan umum buku 1:

  • Menganut Lextemporis delicti (ayat1);
  • Mengatur perubahanUU (ayat2), dalam hal TP dalam UU Lama bukan lagi TP dalam UU baru. Dengan 2 kemungkinan:

1. Terdakwa dibebaskan sebagai pelanggar.

2. Jika putusan pemidanaan final, maka:

  • Jika belum dijalani, dinyatakan belum pernah dipidana.
  • Jika telah menjalani sebagian, maka akan dihentikan.

C. Asaz legalitas menurut KUHP Norwegia?

Terdapat Pasal 3 di aturan umum (General Provisions)

  • Menganut Lex Temporis delictie.
  • Lebih mengutamakanUU lama. UU…

Lihat pos aslinya 1.166 kata lagi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa tujuan nasional Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
b. bahwa pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman militer serta ancaman bersenjata terhadap keutuhan bangsa dan negara;
c. bahwa Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional;
d. bahwa Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel;
e. bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3368) dinilai tidak sesuai lagi dengan perubahan kelembagaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Tentara Nasional Indonesia yang didorong oleh tuntutan reformasi dan demokrasi, perkembangan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga undang-undang tersebut perlu diganti;
f. bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169) telah mengamanatkan dibentuknya peraturan perundang-undangan mengenai Tentara Nasional Indonesia;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, e, dan f perlu dibentuk Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 20, Pasal 22 A, Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169).
Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Negara adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Warga Negara adalah warga negara Republik Indonesia.
3. Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia.
4. Wilayah adalah seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan.
5. Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara, disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
6. Sistem Pertahanan Negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, berkesinambungan, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman.
7. TNI adalah Tentara Nasional Indonesia.
8. Departemen Pertahanan adalah pelaksana fungsi pemerintah di bidang pertahanan negara.
9. Menteri Pertahanan adalah menteri yang bertanggungjawab di bidang pertahanan negara.
10. Panglima TNI yang selanjutnya disebut Panglima adalah perwira tinggi militer yang memimpin TNI.
11. Angkatan adalah Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
12. Kepala Staf Angkatan adalah Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, dan Kepala Staf Angkatan Udara.
13. Prajurit adalah anggota TNI.
14. Dinas Keprajuritan adalah pengabdian seorang warga negara sebagai prajurit TNI.
15. Prajurit Sukarela adalah warga negara yang atas kemauan sendiri mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan.
16. Prajurit Wajib adalah warga negara yang mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan karena diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
17. Prajurit Siswa adalah warga negara yang sedang menjalani pendidikan pertama untuk menjadi prajurit.
18. Pendidikan Pertama adalah pendidikan untuk membentuk Prajurit Siswa menjadi anggota TNI yang ditempuh melalui pendidikan dasar keprajuritan.
19. Pendidikan Pembentukan adalah pendidikan untuk membentuk tamtama menjadi bintara atau bintara menjadi perwira yang ditempuh melalui pendidikan dasar golongan pangkat.
20. Militer adalah kekuatan angkatan perang dari suatu negara yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
21. Tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata.
22. Ancaman adalah setiap upaya dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.
23. Ancaman Militer adalah ancaman yang dilakukan oleh militer suatu negara kepada negara lain.
24. Ancaman Bersenjata adalah ancaman yang datangnya dari gerakan kekuatan bersenjata.
25. Gerakan Bersenjata adalah gerakan sekelompok warga negara suatu negara yang bertindak melawan pemerintahan yang sah dengan melakukan perlawanan bersenjata.
BAB II JATI DIRI
Pasal 2
Jati diri Tentara Nasional Indonesia adalah:
a. Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga negara Indonesia;
b. Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya;
c. Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama;
d. Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
BAB III KEDUDUKAN
Pasal 3
(1) Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden.
(2) Dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan.
Pasal 4
(1) TNI terdiri atas TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara yang melaksanakan tugasnya secara matra atau gabungan di bawah pimpinan Panglima.
(2) Tiap-tiap angkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat.
BAB IV
PERAN, FUNGSI, DAN TUGAS
Bagian Kesatu
Peran
Pasal 5
TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Bagian Kedua
Fungsi
Pasal 6
(1) TNI, sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai:
a. penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa;
b. penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan
c. pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), TNI merupakan komponen utama sistem pertahanan negara.
Bagian Ketiga Tugas
Pasal 7
(1) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
(2) Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. operasi militer untuk perang;
b. operasi militer selain perang, yaitu untuk:
1. mengatasi gerakan separatis bersenjata;
2. mengatasi pemberontakan bersenjata;
3. mengatasi aksi terorisme;
4. mengamankan wilayah perbatasan;
5. mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis;
6. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri;
7. mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya;
8. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta;
9. membantu tugas pemerintahan di daerah;
10. membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang;
11. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia;
12. membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan;
13. membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta
14. membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Pasal 8
Angkatan Darat bertugas:
a. melaksanakan tugas TNI matra darat di bidang pertahanan;
b. melaksanakan tugas TNI dalam menjaga keamanan wilayah perbatasan darat dengan negara lain;
c. melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra darat; dan
d. melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan di darat.
Pasal 9
Angkatan Laut bertugas:
a. melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan;
b. menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi;
c. melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;
d. melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut;
e. melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
Pasal 10
Angkatan Udara bertugas:
a. melaksanakan tugas TNI matra udara di bidang pertahanan;
b. menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi;
c. melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra udara; serta
d. melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan udara.
BAB V
POSTUR DAN ORGANISASI
Bagian Kesatu
Postur
Pasal 11
(1) Postur TNI dibangun dan dipersiapkan sebagai bagian dari postur pertahanan negara untuk mengatasi setiap ancaman militer dan ancaman bersenjata.
(2) Postur TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibangun dan dipersiapkan sesuai dengan kebijakan pertahanan negara.
Bagian Kedua
Organisasi
Pasal 12
(1) Organisasi TNI terdiri atas Markas Besar TNI yang membawahkan Markas Besar TNI Angkatan Darat, Markas Besar TNI Angkatan Laut, dan Markas Besar TNI Angkatan Udara.
(2) Markas Besar TNI terdiri atas unsur pimpinan, unsur pembantu pimpinan, unsur pelayanan, badan pelaksana pusat, dan Komando Utama Operasi.
(3) Markas Besar Angkatan terdiri atas unsur pimpinan, unsur pembantu pimpinan, unsur pelayanan, badan pelaksana pusat, dan Komando Utama Pembinaan.
(4) Susunan organisasi TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 13
(1) TNI dipimpin oleh seorang Panglima.
(2) Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengangkatan dan pemberhentian Panglima dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI.
(4) Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
(5) Untuk mengangkat Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden mengusulkan satu orang calon Panglima untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(6) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap calon Panglima yang dipilih oleh Presiden, disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari tidak termasuk masa reses, terhitung sejak permohonan persetujuan calon Panglima diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(7) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui calon Panglima yang diusulkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Presiden mengusulkan satu orang calon lain sebagai pengganti.
(8) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui calon Panglima yang diusulkan oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan alasan tertulis yang menjelaskan ketidaksetujuannya.
(9) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dianggap telah menyetujui, selanjutnya Presiden berwenang mengangkat Panglima baru dan memberhentikan Panglima lama.
(10) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), diatur lebih lanjut dengan keputusan Presiden.
Pasal 14
(1) Angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf Angkatan dan berkedudukan di bawah Panglima serta bertanggung jawab kepada Panglima.
(2) Kepala Staf Angkatan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Panglima.
(3) Kepala Staf Angkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dari Perwira Tinggi aktif dari angkatan yang bersangkutan dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
(4) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Staf Angkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan keputusan Presiden.
Pasal 15
Tugas dan kewajiban Panglima adalah:
1. memimpin TNI;
2. melaksanakan kebijakan pertahanan negara;
3. menyelenggarakan strategi militer dan melaksanakan operasi militer;
4. mengembangkan doktrin TNI;
5. menyelenggarakan penggunaan kekuatan TNI bagi kepentingan operasi militer;
6. menyelenggarakan pembinaan kekuatan TNI serta memelihara kesiagaan operasional;
7. memberikan pertimbangan kepada Menteri Pertahanan dalam hal penetapan kebijakan pertahanan negara;
8. memberikan pertimbangan kepada Menteri Pertahanan dalam hal penetapan kebijakan pemenuhan kebutuhan TNI dan komponen pertahanan lainnya;
9. memberikan pertimbangan kepada Menteri Pertahanan dalam menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara;
10. menggunakan komponen cadangan setelah dimobilisasi bagi kepentingan operasi militer;
11. menggunakan komponen pendukung yang telah disiapkan bagi kepentingan operasi militer; serta
12. melaksanakan tugas dan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Tugas dan kewajiban Kepala Staf Angkatan adalah:
1. memimpin Angkatan dalam pembinaan kekuatan dan kesiapan operasional Angkatan;
2. membantu Panglima dalam menyusun kebijakan tentang pengembangan postur, doktrin, dan strategi serta operasi militer sesuai dengan matra masing-masing;
3. membantu Panglima dalam penggunaan komponen pertahanan negara sesuai dengan kebutuhan Angkatan; serta
4. melaksanakan tugas lain sesuai dengan matra masing-masing yang diberikan oleh Panglima.
BAB VI
PENGERAHAN DAN PENGGUNAAN KEKUATAN TNI
Bagian Kesatu
Pengerahan
Pasal 17
(1) Kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden.
(2) Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 18 (1) Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI. (2) Dalam hal pengerahan langsung kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam waktu 2 X 24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan, Presiden harus melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui pengerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Presiden harus menghentikan pengerahan kekuatan TNI tersebut.
Bagian Kedua
Penggunaan
Pasal 19
(1) Tanggung jawab penggunaan kekuatan TNI berada pada Panglima TNI.
(2) Dalam hal penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panglima bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 20
(1) Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer untuk perang, dilakukan untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer selain perang, dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka tugas perdamaian dunia dilakukan sesuai dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia dan ketentuan hukum nasional.
BAB VII
PRAJURIT Bagian Kesatu
Ketentuan Dasar
Pasal 21
Prajurit adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan.
Pasal 22
Prajurit terdiri atas Prajurit Sukarela dan Prajurit Wajib.
Pasal 23
(1) Prajurit Sukarela menjalani dinas keprajuritan dengan ikatan dinas.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Prajurit Wajib menjalani dinas keprajuritan berdasarkan ikatan dinas.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
Pasal 25
(1) Prajurit adalah insan prajurit yang:
a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bermoral dan tunduk pada hukum serta peraturan perundang-undangan;
d. berdisiplin serta taat kepada atasan; dan
e. bertanggung jawab dan melaksanakan kewajibannya sebagai tentara.
(2) Prajurit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diwajibkan mengucapkan Sumpah Prajurit.
Pasal 26
(1) Prajurit dikelompokkan dalam golongan kepangkatan perwira, bintara, dan tamtama.
(2) Golongan kepangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.
Pasal 27
(1) Setiap prajurit diberi pangkat sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab hierarki keprajuritan.
(2) Pangkat menurut sifatnya dibedakan sebagai berikut:
a. pangkat efektif diberikan kepada prajurit selama menjalani dinas keprajuritan dan membawa akibat administrasi penuh;
b. pangkat lokal diberikan untuk sementara kepada prajurit yang menjalankan tugas dan jabatan khusus yang sifatnya sementara, serta memerlukan pangkat yang lebih tinggi dari pangkat yang disandangnya, guna keabsahan pelaksanaan tugas jabatan tersebut dan tidak membawa akibat administrasi; dan
c. pangkat tituler diberikan untuk sementara kepada warga negara yang diperlukan dan bersedia menjalankan tugas jabatan keprajuritan tertentu di lingkungan TNI, berlaku selama masih memangku jabatan keprajuritan tersebut, serta membawa akibat administrasi terbatas.
(3) Susunan, sebutan, dan keselarasan pangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.
Bagian Kedua Pengangkatan
Pasal 28
(1) Persyaratan umum untuk menjadi prajurit adalah:
a. warga negara Indonesia;
b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. pada saat dilantik menjadi prajurit berumur paling rendah 18 tahun;
e. tidak memiliki catatan kriminalitas yang dikeluarkan secara tertulis oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. tidak sedang kehilangan hak menjadi prajurit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
h. lulus pendidikan pertama untuk membentuk prajurit siswa menjadi anggota TNI; dan
i. persyaratan lain sesuai dengan keperluan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri Pertahanan.
Pasal 29
(1) Pendidikan untuk pengangkatan prajurit terdiri atas pendidikan perwira, bintara, dan tamtama.
(2) Pelaksanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.
Pasal 30
(1) Perwira dibentuk melalui:
a. pendidikan pertama perwira bagi yang berasal langsung dari masyarakat:
1. Akademi TNI, dengan masukan dari Sekolah Lanjutan Tingkat Atas; dan
2. Sekolah Perwira, dengan masukan dari Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau Perguruan Tinggi.
b. pendidikan pembentukan perwira yang berasal dari prajurit golongan bintara.
(2) Pendidikan perwira sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.
Pasal 31
(1) Bintara dibentuk melalui:
a. pendidikan pertama bintara yang berasal langsung dari masyarakat; atau
b. pendidikan pembentukan bintara yang berasal dari prajurit golongan tamtama.
(2) Pendidikan bintara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.
Pasal 32
(1) Tamtama dibentuk melalui pendidikan pertama tamtama yang langsung dari masyarakat.
(2) Pendidikan tamtama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.
Pasal 33
(1) Perwira diangkat oleh Presiden atas usul Panglima.
(2) Bintara dan tamtama diangkat oleh Panglima.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 34
(1) Pelantikan menjadi prajurit dilaksanakan dengan mengucapkan Sumpah Prajurit.
(2) Pelantikan menjadi prajurit golongan perwira selain mengucapkan Sumpah Prajurit juga mengucapkan Sumpah Perwira.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelantikan dan pengambilan sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.
Pasal 35
Sumpah Prajurit adalah sebagai berikut: Demi Allah saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan; bahwa saya akan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan; bahwa saya akan menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada tentara dan Negara Republik Indonesia; bahwa saya akan memegang segala rahasia tentara sekeras-kerasnya.
Pasal 36
Sumpah Perwira adalah sebagai berikut: Demi Allah saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban perwira dengan sebaik-baiknya terhadap bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya akan menegakkan harkat dan martabat perwira serta menjunjung tinggi Sumpah Prajurit dan Sapta Marga; bahwa saya akan memimpin anak buah dengan memberi suri teladan, membangun karsa, serta menuntun pada jalan yang lurus dan benar; bahwa saya akan rela berkorban jiwa raga untuk membela nusa dan bangsa.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Larangan
Pasal 37
(1) Prajurit berkewajiban menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan oleh bangsa dan negara untuk melakukan usaha pembelaan negara sebagaimana termuat dalam Sumpah Prajurit.
(2) Untuk keamanan negara, setiap prajurit yang telah berakhir menjalani dinas keprajuritan atau prajurit siswa yang karena suatu hal tidak dilantik menjadi prajurit, wajib memegang teguh rahasia tentara walaupun yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat atau dengan tidak hormat.
Pasal 38
(1) Prajurit dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, berpedoman pada Kode Etik Prajurit dan Kode Etik Perwira.
(2) Ketentuan kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.
Pasal 39
Prajurit dilarang terlibat dalam:
1. kegiatan menjadi anggota partai politik;
2. kegiatan politik praktis;
3. kegiatan bisnis; dan
4. kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.
Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 40
(1) Setiap prajurit menggunakan pakaian seragam, atribut, perlengkapan, dan peralatan militer sesuai dengan tuntutan tugasnya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan keputusan Panglima.
Pasal 41
(1) Setiap prajurit memperoleh kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya melalui pendidikan dan penugasan, dengan mempertimbangkan kepentingan TNI serta memenuhi persyaratan yang ditentukan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan keputusan Panglima.
Pasal 42
(1) Setiap prajurit memperoleh kesempatan untuk mendapat kenaikan pangkat dan/atau jabatan berdasarkan prestasinya, sesuai dengan pola karier yang berlaku dengan mempertimbangkan kepentingan TNI dan memenuhi persyaratan yang ditentukan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan keputusan Panglima.
Pasal 43
(1) Kenaikan pangkat Kolonel dan Perwira Tinggi ditetapkan oleh Presiden atas usul Panglima.
(2) Kenaikan pangkat selain yang dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Panglima.
Pasal 44
(1) Prajurit yang mendapat tugas dengan pertaruhan jiwa raga secara langsung dan berjasa melampaui panggilan tugas dapat dianugerahi kenaikan pangkat luar biasa.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 45 Pengangkatan dan pemberhentian jabatan di dalam struktur TNI selain jabatan Panglima dan Kepala Staf Angkatan, diatur dengan keputusan Panglima.
Pasal 46
(1) Jabatan tertentu dalam struktur di lingkungan TNI dapat diduduki oleh pegawai negeri sipil.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan keputusan Panglima.
Pasal 47
(1) Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
(2)Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
(3)Prajurit yang menduduki jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen serta tunduk pada
ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud.
(4)Pengangkatan dan pemberhentian jabatan bagi prajurit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan kebutuhan organisasi departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen yang bersangkutan.
(5)Pembinaan karier prajurit yang menduduki jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Panglima bekerja sama dengan pimpinan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen yang bersangkutan.
(6)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 48
Pemberhentian sementara dari jabatan dilakukan oleh pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan dalam jabatan tersebut, berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Bagian
Kelima Kesejahteraan
Pasal 49
Setiap prajurit TNI berhak memperoleh penghasilan yang layak dan dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pasal 50
(1) Prajurit dan prajurit siswa memperoleh kebutuhan dasar prajurit yang meliputi:
a. perlengkapan perseorangan dan
b. pakaian seragam dinas.
(2) Prajurit dan prajurit siswa memperoleh rawatan dan layanan kedinasan, yang meliputi:
a. penghasilan yang layak;
b. tunjangan keluarga;
c. perumahan/asrama/mess;
d. rawatan kesehatan;
e. pembinaan mental dan pelayanan keagamaan;
f. bantuan hukum;
g. asuransi kesehatan dan jiwa;
h. tunjangan hari tua; dan
i. asuransi penugasan operasi militer.
(3) Keluarga prajurit memperoleh rawatan kedinasan, yang meliputi:
a. rawatan kesehatan;
b. pembinaan mental dan pelayanan keagamaan;
c. bantuan hukum.
(4) Penghasilan layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, diberikan secara rutin setiap bulan kepada prajurit aktif yang terdiri atas:
a. gaji pokok prajurit dan kenaikannya secara berkala sesuai dengan masa dinas;
b. tunjangan keluarga;
c. tunjangan operasi;
d. tunjangan jabatan;
e. tunjangan khusus; dan
f. uang lauk pauk atau natura.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 51
(1) Prajurit yang diberhentikan dengan hormat memperoleh rawatan dan layanan purnadinas.
(2) Rawatan dan layanan purnadinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pensiun, tunjangan bersifat pensiun, tunjangan atau pesangon dan rawatan kesehatan.
(3)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 52
Prajurit dan prajurit siswa berhak mendapatkan tanda jasa kenegaraan berdasarkan prestasi dan jasa-jasanya kepada negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam Pengakhiran
Pasal 53
Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira, dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama.
Pasal 54
Prajurit dapat diberhentikan dengan hormat atau dengan tidak hormat.
Pasal 55
(1) Prajurit diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan karena:
a. atas permintaan sendiri;
b. telah berakhirnya masa ikatan dinas;
c. menjalani masa pensiun;
d. tidak memenuhi persyaratan jasmani atau rohani;
e. gugur, tewas, atau meninggal dunia;
f. alih status menjadi pegawai negeri sipil;
g. menduduki jabatan yang menurut peraturan perundang-undangan, tidak dapat diduduki oleh seorang prajurit aktif; dan
h. berdasarkan pertimbangan khusus untuk kepentingan dinas.
(2) Prajurit yang telah memiliki masa dinas keprajuritan paling sedikit 20 (dua puluh) tahun, berdasarkan pertimbangan khusus sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf h, dapat dipensiun dini dan kepadanya diberikan hak pensiun secara penuh.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 56
(1)Hak prajurit yang gugur atau tewas diberikan kepada ahli warisnya.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 57
Hak prajurit yang menyandang cacat berat, cacat sedang, atau cacat ringan yang diakibatkan karena tugas operasi militer, atau bukan tugas operasi militer selama dalam dinas keprajuritan, diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 58
(1) Prajurit yang dalam melaksanakan tugas tidak kembali bergabung dengan kesatuannya sebagai akibat dari atau diduga diakibatkan oleh tindakan musuh atau di luar kekuasaannya, dinyatakan hilang dalam tugas, wajib terus dicari.
(2) Prajurit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila setelah 1 (satu) tahun tidak ada kepastian atas dirinya, diberhentikan dengan hormat dan kepada ahli warisnya diberikan hak sebagaimana hak prajurit yang gugur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Prajurit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang kemudian ditemukan kembali dan masih hidup, diangkat kembali sesuai dengan status sebelum dinyatakan hilang dan diberikan hak rawatan dinas penuh selama dinyatakan hilang, dengan memperhitungkan hak yang telah diterima ahli warisnya.
(4) Pernyataan hilang atau pembatalannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan keputusan Panglima.
Pasal 59
(1) Prajurit berpangkat kolonel dan perwira tinggi, diberhentikan dari dinas keprajuritan dengan keputusan Presiden.
(2) Pemberhentian selain yang dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Panglima.
Pasal 60
(1) Dalam menghadapi keadaan darurat militer dan keadaan perang, setiap Prajurit Sukarela dan Prajurit Wajib yang telah berakhir menjalani dinas keprajuritan dapat diwajibkan aktif kembali.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.
Pasal 61
(1) Prajurit yang diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan berhak memakai tanda jasa kenegaraan yang dimilikinya pada waktu menghadiri upacara nasional atau kemiliteran sesuai yang diperolehnya pada saat masih berdinas aktif.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan keputusan Presiden.
Pasal 62
(1) Prajurit diberhentikan dengan tidak hormat karena mempunyai tabiat dan/atau perbuatan yang nyata-nyata dapat merugikan disiplin keprajuritan atau TNI.
(2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap perwira dilaksanakan setelah mempertimbangkan pendapat Dewan Kehormatan Perwira.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 63
(1) Perkawinan, perceraian, dan rujuk bagi setiap prajurit dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan keputusan Panglima.
Bagian Ketujuh Ketentuan Hukum
Pasal 64
Hukum militer dibina dan dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara.
Pasal 65
(1) Prajurit Siswa tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku bagi prajurit.
(2) Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
(3) Apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang.
BAB VIII PEMBIAYAAN
Pasal 66
(1) TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Keperluan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Departemen Pertahanan.
Pasal 67
(1) Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran TNI, Panglima mengajukan kepada Menteri Pertahanan untuk dibiayai seluruhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran operasi militer yang bersifat mendesak, Panglima mengajukan anggaran kepada Menteri Pertahanan untuk dibiayai dari anggaran kontijensi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
(3) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimintakan persetujuan oleh Menteri Pertahanan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 68
(1) TNI wajib mengelola anggaran pertahanan negara yang dialokasikan oleh pemerintah.
(2) TNI wajib mempertanggungjawabkan pengelolaan anggaran pertahanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Pertahanan.
(3) Pengelolaan anggaran pertahanan negara oleh TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta efisiensi untuk menerapkan tata pemerintahan yang baik.
(4) Pengelolaan anggaran pertahanan negara oleh TNI dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69
Pengawasan dan pemeriksaan pengelolaan anggaran pertahanan negara oleh TNI dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
BAB IX
HUBUNGAN KELEMBAGAAN
Pasal 70
(1) Hubungan dan kerja sama TNI dengan lembaga, badan, serta instansi di dalam negeri didasarkan atas kepentingan pelaksanaan tugas TNI dalam kerangka pertahanan negara.
(2) Hubungan dan kerja sama luar negeri dilakukan dalam rangka tugas operasional, kerja sama teknik, serta pendidikan dan latihan.
(3) Hubungan dan kerja sama dalam dan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan negara.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 71
Pada saat berlakunya undang-undang ini, ketentuan tentang usia pensiun sebagaimana dimaksud pasa Pasal 53, diatur sebagai berikut.
a. Usia pensiun paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama, hanya berlaku bagi prajurit TNI yang pada tanggal undang-undang ini diundangkan belum dinyatakan pensiun dari dinas TNI.
b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a diatur secara bertahap.
(1) Perwira yang tepat berusia atau belum genap berusia 55 (lima puluh lima) tahun, baginya diberlakukan masa dinas keprajuritan sampai dengan usia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun;
(2) Perwira yang belum genap berusia 54 (lima puluh empat) tahun, baginya diberlakukan masa dinas keprajuritan sampai dengan usia paling tinggi 57 (lima puluh tujuh) tahun;
Perwira yang belum genap berusia 53 (lima puluh tiga) tahun, baginya diberlakukan masa dinas keprajuritan sampai dengan usia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun;
(3) Bintara dan Tamtama yang tepat berusia atau belum genap 48 (empat puluh delapan) tahun, baginya diberlakukan masa dinas keprajuritan sampai dengan usia paling tinggi 53 (lima puluh tiga) tahun;
Pasal 72
Bagi perwira yang pada tanggal undang-undang ini diundangkan sedang menjalani penahanan dalam dinas keprajuritan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tetap berlaku ketentuan tersebut sampai masa penahanan dalam dinas keprajuritannya berakhir.
Pasal 73
Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan tentang TNI dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti sesuai dengan undang-undang ini.
Pasal 74
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan.
(2) Selama undang-undang peradilan militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Pasal 75
(1) Segala peraturan pelaksanaan undang-undang ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlakunya undang-undang ini.
(2) Segala penyebutan, penamaan, dan istilah yang berkaitan dengan postur, organisasi, struktur, tugas pokok, dan kewenangan TNI harus diubah atau diganti sesuai dengan undang-undang ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini diberlakukan.
Pasal 76
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya undang-undang ini, Pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung.
(2) Tata cara dan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (1) diatur dengan keputusan Presiden.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 77 Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 4) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 78 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta Pada tanggal:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN ………. NOMOR ………..
PENJELASAN
ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004
TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA
I. UMUM 1. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan nasional, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut memerlukan upaya bersama segenap bangsa Indonesia. Upaya bersama dimaksud diwujudkan dalam peran, fungsi, dan tugas tiap-tiap komponen bangsa serta dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Pertahanan negara merupakan salah satu bentuk upaya bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional. Hakikat pertahanan negara adalah keikutsertaan tiap-tiap warga negara sebagai perwujudan hak dan kewajibannya dalam usaha pertahanan negara. Hak dan kewajiban tiap-tiap warga negara tersebut diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan ayat (2) menegaskan bahwa usaha pertahanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, yaitu bahwa Tentara Nasional Indonesia merupakan kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
2. Sebagai kekuatan utama yang menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disebut sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan negara, Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Dalam Pasal 30 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa susunan, kedudukan, hubungan, dan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dalam melaksanakan tugas, termasuk syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan negara serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan diatur dengan undang-undang.
3. Reformasi nasional Indonesia yang didorong oleh semangat bangsa Indonesia untuk menata kehidupan dan masa depan bangsa yang lebih baik telah menghasilkan perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan kenegaraan. Perubahan tersebut telah ditindaklanjuti antara lain melalui penataan kelembagaan sesuai dengan perkembangan lingkungan dan tuntutan tugas ke depan. Perubahan pada sistem kenegaraan berimplikasi pula terhadap Tentara Nasional Indonesia, antara lain adanya pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebabkan perlunya penataan kembali peran dan fungsi masing-masing. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, sekaligus menjadi referensi yuridis dalam mengembangkan suatu undang-undang yang mengatur tentang Tentara Nasional Indonesia.
4. Bahwa Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai dengan kepentingan politik negara yang mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel.
5. Dengan perkembangan kondisi lingkungan yang semakin maju baik internasional maupun nasional, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi dan oleh karena itu, perlu diganti dengan undang-undang yang baru. Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang menggantikan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982, peran, fungsi dan tugas Tentara Nasional Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 tersebut dipandang perlu untuk dijabarkan dan diwadahi dalam suatu undang-undang tersendiri.
6. Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas dan untuk memelihara kelangsungan serta kelancaran pelaksanaan peran, fungsi, dan tugas Tentara Nasional Indonesia ke depan, maka diperlukan undang-undang tentang Tentara Nasional Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan Tentara Rakyat adalah tentara yang berasal dari rakyat bersenjata yang berjuang melawan penjajah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada perang kemerdekaan tahun 1945–1949 dengan semboyan “merdeka atau mati”. Rakyat yang menjadi dasar terbentuknya TNI pada saat itu adalah bekas prajurit Hindia Belanda dan Jepang, antara lain Heiho, Kaigun Heiho, dan PETA serta yang berasal dari rakyat, yaitu Barisan Pemuda, Hisbullah, Sabililah, dan Pelopor, di samping laskar-laskar dan tentara pelajar yang tersebar di daerah-daerah lain, baik yang sudah maupun yang belum memperoleh latihan militer, yang keseluruhannya terhimpun dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dalam proses perjalanan sejarah serta penataan untuk mendukung profesionalisme dan mengakomodasi potensi kekuatan perjuangan, maka dilakukanlah penyempurnaan organisasi. BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berubah lagi menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan terakhir mulai tanggal 3 Juni tahun 1947 menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam perkembangannya, pada tanggal 21 Juni tahun 1962, TNI pernah berubah nama menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada tahun 2000 ABRI kembali berubah menjadi TNI setelah dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam jati dirinya TNI sebagai Tentara Rakyat berarti bahwa anggota TNI direkrut dari warga negara Indonesia.
Huruf b Yang dimaksud dengan Tentara Pejuang adalah bahwa TNI dalam melaksanakan tugasnya berjuang menegakkan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara moral, berjuang memiliki makna tidak mengenal menyerah terhadap setiap tantangan
tugas yang dilaksanakan. Pemahaman “tidak mengenal menyerah” di sini berarti tidak menyerah kepada lawan dalam konteks taktik dan strategi perang. Tidak mengenal menyerah berarti bahwa setiap upaya untuk mencapai tujuan harus selalu diusahakan dengan terukur.
Huruf c Yang dimaksud dengan TNI sebagai Tentara Nasional adalah bahwa TNI merupakan tentara kebangsaan, bukan tentara kedaerahan, suku, ras, atau golongan agama. TNI mengutamakan kepentingan nasional dan kepentingan bangsa di atas semua kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama.
Huruf d Yang dimaksud dengan Tentara Profesional adalah tentara yang mahir menggunakan peralatan militer, mahir bergerak, dan mahir menggunakan alat tempur, serta mampu melaksanakan tugas secara terukur dan memenuhi nilai-nilai akuntabilitas. Untuk itu, tentara perlu dilatih dalam menggunakan senjata dan peralatan militer lainnya dengan baik, dilatih manuver taktik secara baik, dididik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi secara baik, dipersenjatai dan dilengkapi dengan baik, serta kesejahteraan prajuritnya dijamin oleh negara sehingga diharapkan mahir bertempur. Tentara tidak berpolitik praktis dalam arti bahwa tentara hanya mengikuti politik negara, dengan mengutamakan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Yang dimaksud dengan supremasi sipil adalah kekuasaan politik yang dimiliki atau melekat pada pemimpin negara yang dipilih rakyat melalui hasil pemilihan umum sesuai dengan asas demokrasi. Supremasi sipil dalam hubungannya dengan TNI berarti bahwa TNI tunduk pada setiap kebijakan dan keputusan politik yang ditetapkan Presiden melalui proses mekanisme ketatanegaraan.
Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud berkedudukan di bawah Presiden adalah bahwa keberadaan TNI di bawah kekuasaan Presiden.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan di bawah koordinasi Departemen Pertahanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan strategis yang meliputi aspek pengelolaan pertahanan negara, kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi industri pertahanan yang diperlukan oleh TNI dan komponen pertahanan lainnya, sedangkan pembinaan kekuatan TNI berkaitan dengan pendidikan, latihan, penyiapan kekuatan, doktrin militer berada pada Panglima TNI dengan dibantu para Kepala Staf Angkatan.
Dalam rangka pencapaian efektivitas dan efisiensi pengelolaan pertahanan negara, pada masa yang akan datang institusi TNI berada dalam Departemen Pertahanan.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5 Yang dimaksud dengan kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan penangkal adalah kekuatan nyata TNI yang mempunyai aspek psikologis untuk diperhitungkan oleh lawan sehingga mengurungkan niat lawan
sekaligus juga mencegah niat lawan yang akan mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
Huruf b Yang dimaksud dengan penindak adalah kekuatan TNI yang mampu menghancurkan kekuatan yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
Huruf c Yang dimaksud dengan pemulih adalah kekuatan TNI bersama-sama dengan instansi pemerintah lainnya membantu fungsi pemerintah untuk mengembalikan kondisi keamanan negara yang telah terganggu akibat kekacauan keamanan karena perang, pemberontakan, konflik komunal, huru-hara, terorisme, dan bencana alam. Dalam konteks internasional, TNI turut berperan aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia melalui upaya penciptaan dan pemeliharaan perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan menegakkan kedaulatan negara adalah mempertahankan kekuasaan negara untuk melaksanakan pemerintahan sendiri yang bebas dari ancaman.
Yang dimaksud dengan menjaga keutuhan wilayah adalah mempertahankan kesatuan wilayah kekuasaan negara dengan segala isinya, di darat, laut, dan udara yang batas-batasnya ditetapkan dengan undang-undang.
Yang dimaksud dengan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah adalah melindungi jiwa, kemerdekaan, dan harta benda setiap warga negara.
Ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara, antara lain sebagai berikut:
a. agresi berupa penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara lain terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa atau dalam bentuk dan cara-cara, antara lain:
1. invasi berupa penggunaan kekuatan bersenjata; 2. bombardemen berupa penggunaan senjata lainnya; 3. blokade pelabuhan, pantai, wilayah udara, atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. serangan bersenjata negara lain terhadap unsur satuan darat, laut, dan udara; 5. keberadaan atau tindakan unsur kekuatan bersenjata asing dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertentangan dengan ketentuan atau perjanjian yang telah disepakati; 6. tindakan suatu negara yang mengizinkan penggunaan wilayahnya oleh negara lain untuk melakukan agresi atau invasi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia; 7. pengiriman kelompok bersenjata atau tentara bayaran untuk melakukan tindakan kekerasan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 8. ancaman lain yang ditetapkan oleh Presiden. b. pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh negara lain; c. pemberontakan bersenjata, yaitu suatu gerakan bersenjata yang melawan pemerintah yang sah; d. sabotase dari pihak tertentu untuk merusak instalasi penting dan objek vital nasional; e. spionase yang dilakukan oleh negara lain untuk mencari dan mendapatkan rahasia militer; f. aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh teroris internasional atau bekerja sama dengan teroris dalam negeri atau oleh teroris dalam negeri; g.
ancaman keamanan di laut atau udara yurisdiksi nasional Indonesia, yang dilakukan pihak-pihak tertentu, dapat berupa:
1. pembajakan atau perompakan;
2. penyelundupan senjata, amunisi, dan bahan peledak atau bahan lain yang dapat membahayakan keselamatan bangsa;
3. penangkapan ikan secara ilegal atau pencurian kekayaan di laut. h. konflik komunal yang terjadi antarkelompok masyarakat yang dapat membahayakan keselamatan bangsa. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan operasi militer untuk perang adalah segala bentuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI, untuk melawan kekuatan militer negara lain yang melakukan agresi terhadap Indonesia, dan/atau dalam konflik bersenjata dengan suatu negara lain atau lebih, yang didahului dengan adanya pernyataan perang dan tunduk pada hukum perang internasional.
Huruf b Angka 1 Cukup jelas.
Angka 2 Cukup jelas.
Angka 3 Cukup jelas.
Angka 4 Cukup jelas.
Angka 5 Yang dimaksud dengan objek vital nasional yang bersifat strategis adalah objek-objek yang menyangkut hajat hidup orang banyak, harkat dan martabat bangsa, serta kepentingan nasional yang ditentukan oleh keputusan pemerintah.
Angka 6 Cukup jelas.
Angka 7 Cukup jelas.
Angka 8 Yang dimaksud dengan memberdayakan wilayah pertahanan adalah:
a. membantu pemerintah menyiapkan potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan yang dipersiapkan secara dini meliputi wilayah pertahanan beserta kekuatan pendukungnya, untuk melaksanakan operasi militer untuk perang, yang pelaksanaannya didasarkan pada kepentingan pertahanan negara sesuai dengan sistem pertahanan semesta. b. membantu pemerintah menyelenggarakan pelatihan dasar kemiliteran secara wajib bagi warga negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. c. membantu pemerintah memberdayakan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Angka 9 Yang dimaksud dengan membantu tugas pemerintah di daerah adalah membantu pelaksanaan fungsi pemerintah dalam kondisi dan situasi yang memerlukan sarana, alat, dan kemampuan TNI untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi, antara lain membantu mengatasi akibat bencana alam, merehabilitasi infra struktur, serta mengatasi masalah akibat pemogokan dan konflik komunal.
Angka 10 Cukup jelas.
Angka 11 Cukup jelas.
Angka 12 Cukup jelas.
Angka 13 Cukup jelas.
Angka 14 Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 8 Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Yang dimaksud dengan menjaga keamanan wilayah perbatasan darat adalah segala upaya, pekerjaan, dan kegiatan untuk menjamin tegaknya kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa di wilayah perbatasan dengan negara lain dari segala bentuk ancaman dan pelanggaran.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Pasal 9 Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Yang dimaksud dengan menegakkan hukum dan menjaga keamanan adalah segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan penegakan hukum di laut sesuai dengan kewenangan TNI AL (constabulary function) yang berlaku secara universal dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk mengatasi ancaman tindakan kekerasan, ancaman navigasi, serta pelanggaran hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional. Menegakkan hukum yang dilaksanakan oleh TNI AL di laut, terbatas dalam lingkup pengejaran, penangkapan, penyelidikan, dan penyidikan perkara yang selanjutnya diserahkan kepada Kejaksaan, TNI AL tidak menyelenggarakan pengadilan.
Huruf c Yang dimaksud dengan diplomasi Angkatan Laut (naval diplomacy) adalah fungsi diplomasi sesuai dengan kebijakan politik luar negeri yang melekat pada peran Angkatan Laut secara universal sesuai dengan kebiasaan internasional, serta sudah menjadi sifat dasar dari setiap kapal perang suatu negara yang berada di negara lain memiliki kekebalan diplomatik dan kedaulatan penuh.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Pasal 10 Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Yang dimaksud dengan menegakkan hukum dan menjaga keamanan udara adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan untuk menjamin terciptanya kondisi wilayah udara yang aman serta bebas dari ancaman kekerasan, ancaman navigasi, serta pelanggaran hukum di wilayah udara yurisdiksi nasional.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan postur pertahanan negara adalah wujud penampilan kekuatan pertahanan negara yang tercermin dari keterpaduan kekuatan, kemampuan dan penggelaran sumber daya nasional yang ditata dalam sistem pertahanan negara, terdiri dari komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan postur TNI adalah wujud penampilan TNI yang tercermin dari keterpaduan kekuatan, kemampuan dan gelar kekuatan TNI. Pembangunan dan penggelaran kekuatan TNI tersebut harus memperhatikan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik dan pulau terpencil sesuai dengan kondisi geografis dan strategi pertahanan.
Dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis dan penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.
Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan Komando Utama Operasi adalah kekuatan TNI yang terpusat yang berada di bawah komando Panglima TNI.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan Komando Utama Pembinaan adalah kekuatan TNI yang memiliki fungsi pembinaan kekuatan matra yang berada di bawah komando Kepala Staf Angkatan.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat adalah pendapat berdasarkan alasan dan pertimbangan yang kuat tentang aspek moral dan kepribadian berdasarkan rekam jejak.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
(bersambung)
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Yang dimaksud dengan terhitung sejak permintaan persetujuan calon Panglima disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat adalah pada saat permintaan persetujuan tersebut secara administratif telah berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas.
Ayat (10) Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Angka 1 Cukup jelas.
Angka 2 Cukup jelas.
Angka 3 Cukup jelas.
Angka 4 Cukup jelas.
Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas.
Angka 7 Cukup jelas.
Angka 8 Cukup jelas.
Angka 9 Yang dimaksud dengan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara, antara lain perencanaan untuk :
a. memberikan kemampuan melalui pendidikan dan latihan agar dapat melaksanakan tugas pertahanan negara. b. mengintegrasikan kekuatan pengganda yang berasal dari komponen cadangan dan komponen pendukung ke dalam organisasi kekuatan pertahanan negara. c. membina serta memelihara kemampuan komponen cadangan dan komponen pendukung secara bertingkat dan berlanjut guna menjamin kesiapsiagaan. d. menggunakan komponen cadangan dan komponen pendukung untuk menghadapi ancaman. Angka 10 Penggunaan komponen cadangan setelah dimobilisasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Angka 11 Cukup jelas.
Angka 12 Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa adalah situasi dan keadaan yang kalau dibiarkan akan mengakibatkan kekacauan keamanan dan kerugian negara yang lebih besar sehingga perlu segera mengambil tindakan untuk mencegah dan mengatasi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata guna menyelamatkan kepentingan nasional.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Penggunaan kekuatan yang harus dipertanggungjawabkan kepada Presiden adalah tindakan operasi militer.
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Sumpah Prajurit adalah pernyataan atau janji kesetiaan dan ketaatan seorang prajurit kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk membaktikan diri kepada bangsa dan Negara Indonesia. Pada saat dilantik menjadi prajurit, setiap prajurit harus mengucapkan Sumpah Prajurit.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cara pemberian pangkat dilakukan dengan pengangkatan pertama yang diberikan setelah lulus pendidikan pertama dan pendidikan pembentukan, serta dengan kenaikan pangkat yang, terdiri dari:
1. Kenaikan pangkat regular diberikan pada waktu tertentu kepada prajurit yang telah memenuhi persyaratan jabatan dan masa peninjauan. 2. Kenaikan pangkat khusus terdiri atas:
a. Kenaikan pangkat luar biasa diberikan kepada prajurit yang mengemban penugasan khusus dengan pertaruhan jiwa raga secara langsung dan berjasa melampaui panggilan tugas. Kenaikan pangkat ini dapat dianugerahkan secara anumerta.
b. Kenaikan pangkat penghargaan diberikan kepada prajurit menjelang akhir dinas keprajuritan karena telah melaksanakan pengabdian secara sempurna dan tanpa terputus dengan dedikasi dan prestasi kerja yang tinggi. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Yang dimaksud dengan rahasia tentara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas-tugas tentara yang apabila jatuh ke tangan orang lain yang tidak berhak akan merugikan negara di bidang pertahanan.
Yang dimaksud dengan kata “akan” adalah bahwa setelah mengucapkan sumpah prajurit, selanjutnya prajurit serta merta mematuhi seluruh isi sumpah prajurit.
Yang dimaksud dengan taat kepada atasan adalah mematuhi seluruh perintah yang berhubungan dengan tugas keprajuritan, sepanjang tidak bertentangan dengan perintah agama yang dianutnya.
Pasal 36 Sumpah perwira diucapkan oleh prajurit yang dilantik sebagai perwira, merupakan pernyataan kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin.
Pasal 37 Cukup jelas.
Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Kode Etik Prajurit antara lain Sapta Marga dan Delapan Wajib TNI, sedangkan Kode Etik Perwira adalah Budhi Bhakti Wira Utama.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pakaian seragam adalah pakaian dinas TNI.
Yang dimaksud dengan atribut adalah tanda-tanda yang dikenakan oleh prajurit antara lain tanda pangkat, tanda jasa, tanda satuan, dan tanda kecakapan.
Yang dimaksud dengan perlengkapan dan peralatan militer adalah perlengkapan dan peralatan perorangan serta satuan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 42 Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan melampaui panggilan tugas adalah bahwa seseorang prajurit TNI tanpa memperdulikan keselamatan jiwanya melakukan tindakan kepahlawanan dalam suatu tugas demi bangsa dan negara, walaupun tindakan itu tidak dilakukannya, tidak akan disalahkan. Apabila yang bersangkutan akhirnya gugur dalam melakukan tindakan kepahlawanan yang berhasil tersebut, maka dapat dianugerahi penghargaan kenaikan pangkat luar biasa anumerta.
Kenaikan pangkat luar biasa atau kenaikan pangkat luar biasa anumerta, dianugerahkan terutama kepada tamtama dan bintara. Penganugerahan kenaikan pangkat ini tidak menutup kemungkinan penganugerahan tanda jasa kenegaraan untuk jasa yang sama.
Pada penganugerahan kenaikan pangkat luar biasa ini dinyatakan secara jelas dan terinci, dalam piagam dan dibacakan pada saat penganugerahan tentang siapa yang melakukan tindakan itu, apa yang dilakukannya, kapan dilakukan, di mana peristiwa itu terjadi dan jasa atau hasil positif dari tindakan kepahlawanan prajurit yang bersangkutan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 45 Cukup jelas.
Pasal 46 Cukup jelas.
Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan jabatan adalah jabatan yang dapat diduduki oleh prajurit aktif tidak termasuk jabatan Menteri Pertahanan atau jabatan politis lainnya.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan keluarga prajurit adalah isteri/suami beserta anak yang menjadi tanggungannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Prajurit karier yang diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan menerima:
a. pensiun, bilamana telah menjalani dinas keprajuritan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun; b. tunjangan bersifat pensiun, bilamana:
1) telah menjalani dinas keprajuritan antara 15 (lima belas) tahun hingga kurang dari 20 (dua puluh) tahun; atau
2) telah mencapai batas usia tunjangan bersifat pensiun yang ditentukan dan telah menjalani dinas keprajuritan antara 10 (sepuluh) tahun hingga 15 (lima belas) tahun; c. tunjangan, bilamana belum mencapai batas usia tunjangan bersifat pensiun akan tetapi telah menjalani dinas keprajuritan antara 5 (lima) tahun hingga kurang dari 15 (lima belas) tahun; atau d. pesangon, bagi yang telah menjalani dinas keprajuritan kurang dari 5 (lima) tahun, yang diterimakan sekaligus sebesar gaji terakhir dikalikan dengan jumlah tahun masa dinas keprajuritan. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 52 Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas.
Pasal 54 Cukup jelas.
Pasal 55 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Yang dimaksud dengan menjalani masa pensiun adalah masa di mana prajurit tersebut selesai melaksanakan kedinasan militer untuk kembali ke masyarakat.
Bagi prajurit yang menjalani masa pensiun berhak memperoleh masa persiapan pensiun (MPP) selama 1 (satu) tahun.
Pemberian MPP tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada prajurit yang bersangkutan mencari jenis pekerjaan lainnya sebagai persiapan setelah pensiun.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e
1. Gugur adalah menemui ajal dalam melaksanakan tugas atau tugas pertempuran sebagai akibat langsung tindakan lawan. 2. Tewas adalah menemui ajal dalam melaksanakan tugas berdasarkan perintah dinas bukan akibat tindakan lawan. 3. Meninggal dunia adalah menemui ajal bukan karena melaksanakan tugas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Yang dimaksud dengan pertimbangan khusus untuk kepentingan dinas adalah apabila :
1. dinas memerlukan pengurangan jumlah prajurit karena kelebihan tenaga yang disebabkan terjadinya penghapusan sebagian maupun seluruhnya dari bagian atau kesatuannya karena perubahan susunan organisasi TNI. 2. tidak menduduki jabatan struktural maupun fungsional paling sedikit selama satu tahun berturut-turut karena tidak memenuhi persyaratan administrasitif dan kemampuan untuk menduduki suatu jabatan, kecuali sedang mengikuti pendidikan. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 57 Yang dimaksud cacat berat adalah cacat jasmani dan/atau rohani yang mengakibatkan prajurit tidak mampu sama sekali untuk melakukan pekerjaan atau kegiatan apapun sehingga menjadi beban orang lain.
Yang dimaksud cacat sedang adalah cacat jasmani dan/atau rohani yang mengakibatkan penyandang cacat tidak mampu lagi menjalani dinas keprajuritan, namun masih mampu berkarya di luar lingkungan TNI.
Yang dimaksud dengan cacat ringan adalah cacat jasmani dan/atau rohani yang tidak mengakibatkan penyandang cacat terganggu dalam melaksanakan tugas.
Pasal 58 Ayat (1) Wajib terus dicari dalam jangka waktu yang tidak terbatas disesuaikan dengan kondisi situasi dan kemampuan pemerintah.
Ayat (2) Diberhentikan dengan hormat merupakan tindakan pertama yang perlu diambil berdasar atas keputusan Panglima yang menetapkan prajurit yang bersangkutan hilang. Setelah didapat kepastian atas diri prajurit yang bersangkutan, maka diadakan penyesuaian, antara lain diberhentikan dengan hormat karena gugur, tewas atau meninggal dunia atau diberhentikan dengan tidak hormat karena nyata-nyata merugikan disiplin keprajuritan atau kalau perlu diajukan ke Peradilan Militer karena desersi.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan masih hidup adalah keadaan dengan segala kondisi seperti cacat berat, cacat sedang dan lain-lain.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 59 Cukup jelas.
Pasal 60 Cukup jelas.
Pasal 61 Cukup jelas.
Pasal 62 Cukup jelas.
Pasal 63 Cukup jelas.
Pasal 64 Yang dimaksud dengan hukum militer adalah semua perundang-undangan nasional yang subjek hukumnya adalah anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Di samping itu segala hukum dan ketentuan perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar pelaksanaan tugas TNI dalam melaksanakan fungsi pertahanan negara dikategorikan sebagai hukum militer.
Hukum militer sebagaimana dimaksud di atas perlu dicapai kesatuan hukum, kepastian hukum dan kodifikasi hukum. Oleh sebab itu, hukum militer tersebut perlu dibina dan dikembangkan oleh departemen yang melaksanakan fungsi pemerintahan di bidang pertahanan negara.
Pasal 65 Ayat (1) Hukum yang dimaksud adalah hukum administrasi, hukum disiplin dan hukum pidana yang berlaku bagi prajurit termasuk peraturan khusus yang dikeluarkan oleh pimpinan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 66 Cukup jelas.
Pasal 67 Ayat (1) Semua pemenuhan dukungan anggaran TNI untuk melaksanakan tugas pembinaan kekuatan dan penggunaan kekuatannya dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Departemen Pertahanan.
Ayat (2) Semua pemenuhan dukungan anggaran operasi militer yang bersifat mendesak untuk keperluan pelaksanaan tugas dibiayai dengan anggaran kontijensi yang pelaksanaannya diajukan oleh Departemen Pertahanan dan melalui proses persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 68 Cukup jelas.
Pasal 69 Cukup jelas.
Pasal 70 Cukup jelas.
Pasal 71 Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73 Cukup jelas.
Pasal 74 Cukup jelas.
Pasal 75 Cukup
Pasal 76 Cukup jelas.
Pasal 77 Cukup jelas.
Pasal 78 Cukup jelas.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan

Ditulis oleh A.A. Oka Mahendra, S.H. (http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html)

Disharmonisasi antara Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengenai antara lain pengertian keuangan negara[1] membuat penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Badan Hukum Pendidikan Pemerintah berjalan alot. Bahkan pembahasan dalam rapat panitia antar kementerian sampai “ber-darah-darah”. Masing-masing wakil kementerian berpegang teguh pada undang-undang yang menjadi dasar hukum pelaksanaan fungsi dan tugas pokoknya.

Berbagai  jurus mematikan dikeluarkan untuk meruntuhkan argumentasi wakil kementerian lainnya. Ada wakil kementerian berpendapat bahwa kekayaan BHPP  termasuk dalam pengertian kekayaan negara menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Sehingga pengelolaan keuangannya tunduk pada peraturan perundang-undangan dibidang keuangan. Sebaliknya ada wakil kementerian yang berpendapat kekayaan BHPP tidak termasuk pengertian tersebut, karena BHPP bukan perusahaan negara/perusahaan daerah sehingga pengelolaan keuangannya dilakukan tersendiri[2]. Hal serupa juga terjadi dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS).

Biang keladinya ialah disharmonisasi antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Disharmonisasi tersebut menyangkut bentuk BPJS. Menurut Undang-Undang SJSN bentuk badan hukum BPJS ditentukan badan hukum nirlaba, pengelola dana amanat  yang dibentuk dengan undang-undang sedangkan Undang-Undang Usaha Perasuransian dan Undang-Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menentukan BPJS berbentuk BUMN. Akibatnya sampai berakhirnya tenggat waktu yang ditentukan dalam Pasal 52 ayat (2) UU SJSN yaitu tanggal 19 Oktober 2009, Undang-Undang BPJS gagal dibentuk.

Mengapa terjadi disharmoni antar peraturan perundang-undangan.

Ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan disharmoni sebagai berikut:
a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun waktu yang berbeda;
b. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugas atau penggantian;
c. Pendekatan sektoral dalam pembentukan  peraturan perundang-undangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem;
d. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum;
e. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan masih terbatas;
f. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.

Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan :
a.  Terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya;
b.  Timbulnya ketidakpastian hukum;
c. Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien;
d.  Disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.

 

Bagaimana mengatasi disharmoni peraturan perundang-undangan?

Dalam hal terjadi disharmoni peraturan perundang-undangan ada 3 (tiga) cara mengatasi sebagai berikut:
a.  Mengubah/ mencabut pasal tertentu yang mengalami disharmoni atau seluruh pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, oleh lembaga/instansi yang berwenang membentuknya.
b.  Mengajukan permohonan uji materil kepada lembaga yudikatif sebagai berikut;
1) Untuk pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar kepada Mahkamah  Konsitusi;
2) Untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Agung.

c. Menerapkan asas hukum/doktrin hukum sebagai berikut:

1)     Lex superior derogat legi inferiori.

Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah[3].

2)    Lex specialis derogat legi generalis

Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan menggesampingkan aturan hukum yang umum.

Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis[4]:

(a)   Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
(b)   Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang).
(c)   Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.

3).   Asas lex posterior derogat legi priori.

Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru.
Asas ini pun memuat prinsip-prinsip[5]:

(1)   Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama;
(2)   Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama.

Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku.[6]

 

Dapatkah disharmoni peraturan perundang-undangan dicegah?

Pencegahan disharmoni peraturan perundang-undangan antara lain dapat dilakukan melalui harmonisasi penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan. Untuk penyusunan rancangan undang-undang harmonisasi dilakukan pada tahap:

  1. Penyusunan program legislasi nasional dilingkungan pemerintah.
    Pengharmonisasian dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM dengan Menteri lain atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian penyusun rencana pembentukan rancangan undang-undang dan pimpinan instansi pemerintah terkait lainnya.[7]
    Pengharmonisasian dimaksud diarahkan pada perwujudan keselarasan, konsepsi tersebut dengan falsafah negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam rancangan undang-undang tersebut.[8]
    Pengharmonisasian konsepsi rancangan undang-undang dilaksanakan dalam forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan HAM RI.[9]
    Selanjutnya Menteri Hukum dan HAM mengkoordinasikan prolegnas yang diajukan oleh pemerintah dengan Badan Legislasi DPR RI dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi prolegnas.[10]
  2. Penyusunan prolegnas antara DPR dengan pemerintah.
    Koordinasi dilaksanakan oleh Badan Legislasi DPR RI.[11]
  3. Persiapan penyusunan rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden. Pengharmonisasian dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan HAM.[12]
    Pengharmonisasian dilakukan sebagai berikut:

1) Untuk penyusunan rancangan undang-undang berdasarkan prolegnas, keikut sertaan wakil Kementerian Hukum dan HAM dalam setiap panitia antar kementerian, dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian rancangan undang-undang dan teknik rancangan peraturan perundang-undangan.[13]
Panitia antar Kementerian menitik beratkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsip mengenai obyek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan.[14]
Dalam praktek pembahasan dilakukan secara rinci termasuk soal-soal teknis penyusunan dan teknis redaksional perumusan.

2).  Untuk penyusunan rancangan undang-undang diluar prolegnas pemrakarsa diwajibkan mengkonsultasikan rancangan undang-undang dimaksud dengan Menteri Hukum dan HAM dalam rangka pengharmonisasian.[15]
Untuk kelancaran pengharmonisasian Menteri Hukum dan HAM mengkoordinasikan pembahasan konsepsi rancangan undang-undang tersebut dengan pemerintahan dan lembaga terkait lainnya.[16]

Pengharmonisasian konsepsi rancangan undang-undang usul inisiatif DPR RI :

4.  Pengharmonisasian konsepsi rancangan undang-undang dilakukan oleh Badan Legislasi DPR RI.[17]
Pengharmonisasian rancangan undang-undang meliputi aspek teknis, subtansi, dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.[18]

 

Aspek apa saja yang di harmonisasikan?

Pengharmonisasian rancangan undang-undang mencakup 2 (dua) aspek sebagai berikut:

1.     Pengharmonisasian materi muatan rancangan undang-undang dengan:

a. Pancasila;
b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945/harmonisasi vertikal;
c. Undang-undang /harmonisasi horizontal;
d. Asas-asas peraturan perundang-undangan.

1). Asas pembentukan.
2). Asas materi muatan.
3).  Asas-asas lain yang sesuai dengan bidang hukum rancangan undang-undang yang bersangkutan.

2.  Pengharmonisasian rancangan undang-undang dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang meliputi :[19]

1). Kerangka peraturan perundang-undangan;
2). Hal-hal khusus;
3). Ragam bahasa;
4). Bentuk rancangan peraturan perundang-undang.
7 (tujuh) kemampuan dasar untuk pengharmonisasian untuk keberhasilan harmonisasi sebagai berikut:

  1. Memahami secara jernih keterkaitan rancangan undang-undang yang disusun dengan sistem hukum nasional.
  2. Komunikasi yang efektif dengan pemrakarsa dan pemangku kepentingan ketika mempersiapkan konsepsi materi muatan rancangan undang-undang, dalam rangka menemukan fakta-fakta yang relevan yang menjadi latar belakang, tujuan yang ingin dicapai dan problema-problema pontensial yang mungkin timbul.
  3. Bernegosiasi dengan pihak-pihak yang terkait, termasuk membuka askes terhadap aspirasi masyarakat.
  4. Memahami bahwa peraturan perundang-undangan akan dilaksankan oleh polisi, jaksa, hakim, pengacara, notaris, pengusaha dan masyarakan pada umumya.
  5. Menguasai pengetahuan tentang prinsip-prinsip hukum yang relevan dengan rancangan undang-undang.
  6. Menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
  7. Menguasai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.

Bagaimana pengharmonisasian dilakukan?

Pengharmonisasian dilakukan dengan cara sebagai berikut:

  1. Pastikan bahwa rancangan undang-undang mencantumkan nilai-nilai filosofis Pancasila dan pasal-pasal rancangan undang-undang yang bersangkutan tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
  2. Pastikan bahwa pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan pembentukannya telah dicantumkan dengan benar dan pastikan pula bahwa rancangan undang-undang telah selaras dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara menurut Undang-Undang Dasar.
  3. Gunakan istilah hukum atau pengertian hukum secara konsisten.
  4. Teliti dengan seksama apakah materi muatan rancangan undang-undang telah serasi/selaras dengan undang-undang lain terkait.
  5. Pastikan bahwa asas-asas peraturan perundang-undangan baik asas pembentukan, asas materi muatan, maupun asas lain yang berkaitan dengan bidang hukum yang diatur dalam rancangan undang-undang, telah terakomodasikan dengan baik dalam rancangan undang-undang.
  6. Pastikan bahwa pedoman teknik penyusunan peraturan perundang-undangan telah dipatuhi secara konsisten.
  7. Pastikan bahwa bahasa yang digunakan dalam merumuskan norma dalam rancangan undang-undang telah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta mengunakan pilihan kata yang tepat, jelas dan pasti.

Pengharmonisasian rancangan undang-undang yang dilaksanakan secara cermat dan profesional akan menghasilakan rancangan undang-undang yang memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang yang baik.
Ada 8 (delapan) kriteria hukum yang baik menurut Lon Fuller sebagai berikut:[20]

  1. Hukum harus dituruti semua orang, termasuk oleh penguasa negara;
  2. Hukum harus dipublikasikan;
  3. Hukum harus berlaku ke depan, bukan berlaku surut;
  4. Kaidah hukum harus ditulis secara jelas, sehingga dapat diketahui dan diterapkan secara benar;
  5. Hukum harus menghindari diri dari kontradiksi-kontradiksi;
  6. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi;
  7. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum. Tetapi hukum harus juga diubah jika situasi politik dan sosial telah berubah;
  8. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten dengan hukum yang berlaku.

Peraturan perundang-undangan yang baik merupakan pondasi Negara Hukum yang akan menjamin hak-hak warga negra, membatasi kekuasaan penguasa, menjamin kepastian dan keadilan hukum untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.

Akhirnya marilah kita renungkan adagium berikut: Cessante Ratione Legis, Cessat Et Ipsa Les: (bila dasar dari hukum itu berhenti, maka hukumnya sendiri pun berhenti).

 

Jakarta, 29 Maret 2010

A.A. Oka Mahendra

 


[1] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 antara lain menentukan: “keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi…. kekayaan negara/kekayaan daerah…. yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah”

[2]  Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009, menentukan: “BHPP adalah Badan Hukum Pendidikan yang didirikan oleh pemerintah”.

[3] Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta, 2004, hal.56. Periksa juga penjelasan Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai berikut; “dalam ketentuan ini  yang dimaksut dengan ” hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.

[4] Ibid, hal 58.

[5] Ibid hal 59.

[6] Ibid hal 59.

[7] Peraturan Presiden RI Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas, Pasal 14.

[8] Ibid, Pasal 15.

[9] Ibid, Pasal 16 ayat (1).

[10] Ibid, Pasal 19.

[11] Ibid Pasal 20.

[12] Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 18 ayat (2).

[13] Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancanagn Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden, Pasal 8.

[14] Ibid, Pasal 10 Ayat (1).

[15] Ibid, Pasal 21.

[16] Ibid, Pasal 22 Ayat (1).

[17] Peraturan DPR RI Nomor. 01/DPR RI/I/2009-2010, tentang Tata Tertib, Pasal 116 Ayat (1).

[18] Ibid, Pasal 115.

[19] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Opcit, Lampiran.

[20] Munir Fuady, Teori Negara Hukum Moderen (Rechstaat), Bandung, 2009, Halaman 9.

ASAS-ASAS HUKUM DALAM TEORI DAN PRAKTEK

Oleh : Rahmat Setiabudi Sokonagoro[1]

http://www.sokonagoro.com/6-asas-asas-hukum-dalam-teori-dan-praktek.html/comment-page-1#comment-2155

(Hak Cipta dilindungi Undang-undang)

Dalam tinjauan terhadap berlakunya peraturan perundang-undangan, dikenal asas undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan adanya undang-undang yang bersifat umum. Penggunaan asas ini sudah bersifat universal. Asas-asas ini dikenal untuk mengantisipasi jika terjadi pertentangan antara dua peraturan perundang-undangan yang sederajat. Misalnya pertentangan antara undang-undang. Sebagaimana kita ketahui dalam hukum tata negara di Indonesia, dikenal adanya hak menguji materiil terhadap peraturan perundang-undangan (toetsingrecht). Hak tersebut dimiliki oleh Mahkamah Agung, untuk menguji pertentangan peraturan perundang-undangan dengan derajat di bawah undang-undang, dengan kata lain, MA berwenang untuk menguji materiil peraturan perundang-undangan dibawah undang undang. Selain MA, kewenangan untuk menguji materiil juga dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Hak uji materiil ini dapat dilakukan hanya jika terdapat pertentangan antara Undang-Undang dengan Konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Jadi, dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, para pembentuk undang-undang sudah mengatur mengenai permasalahan jika terjadi pertentangan horizontal antara peraturan perundang-undangan dengan derajat di bawah Undang-Undang, dan jika terjadi pertentangan antara Undang-Undang dengan Konstitusi. Namun terhadap pertentangan antar undang-undang, belum diatur menjadi kewenangan siapa hak menguji materiil tersebut.

Selama ini, jika terjadi pertentangan antar undang-undang, maka dipergunakan asas hukum antara lain lex speciali derogat legi generali, lex poresteriori derogat legi inferiori, dan lain sebagainya. Nah, permasalahan akan terjadi lagi jika ternyata Undang-Undang tersebut bersifat sektoral. Apakah terhadap hal ini dapat diberlakukan asas-asas hukum tersebut.

Mari kita tinjau terhadap asas hukum lex speciali derogat legi generali yang artinya peraturan yang bersifat khusus dikesampingkan oleh peraturan yang bersifat khusus jika pembuatnya sama. Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut.[2]

Contoh pengakuan terhadap asas Lex specialis derogat legi generali dalam bidang hukum pidana materiil dapat kita lihat di dalam isi Pasal 103 KUHP yang menyatakan: “Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undangundang itu ditentukan lain”. Sedangkan dalam bidang hukum pidana formil, namapak di dalam isi Pasal 284 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ” (2) Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Memang benar bahwa sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) butir i Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, ”(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: I. mengadakan penghentian penyidikan. Sebagai alasan dari penghentian penyidikan perhatikan isi

Pasal 109 ayat (2) yang menyatakan: ”(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penghentian penyidikan demi hukum (Pasal 76; 77; 78 dan 79 KUHP), maka penyidik memberitahukan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Memang benar sesuai dengan Pasal 14 huruf h dinyatakan bahwa Penuntut umum mempunyai wewenang: h. Menutup perkara demi kepentingan hukum Sebagai alasan dari penghentian penuntutan perhatikan isi Pasal 140 ayat (2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penunutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak piada atau perkara ditutup demi hukum penuntutan umum menuangkan dalam surat ketetapan.

Dari dua produk hukum tersebut diberikan dasar hukum untuk adanya pengaturan yang berbeda terhadap apa yang telah diatur dalam undang-undang generalisnya. Dapatlah disebut mulai dari Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undangundang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sampai dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (dalam posisi Lex specialis), kesemuanya mempunyai materi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil) yang berbeda dengan apa yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (legi generali).

Satu lagi contoh pertentangan antara Undang-Undang yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengembalikan kepada asas hukum lex speciali derogat legi generali. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dalam salah satu pasalnya terdapat pertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yakni pada pasal yang mengatur tentang pemberian hak atas tanah dengan jangka waktu yang lebih lama (dalam UUPM) dibandingkan dengan jangka waktu yang diatur oleh UUPA. Padahal sudah jelas, bahwa Undang-Undang Pokok Agraria, konsepsi awalnya adalah Undang-Undang payung (umbrella act) atau Undang-undang pokok. Undang-undang ini juga bersifat sektoral, dimana terdapat dua sektor yang dapat bertentangan, yakni sektor pertanahan (Badan Pertanahan Nasional) dan sektor Investasi (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Pengaturan masing-masing undang-undang juga tidak membuka kemungkinan untuk merujuk pada suatu aturan yang lebih khusus. Sehingga pasal yang saling bertentangan tersebut menjadi tidak dapat berlaku (invalid). Para ahli hukum juga tidak dapat mempergunakan asas lex speciali karena Undang-Undang Penanaman Modal sudah bersifat speciali / khusus. Setiap investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia wajib tunduk kepada aturan UUPM tersebut. Sedangkan Undang-undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksananya juga merupakan aturan yang bersifat lex speciali pada bidang hukum pertanahan. Setiap pengurusan hak atas tanah, harus tunduk pada aturan UUPA tersebut.

Jika sudah demikian, muncul pertanyaan,siapakah yang berhak melakukan uji materiil, ataukah siapa yang dapat memberikan pendapat yang dapat dipergunakan sebagai acuan bagi para aparatur pemerintah dan investor dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut. Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan, karena MA hanya berwenang untuk menguji materiil peraturan di bawah undang-undang. Sedangkan Mahkamah Konstitusi juga tidak berwenang untuk melakukan uji materiil karena kewenangan MK hanya untuk menguji materiil Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi (Vertical Judicial Review). Apakah Undang-undang tersebut harus diamandemen lagi, dirubah lagi.

[1] LL.B (School of Law, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), LL.M Candidate (Postgraduate Program Universitas Gadjah Mada), Participant of Coursework International Trade Law and Corporate Finance Law at School of Law, South Carolina University, Associates at BER Law Firm, Jakarta;

[2] Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Perundang-undangan Dan Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 1979. hal 16-17;

Diposkan oleh Rahmat Setiabudi Sokonagoro, LL.B. di 22:22 0 komentar

Peristilahan Fiksi Hukum (Fictie Hukum) Dalam Teori dan dalam Praktek

Disusun Oleh: Rahmat Setiabudi Sokonagoro[1]

(Hak Cipta dilindungi Undang-Undang)

Fictie ialah bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai suatu hal yang benar. Dengan perkataan lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.[2] Kata fictie itu biasanya dipakai orang, jika orang dengan sadar menerima sesuatu sebagai kebenaran, apa yang tidak benar. Fictie atau dusta yang demikian itu memegang peranan yang penting dalam hukum, dan sudah dipakai sejak dahulu.

Sebagai contoh, rakyat Romawi yang meninggal dalam tawanan dipandang meninggal sebagai budak dan menurut hukum Romawi, seorang budak tak dapat meninggalkan warisan yanjg sah. Dengan demikian maka surat wasiat yang dibuatnya sebelum ia ditawan menjadi tidak berlaku. Akan tetapi, lex cornelia (dari Sulla) menentukan bahwa bila seorang rakyat meninggal dalam tawanan perang ia seharusnya dianggap sebagai orang yang meninggal pada saat pengangkatannya, sehingga surat wasiatnya berlaku (fictio legis corneliae). Fictie tersebut yang pada mulanya hanya ditentukan untuk hukum waris kemudian dilakukan untuk segala hubungan hukum dari seorang tawanan. Rakyat Romawi yang tertangkap sebagai tawanan, yang kembali di negerinya sendiri tak pernah dianggap sebagai bekas tawanan perang. Bangsa Romawi memakai fictie sebagai alat teknik pertolongan untuk perkembangan hukum. Dalam hal tersebut, perkembangan hukum inggris memperlihatkan persamaan dengan hukum Romawi.[3]

Dalam hukum Indonesia, fiksi hukum juga diakui. Lihat pasal 3 KUH Perdata yang berbunyi “Anak yang berasal dari seorang perempuan yang hamil, dinyatakan sebagai telah lahir, sekadar kepentingannya menghendakinya. Jika ia dilahirkan mati, ia dianggap sebagai tidak pernah ada”. Fiksi-fiksi tersebut mempunyai sidat yang tak berbahaya. Bahkan lebih daripada itu, orang dapat mengatakan bahwa fiksi perundang-undangan itu bukanlah fiksi sebenarnya melainkan dirumuskan belaka sebagai fiksi.

Soal “Ignorare Legis est lata Culpa”. atau fiksi hukum yang berarti setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu Undang-Undang yang telah diundangkan[4] menarik untuk diperbincangkan. Jarang kita melihat fiksi hukum itu dalam konteks waktu dan dimana kelahirannya. fiksi yang kita bicarakan ini juga harus dilihat dalam konteks ke-Indonesiaan.

Dalam Sejarah Hukum di Eropa daratan, hukum itu lahir dari kontrak sosial, kontrak sosial adalah metamorfosa dari kontrak-kontrak ekonomi masyarakat merkantilis. jadi ia lahir dari ranahnya hukum privat. Baru abad 18 dengan gejala industrialisasi munculah Negara Modern. Negara modern mensyaratkan adanya generalitas dalam sistem hukum yang bersifat publik. Untuk memenuhi generalitas itulah semua orang yang berada dalam satu wilayah negara harus tunduk pada suatu hukum yang dibikin oleh bandan publik. hal itu memberi manfaat agar institusi publik menjadi kuat.

Lalu bagaimana kira-kira bila dibandingkan dengan konteks Indonesia? Pertama, soal geografis adalah pembeda yang paling tajam antara NKRI dengan Negara-negara Eropa daratan yang relatif kecil. Pembeda kedua adalah Identifikasi Sosial masyarakat yang beragam berdasarkan suku dan penerimaannya terhadap hukum negara.

Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah bagaimana proses legal making di ruang legislator. Misalnya, apakah pembuatan UU yang berkaitan dengan pertambangan melibatkan masyarakat adat atau aspirasi masyarakat yang jauh dari pusat kekuasaan, seperti Papua dst. Soal akses masyarakat terhadap pembentukan UU itu satu hal saja. hal lain yaitu bagaimana sosialisasi pemerintah terhadap UU yang telah diundangkan. Apakah dengan hanya perintah untuk ditempatkan dalam Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, Lembaran Daerah, dll, dapat menjamin masyarakat mengetahui adanya peraturan yang diundangkan tersebut.

Dalam prakteknya, banyak masyarakat yang tidak mengerti bahkan tidak mengetahui adanya peraturan perundang-undangan yang baru. Permasalahan timbul ketika banyak warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap aturan tersebut, karena ketidak tahuannya bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Luasnya daerah geografis negara Indonesia, buruknya akses masyarakat kepada pemerintahan, keterbelakangan wilayah, membuat tidak seluruh peraturan perundang-undangan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat hanya dengan perintah pencantuman ke dalam Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, dll. Ketidak mampuan pemerintah dan aparaturnya dalam mensosialisasikan peraturan-peraturan yang baru dibentuk dan baru diundangkan juga menjadi salah satu sebab ketidak tahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan. Seharusnya, sebelum mempergunakan fiksi hukum ini, pemerintah wajib melakukan sosialisasi secara maksimal, sehingga paling tidak, 85 % masyarakat dapat mengetahuinya dan kemudian mematuhi peraturan tersebut.

Jadi fiksi perundang-undangan itu sebenarnya bukanlah tidak dapat dibuang. Akan tetapi bahwa ia sering dipakai terutama dapat dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh perumusan yang singkat. Adakalanya juga pembentuk undang-undang memakai fiksi, padahal pemakaian fiksi itu dapat dihindarinya. Hukum yang tugasnya mengatur kehidupan masyarakat sebenarnya tidak boleh dijelmakan dalam peraturan-peraturan yang dalamperumusannya jelas bertentangan dengan kenyataan. Adalah kewajiban ajaran hukum untuk sebanyak mungkin mengeluarkan fiksi dari perundang-undangan, dengan kata lain, mempersiapkan peraturan-peraturan yang sederhana.

Sebenarnya pemakaian fiksi hukum dalam perundang-undangan dan dalam ajaran hukum menyebabkan kerugian yang besar. Pemakaian fiksi hukum tersebut mengakibatkan kebiasaan para ahli hukum memakai fiksi dengan tidak semestinya. Karena dalam Undang-undang dan dalam literatur yang bersifat ilmu pengetahuan hukum, ahli hukum seringkali mempergunakan fiksi. Akhirnya ahli hukum, karena terbiasa dengan penggunaan fiksi hukum tersebut, menjadi sangat lancar mempergunakannya. Itulah sebabnya, fiksi hukum memegang peranan juga dalam pengadilan dan terkadang memegang peran yang sangat berbahaya. Untuk hakim, fiksi adalah alat yang memikat, karena fiksi memberikan hakim kemampuan untuk mencapai suatu keadaan yang diinginkannya. Dengan fiksi, kita dapat menghitamkan yang putih maupun sebaliknya. Hal itu membahayakan dalam proses menemukan kebenaran dan keadilan. Misalnya dalam persangkaan. Persangkaan harus dipisahkan dari fiksi. Fiksi adalah ketidak benaran suatu ciptaan saja, persangkaan mungkin benar, mungkin tidak. Peranan yang penting yang dipegang oleh persangkaan ini tidak akan ditinjau lebih lanjut.

[1] LL.B (School of Law, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), LL.M Candidate (Postgraduate Program Universitas Gadjah Mada), Participant of Coursework International Trade Law and Corporate Finance Law at School of Law, South Carolina University, Associates at BER Law Firm, Jakarta;

[2] Appledoorn, L.J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

[3] Ibid.

[4] A. Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2005.
Diposkan oleh Rahmat Setiabudi Sokonagoro, LL.B. di 22:14 0 komentar

MENGGALI MAKNA PERISTILAHAN HUKUM

DALAM BAHASA HUKUM INDONESIA

Disusun Oleh:
Rahmat Setiabudi Sokonagoro, Khotibul Umam,

Afra Roki, Chandra Dewi Puspitasari, Sri Widiyastuti

A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa hukum merupakan elemen penting adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Supremasi hukum merupakan suatu keniscayaan agar jalannya pemerintahan bernegara berada dalam koridor hukum.

Seperti kita ketahui bersama bahwa hukum di Indonesia masih banyak yang materinya berasal dari hukum peninggalan Belanda, dimana hal ini mendapatkan pijakan yang kokoh secara hukum melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Secara faktual hingga saat ini juga masih banyak dijumpai lembaga-lembaga hukum peninggalan Belanda yang dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari, baik pada sektor legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Dalam bahasa sehari-hari pun sering kita dengar masih familiarnya penggunaan istilah-istilah tentang hukum, baik oleh praktisi hukum maupun masyarakat awam. Walaupun demikian terkadang dalam penggunaannya kurang sesuai dengan makna dari istilah yang bersangkutan diukur dari kacamata teori-teori ilmu pengetahuan.

Peristilahan hukum yang muncul saat ini, ternyata tidak hanya peristilahan hukum dari bahasa Belanda, beberapa dari bahasa lain baik dari negara-negara Eropa Kontinental, Anglo Saxon, bahkan perkembangan terbaru banyak muncul peristilahan dari bahasa Arab yang lebih banyak dipraktikkan dalam Hukum Lembaga Keuangan. Istilah hukum sendiri sebenarnya berasal dari Bahasa Arab hukm, yang kemudian telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum, termasuk juga istilah keadilan dan kemanfaatan.

Contoh peristilahan dari bahasa Belanda yang masih perlu dipertanyakan kebenarannya misalnya setiap orang dianggap tahu undang-undang atau yang lebih dikenal dengan fictie hukum, lebih baik tidak menghukum orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah, tegakkanlah hukum meskipun langit akan runtuh (fiat justicia roat coelum), lex specialis derogat legi generali, putusan hakim selalu dianggap benar (res judicata pro veritate habetur) dan sebagainya. Sementara dari Anglo Saxon System dikenal adanya istilah Memorandum of Understanding (MoU) yang dalam realitas empiris sering dipersamakan dengan perjanjian. Kemudian peristilahan dari bahasa Arab yang saat ini ada di masyarakat khusunya di bidang hukum ekonomi dan keuangan misalnya mengenai pembiayaan mudharabah, pembiayaan murabahah, pembiayaan musyarakah, pembiayaan qardh, riba, dan sebagainya.

Beberapa peristilahan tersebut jika ditinjau makna dan penggunaannya sering kali kurang tepat, sukar diterapkan, dan beberapa menjadi tidak logis serta cenderung hiperbolis. Penggunaan yang tidak tepat misalnya penyamaan antara MoU dengan perjanjian, sementara istilah yang sukar penerapannya misalnya adagium lex specialis derogat legi generali, dan penggunaan istilah yang tidak logis dan hiperbolis misalnya hukum harus ditegakkan meskipun langit runtuh (fiat justitia roat coelum).

Penggunaan-penggunaan istilah dimaksud ada yang tepat ketika diimplementasikan dalam realitas praktik, pun beberapa dirasa kurang tepat terutama jika ditinjau dari teori kebenaran dan teori keadilan. Kebenaran dan keadilan merupakan unsur yang hendak dituju oleh hukum. Oleh karena itu ketika berbicara tentang hukum orientasi kita adalah pada kebenaran dan keadilan.

Berbicara mengenai istilah atau peristilahan berarti kita masuk pembahasan mengenai bahasa, lebih khusus lagi dalam konteks ini adalah bahasa hukum. Sementara ketika kita hendak menggali maknanya kita akan masuk ke ranah filsafat ilmu, dan untuk mencari kebenaran dari istilah dan penggunaannya kita akan menggunakan teori kebenaran. Setelah itu untuk mengetahui dampak dari penggunaan istilah tertentu kita akan menggunakan teori keadilan.

Menurut Kusumadi Pudjosewojo bahwa bahasa hukum Indonesia masih mencari gayanya sendiri. Istilah-istilahnya masih belum tetap dan sebagian besar masih merupakan terjemahan belaka dari istilah hukum Belanda. Dengan demikian istilah atau kalimat Indonesia itu masih mencerminkan pengertian hukum Belanda dan alam pikiran hukum Belanda. Lanjut Beliau bahwa bahasa hukum berlainan daripada bahasa sehari-hari atau bahasa kesusasteraan.[1]

Karakteristik bahasa hukum Indonesia selain terletak pada komposisi, dan gaya bahasa yang khusus dengan kandungan arti yang khusus, juga terletak pada istilah-istilah yang dipakai.[2] Hal ini disebabkan dalam merumuskan, menyusun, menjabarkan ketentuan-ketentuan hukum para ahli hukum demi kepentingan hukum itu sendiri perlu menggunakan kata, istilah atau ungkapan-ungkapan yang jelas, teliti, pasti, seragam, dan bersistem.

Kamus Bahasa Indonesia sendiri tidak memuat secara defenitif mengenai pengertian istilah tersebut, tetapi dalam buku yang berjudul Bahasa Hukum Indonesia yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional dapat diambil kesimpulan bahwa istilah merupakan satu atau beberapa kata yang digunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep. Mengingat istilah ini dalam konteks istilah hukum, maka konsep yang diungkapkan tesebut merupakan sebuah konsep tentang hukum. Sehingga, dapat dikatakan bahwa istilah hukum adalah satu atau beberapa kata yang dipergunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep hukum.

Dalam filsafat ilmu dipertanyakan mengenai apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak dan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat membawa perdebatan panjang namun hakikat ilmu tidaklah bebas nilai. Satu hal yang ingin dihindari oleh kebanyakan ilmuwan namun kehadirannya sulit untuk di tolak adalah kekuasaan. Kekuasaan memainkan peran besar dalam perkembangan ilmu – baik secara langsung maupun tidak – karena para ilmuwan sulit untuk memancangkan bendera otonomi ilmiah di dalam suatu negara yang meletakkan kekuasaan sebagai faktor yang dominan dalam mengambil suatu kebijakan. Kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara ke dua belah pihak-ilmuwan dengan klaim kebenaran (truth claim-nya) berpeluang untuk terjadi.[3]

Bidang dari filsafat ilmu yang membicarakan ukuran benar atau tidaknya pengetahuan yaitu Epistemologi yang secara etimologis berarti teori pengetahuan. Adapun obyek material dari epistemologi adalah pengetahuan, sedangkan obyek formalnya adalah hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan demikian epistemologi sangat berguna bagi upaya untuk menganalisis kebenaran dari suatu obyek, yang dalam hal ini adalah peristilahan hukum.

Sementara dengan menggunakan analisis teori kebenaran, maka akan dipakai teori kebenaran korespondensi, teori kebanaran koherensi, dan teori kebenaran pragmatis. Kemudian karena dalam penggunaan peristilahan tertentu sering kali berdampak pada unsur esensial dari hukum yaitu keadilan, maka teori keadilan juga akan menjadi pisau analisis beberapa peristilahan hukum tertentu, seperti adanya fiksi hukum bahwa setiap orang dianggap tahu hukumnya dan ketidaktahuan terhadap hukum bukan merupakan alasan pemaaf.

Era reformasi membawa banyak perubahan demikian juga dalam pola pemakaian bahasa dan pemilihan istilah, misalnya semakin banyaknya istilah hukum dan lembaga hukum dari negara lain yang masuk dan digunakan dalam praktik hukum di Indonesia.

Dengan demikian akhir-akhir ini makin dirasakan betapa pentingnya fungsi bahasa sebagai media komunikasi. Pada kenyataannya dewasa ini, selain ahli-ahli bahasa semua ahli yang bergerak dalam bidang pengetahuan semakin memperdalam dirinya dalam mempelajari teori dan praktik bahasa.

Bahasa dan hukum merupakan satu kesatuan. Bahasa hukum harus memenuhi syarat-syarat serta kaidah-kaidah bahasa karena bahasa hukum mempunyai karakteristik tersendiri yang menyebabkan sulitnya masyarakat untuk memahaminya. Rumitnya struktur bahasa hukum ini dipengaruhi oleh bahasa-bahasa asing terutama bahasa Belanda dan juga kurangnya pengetahuan dari pembuat undang-undang akan tata bahasa Indonesia sendiri. Di samping itu juga karena masih adanya anggapan-anggapan bahwa dunia hukum itu terlalu formal dan kompleks serta adanya ketidakpercayaan terhadap hukum pada umumnya.[4]

Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka Penulis mempunyai ketertarikan untuk membahas mengenai peristilahan hukum dalam konteks bahasa hukum Indonesia, sehingga makalah ini Penulis beri judul “Menggali Makna Peristilahan Hukum dalam Bahasa Hukum Nasional”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka berbagai masalah dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana pemaknaan peristilahan hukum dalam praktik di masyarakat?

2. Bagaimana jika pemaknaan dimaksud di tinjau dari teori kebenaran dan teori keadilan?

C. PEMBAHASAN

1. Peristilahan Hukum dalam Praktik di Masyarakat

Bahasa, Bahasa Hukum, dan Bahasa Hukum Indonesia

Bahasa adalah kata-kata yang digunakan sebagai alat bagi manusia untuk menyatakan atau melukiskan suatu kehendak, perasaan, fikiran, pengalaman, terutama dalam hubungannya dengan manusia lain.[5] Bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sering dikatakan pula bahwa bahasa merupakan penjelmaan dari kehidupan manusia dalam masyarakat. Dalam pergaulan manusia bahasa menjadi alat penghubung yang mampu menyampaikan berbagai pesan. Pesan yang disampaikan tersebut berupa simbol-simbol kebahasaan.

Sudjito mengungkapkan bahwa diantara simbol-simbol tersebut ada yang berbentuk kata-kata (lisan), ada yang berbentuk tulisan, dan ada pula yang berbentuk perlambang. Rangkaian dari simbol-simbol itulah yang kemudian menjadikan sebuah bahasa terbentuk dan mempunyai makna. Hanya dengan bahasa dan melalui bahasa proses pengenalan dan proses komunikasi dapat berlangsung.[6]

Jika dilihat dari sejarah pertumbuhan bahasa sejak awal hingga sekarang, maka fungsi bahasa secara garis besarnya adalah sebagai berikut :[7]

1) Untuk menyatakan ekspresi diri

Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri secara terbuka segala sesuatu yang tersirat dalam diri manusia, sekurang-kurangnya memaklumkan keberadaannya.

2) Sebagai alat komunikasi

Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan dan memungkinkan manusia menciptakan kerja sama sesama warga.

3) Sebagai alat menyatakan integrasi dan adaptasi sosial

Disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, dengan bahasa memungkinkan pula bagi manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman tersebut, serta belajar berkenalan dengan anggota masyarakat, dapat mempelajari dan mengenal segala adat istiadat, tingkah laku dan tata krama masyarakat lain.

4) Sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial

Kontrol sosial maksudnya adalah usaha untuk mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang-orang lain. Tingkah laku itu dapat bersifat terbuka (overt yaitu tingkah laku yang dapat diamati atau diobservasi), maupun yang bersifat tertutup (covert yaitu tingkah laku yang tidak dapat diobservasi). Seluruh kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan menggunakan bahasa. Dalam mengadakan kontrol sosial, bahasa mempunyai hubungan dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat.

Berkaitan dengan fungsi bahasa secara umum, maka melalui bahasa pula penggalian, penguasaan dan penyebaran ilmu pengetahuan dapat menjadi lebih efektif. Bahasa yang dipelajari dan dipakai dalam dunia ilmu pengetahuan adalah bahasa ilmiah atau bahasa keilmuan. Bahasa ilmiah mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat sebagaimana dikemukakan Anton M. Moeliono:[8]

1) Lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan;

2) Obyektif dan menekan prasangka pribadi;

3) Memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat dan kategori yang diselidikinya untuk menghindari kesimpangsiuran;

4) Tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi;

5) Cenderung membakukan makna kata-katanya, ungkapannya dan gaya paparannya berdasarkan konvensi.

6) Tidak dogmatik atau fanatik;

7) Bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai;

8) Bentuk, makna dan fungsinya lebih mantap dan stabil daripada yang dimiliki kata biasa.

Bahasa dan hukum memiliki kaitan yang erat. Hal tersebut dapat diketahui dengan mengacu pada pendapat Sutan Takdir Alisyahbana yang dikutip Harkristuti Harkrisnowo bahwa baik bahasa maupun hukum merupakan penjelasan kehidupan manusia dalam masyarakat dan merupakan sebagian dari penjelmaan suatu kebudayaan pada suatu tempat dan waktu. Bahasa dan hukum itu saling berhubungan, saling pengaruh, malahan dianggap sebagai penjelmaan masyarakat dan kebudayaan, yang sebaliknya pula dipengaruhi baik oleh bahasa maupun oleh hukum. [9] Dengan kata lain, ada hubungan yang erat antara bahasa dan hukum. Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu sarana untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban sosial masyarakat. Ketentuan hukum tersebut utamanya dirumuskan melalui bahasa, khususnya bahasa hukum.

Bahasa hukum adalah bahasa (kata-kata) yang digunakan untuk merumuskan dan menyatakan hukum dalam suatu masyarakat tertentu.[10] Hukum hanya dapat berjalan efektif manakala ia dirumuskan melalui bahasa hukum dengan tegas dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat, dan harus dapat dikomunikasikan dengan baik pada subyek-subyek hukum yang dituju.

Sebagai ilmu, bahasa hukum mempunyai obyek, metode dan tujuan tertentu. Obyek garapan bahasa hukum adalah berupa tanda-tanda kebahasaan yang biasa digunakan dalam hukum, meliputi bahasa verbal (lisan), bahasa visual (tulisan), gerak/isyarat, benda-benda, dan warna tertentu. Ciri khas bahasa hukum sebagai pengetahuan keilmuan terletak pada landasan ontologis yang mengacu pada obyek garapan dan apa yang ingin diketahui dari kajian terhadap obyek tersebut, landasan epistemologis yang menentukan metode yang dipakai untuk memperoleh dan menggarap obyek yang ditentukan, sehingga hasil garapan tersebut mempunyai makna dan landasan aksiologis yang menelaah tujuan dari segenap aktivitas keilmuan dan pemanfaatannya.[11]

Secara garis besar penggarapan metode pengolahan tanda-tanda kebahasaan itu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menyusun, merangkai, atau mengorganisisr tanda-tanda kebahasaan tersebut sehingga terwujud sebuah susunan atau bangunan baru yang punya struktur sehingga bisa disebut sebagai bahasa hukum dan berusaha menafsirkan (menangkap atau mencari makna) yang terkandung pada tanda-tanda kebahasaan yang telah ada dan hadir dihadapan kita, sehingga kita tahu persis mengenai tujuan dan kemanfaatannya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, dalam konteks asal dan aslinya maupun dalam konteks keperluan penafsirnya. Sedangkan tujuan bahasa hukum adalah menyampaikan pesan tentang kebenaran dan keadilan dari subyek yang menggarap tanda-tanda kebahasaan kepada subyek lain.[12]

Simposium bahasa dan hukum tahun 1974 yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional menghasilkan rumusan mengenai apa yang dimaksud dengan bahasa hukum Indonesia. Bahasa hukum Indonesia merupakan bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik sendiri, oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kaedah-kaedah bahasa Indonesia.[13] Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa hukum Indonesia sebenarnya merupakan bagian dari bahasa Indonesia.

Bahasa hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat. Namun dikarenakan bahasa hukum adalah bagian dari bahasa Indonesia yang modern, maka dalam penggunaannya ia harus tetap, terang, monosemantik dan memenuhi syarat estetika bahasa Indonesia.[14] Sebagai bagian dari bahasa Indonesia, bahasa hukum selayaknya juga mengikuti kaidah bahasa Indonesia secara umum. Hal tersebut dimaksudkan supaya tidak membuka peluang interpretasi ganda. Hal yang disebut terakhir ini sangat penting untuk menghindari agar kepastian hukum dapat dijamin.

Sebagian besar masyarakat masih merasa bahwa bahasa hukum kita merupakan bahasa yang sulit dimengerti atau sulit dipahami. Hal tersebut dapat saja terjadi karena bahasa hukum memiliki karakteristik tersendiri yaitu yang terletak pada istilah-istilah, komposisi, serta gaya bahasanya yang khusus dan kandungan artinya yang khusus pula.

Selain sulit dimengerti atau sulit dipahami, bahasa Indonesia yang dipakai dalam dunia hukum ternyata seringkali tidak berhasil memancarkan kandungan atau isi hukum dengan baik, sehingga mengakibatkan seseorang menemui kesulitan menangkap makna hukum dalam sebuah perjanjian atau peraturan.[15] Bahasa hukum Indonesia yang masih dipergunakan hingga saat ini semantik[16] katanya masih belum baik, sehingga terkadang ditemukan istilah-istilah yang tidak tetap dan kurang jelas.

Jika melihat kembali pada fungsi dasar bahasa yaitu sebagai alat menyampaikan pesan dan tujuan bahasa hukum yaitu menyampaikan kebenaran dan keadilan, maka bahasa hukum Indonesia masih memiliki kekurangsempurnaan, khususnya dalam semantik kata (pemaknaan kata). Nampaknya memang tidak ada salahnya apabila mulai sekarang bahasa hukum dibuat lebih sederhana, tidak menimbulkan multiinterpretasi, sehingga tidak menimbulkan kebingungan masyarakat awam, baik dalam pemaknaan maupun penerapan.

Teori Kebenaran dan Teori Keadilan

Pengetahuan dipandang dari jenis pengetahuan yang dibangun dapat dibedakan sebagai berikut:[17]

1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge/Common Sense Knowledge). Pengertian seperti ini bersifat subyektif, artinya amat terikat pada subyek yang mengenal. Dengan demikian pengetahuan jenis pertama ini memiliki sifat yang selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan itu bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.

2) Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkn obyek yang khas atau spesifik dengan menerapkan pendekatan metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan di antara para ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, karena kandungan jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi dan diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan (agreement) oleh para ilmuwan sejenis.

3) Pengetahuan filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati. Sifat pengetahuan ini mendasarkan dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenarannya adalah absolut-intersubjektif. Maksudnya ialah nilai kebenaran yang terkandung pada jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan dari seorang filsuf serta selalu mendapat pembenaran dan filsuf kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula.

4) Pengetahuan agama, yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran agama tertentu. Pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu didasarkan pada keyakinan yang telah tertentu, sehingga pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makna dari kandungan kitab suci itu dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi kandungan dimaksud dari ayat kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.

Dengan demikian sebuah pengetahuan memiliki kadar kebenaran yang berbeda-beda, berdasarkan pada pengklasifikasian di atas maka hanya pengetahuan agama yang nilai kebenarannya bersifat absolut, karena berasal dari yang Maha Benar. Sementara untuk pengetahuan jenis lain memiliki kebenaran yang sifatnya relatif. Untuk pengetahuan yang sifat kebenarannya relatif ini perlu ditinjau dan dianalisis melalui perangkat tertentu untuk mendapatkan kebenaran yang dituju. Adapun teori yang berbicara mengenai kebenaran antara lain adalah sebagai berikut:

(1) Teori kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu dianggap benar jika ada kesesuaian dengan fakta empiris, dalam artian bisa ditangkap oleh panca indra.

(2) Teori kebenaran koherensi, yaitu menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar manakala berhubungan dengan pernyataan sebelumnya sehingga ada pernyataan berkesinambungan dan terjaga konsistensinya.

(3) Teori kebenaran pragmatis, teori ini menyatakan bahwa suatu pengetahuan dianggap benar manakala hal tertentu itu bermanfaat secara praktis bagi dirinya sendiri.

Unsur berikutnya yang dituju oleh hukum, termasuk bahasa hukum sebagai bagian dari ilmu hukum adalah keadilan. Mengenai keadilan ini mengalami perkembangan dari masa ke masa, bahwa adil bagi orang atau kelompok tertentu belum tentu dirasa adil bagi orang atau kelompok lain. Ukuran keadilan menjadi relatif ketika dihadapkan pada peristiwa konkrit.

Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan. Bahkan ada orang yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum. Pernyataan ini ada sangkut pautnya dengan tanggapan bahwa hukum merupakan bagian usaha manusia menciptakan suatu ko-eksistensi etis di dunia ini. Hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang-orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.[18]

Arsitoteles dalam The Ethics of Aristoteles, terjemahan J.A.K Thomson, yang disunting oleh S. Tasrif, menyatakan bahwa bila orang berbicara tentang keadilan, yang mereka anggap secara pasti adalah adanya suatu keadaan pikiran yang mendorong mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang adil, untuk bersikap secara adil, dan untuk tidak menginginkan hal yang tidak adil.[19]

Aristoteles juga membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva dan justitia commutativa. Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya, sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya.[20]

Menurut Tasrif, ada empat syarat minimum agar keadilan mendapat pernyataannya, yaitu: Pertama, yang adil itu adalah sekaligus tengah-tengah dan kesebandingan. Kedua, dalam sifatnya sebagai tengah-tengah, ia harus mempunyai dua ujung, dan diantara kedua ujung itu ia berada. Ketiga, dalam sifatnya sebagai yang sebanding dari apa yang dibagi. Keempat, dalam sifatnya sebagai yang adil, harus ada orang-orang tertentu untuk siapa hal itu adil.[21]

Jadi, pengertian adil itu menurut Tasrif adalah kebajikan yang sempurna karena ia melaksanakan kebajikan yang sempurna, yaitu bahwa orang yang memiliki keadilan itu mampu menerapkannya terhadap pihak lain dan bukan hanya dalam keadaan yang mengenai dirinya sendiri.

2. Pemaknaan Peristilahan Hukum Ditinjau dari Teori Kebenaran dan Teori Keadilan

Penggunaan peristilahan hukum terutama yang berasal dari istilah asing sebagaimana telah disebut pada bagian sebelumnya sering kali tidak tepat ditinjau dari maknanya, dan dampaknya ketika istilah itu digunakan dalam praktik hukum di masyarakat. Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa istilah hukum yang ditinjau dari dua pisau analisis yaitu teori kebenaran dan teori keadilan. Beberapa istilah hukum yang akan dianalisis pada bagian ini adalah mengenai Memorandum of Understanding (MoU), teori fiksi hukum, dan adagium hukum yaitu lex specialis derogat legi generali.

Pertama, Istilah Memorandum of Understanding berasal dari dua kata, yaitu memorandum dan understanding. Dalam Black’s Law Dictionary diartikan memorandum adalah “dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara formal pada masa datang” (is to serve as the basis of future formal contract). Sedangkan understanding diartikan sebagai “pernyataan persetujuan secara tidak langsung terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara lisan maupun secara tertulis” (an implied agreement resulting from the express term of another agreement, whether written or oral).[22]

Sehingga dirumuskan pengertian MoU adalah dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun lisan. Secara gramatikal MoU biasa diartikan sebagai nota kesepahaman.[23]

Beberapa pendapat memberi arti yang berbeda pula tentang MoU, misalnya Munir Fuady mengartikan MoU adalah “perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara detail, karena itu MoU berisikan hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai lain-lain aspek dari MoU relatif sama dengan perjanjian-perjanjian lain”.[24]

Erman Rajagukguk mengartikan MoU sebagai “dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari MoU harus dimasukkan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat”.[25]

Sehingga dari keseluruhan pengertian tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur MoU, yaitu: bersifat sebagai perjanjian pendahuluan, dibuat oleh para pihak yang merupakan subjek hukum, wilayah keberlakuan yang bisa meliputi regional, nasional, maupun internasional, substansi MoU adalah kerjasama dalam berbagai aspek, Jangka waktunya tertentu.[26]

MoU sebenarnya tidak dikenal dalam hukum Indonesia, tetapi sering dipergunakan dalam praktik. MoU dianggap sebagai kontrak yang simpel dan tidak disusun secara formal, serta dianggap sebagai pembuka suatu kesepakatan.[27]

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak ditemukan ketentuan yang khusus mengatur tentang MoU, namun bila diperhatikan substansi dari MoU sebagai perjanjian pendahuluan, maka dapat disimpulkan bahwa MoU tunduk pada ketentuan perikatan pada umumnya dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, karena bagaimanapun ada unsur kesepakatan dalam pembuatan MoU. Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[28]

MoU dibuat dengan memiliki tujuan-tujuan tertentu antara lain, yaitu sebagai berikut:

a. Untuk menghindari kesulitan pembatalan suatu agreement nantinya, dalam hal prospek bisnisnya belum jelas benar, dan apakah kerjasama selanjutnya akan ditindaklanjuti, sehingga dibuatlah MoU yang mudah dibatalkan.

b. Penandatanganan kontrak masih lama karena masih dilakukan negosiasi yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatanganinya kontrak tersebut, maka dibuatlah MoU yang akan berlaku sementara waktu.

c. Adanya keraguan para pihak dan masih perlu waktu untuk pikir-pikir dalam hal penandatanganan suatu kontrak, sehingga untuk sementara dibuatlah MoU.

d. MoU dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif teras dari suatu perusahaan, sehingga untuk suatu perjanjian yang lebih rinci harus dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf yang lebih rendah namun lebih menguasai secara teknis.[29]

Mengingat substansi MoU di mana adanya kesepakatan kehendak untuk membuatnya, maka dikatakan MoU mempunyai kekuatan mengikat untuk dilaksanakan layaknya sebuah perjanjian pada umumnya. Akan tetapi bila salah satu pihak tidak memenuhi isi memorandum, pihak lain tidak mempersoalkan hal tersebut. Sehingga para ahli pun belum memiliki jawaban yang pasti tentang kekuatan mengikat MoU.

Ray Wijaya mengemukakan pendapatnya tentang kekuatan mengikat MoU tersebut yaitu bahwa pertama, MoU hanya merupakan suatu gentlement agreement yang tidak mempunyai akibat hukum, dan kedua, MoU merupakan suatu bukti awal telah terjadi atau tercapai saling pengertian mengenai masalah-masalah pokok.[30]

MoU sebagaimana tersebut di atas merupakan lembaga hukum yang berasal dari tradisi Anglo Saxon. Di tinjau secara keilmuan hukum MoU merupakan janji untuk mengadakan perjanjian, dengan demikian pada dasarnya belum mempunyai kekuatan mengikat layaknya perjanjian itu sendiri. Penggunaan istilah MoU dalam tradisi Kontinental dengan mengkaitkan dengan teori kebenaran lebih masuk ke dalam teori kebenaran pragmatis karena didasarkan pada manfaat secara praktis dan kehadirannya dirasakan mendatangkan manfaat.

Penggunaan MoU dalam praktik hukum di masyarakat sebagaimana disinggung di atas seringkali tidak tepat, paling tidak penggunaannya oleh masyarakat awam. Masyarakat kebanyakan masih menyamakan MoU dengan perjanjian, sehingga dalam hal pihak lain tidak melaksanakan apa yang termuat dalam MoU maka padanya seakan-akan dapat menggugat pihak lain tersebut. Kalau ditinjau secara isi materi muatan yang ada di MoU seringkali secara substansial sudah merupakan perjanjian, namun dalam kenyataannya yang dipakai adalah istilah MoU. Adanya berpotensi menimbulkan dampak yuridis yang berkepanjangan, sehingga bisa menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat.

Kedua teori fiksi hukum. Fiksi menurut kamus bahasa Indonesia adalah cerita rekaan, hasil khayalan pengarang.[31] Sedangkan hukum diartikan sebagai peraturan resmi yang menjadi pengatur dan dikuatkan oleh pemerintah, undang-undang, peraturan, patokan (kaidah ketentuan); mengenai peristiwa alam yang tertentu; keputusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa.[32]

Menurut kamus hukum fiksi atau dalam bahasa aslinya (bahasa Latin) Fictio adalah angan-angan, bentuk hukum, kontruksi hukum, bangunan hukum, di samping peraturan undang-undang.[33]

Van Apeldoorn memberi pendapat fictie atau fiksi adalah bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai sesuatu hal yang benar. Atau dengan kata lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.[34]

Namun sebenarnya bahwa fiksi perundang-undangan itu bukan fiksi sebenarnya, melainkan dirumuskan belaka sebagai fiksi. Fiksi dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh perumusan yang singkat, yaitu sebagai alat penolong untuk menghemat jumlah peraturan dan pengertian.[35]

Fiksi hukum yang dikenal adalah “setiap orang dianggap tahu akan undang-undang”.[36] Hal ini didasarkan pada suatu alasan, bahwa manusia mempunyai kepentingan sejak lahir sampai mati. Setiap kepentingan manusia tersebut selalu diancam oleh bahaya di sekelilingnya. Oleh karena itu manusia memerlukan perlindungan kepentingan, yang dipenuhi oleh berbagai kaidah sosial yang salah satunya adalah kaidah hukum. Karena kaidah hukum melindungi kepentingan manusia, maka harus dipatuhi manusia lainnya. Sehingga timbul kesadaran untuk mematuhi peraturan hukum, supaya kepentingannya sendiri terlindungi. Dengan demikian ketidaktahuan akan undang-undang tidak merupakan alasan pemaaf atau “ignorantia legis excusat neminem”.

Jadi fiksi perundang-undangan itu sebenarnya bukanlah tidak dapat dibuang. Akan tetapi bahwa ia sering dipakai terutama dapat dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh perumusan yang singkat. Adakalanya juga pembentuk undang-undang memakai fiksi, padahal pemakaian fiksi itu dapat dihindarinya. Hukum yang tugasnya mengatur kehidupan masyarakat sebenarnya tidak boleh dijelmakan dalam peraturan-peraturan yang dalamperumusannya jelas bertentangan dengan kenyataan. Adalah kewajiban ajaran hukum untuk sebanyak mungkin mengeluarkan fiksi dari perundang-undangan, dengan kata lain, mempersiapkan peraturan-peraturan yang sederhana.

Sebenarnya pemakaian fiksi hukum dalam perundang-undangan dan dalam ajaran hukum menyebabkan kerugian yang besar. Pemakaian fiksi hukum tersebut mengakibatkan kebiasaan para ahli hukum memakai fiksi dengan tidak semestinya. Karena dalam Undang-undang dan dalam literatur yang bersifat ilmu pengetahuan hukum, ahli hukum seringkali mempergunakan fiksi. Akhirnya ahli hukum, karena terbiasa dengan penggunaan fiksi hukum tersebut, menjadi sangat lancar mempergunakannya. Itulah sebabnya, fiksi hukum memegang peranan juga dalam pengadilan dan terkadang memegang peran yang sangat berbahaya. Untuk hakim, fiksi adalah alat yang memikat, karena fiksi memberikan hakim kemampuan untuk mencapai suatu keadaan yang diinginkannya. Dengan fiksi, kita dapat menghitamkan yang putih maupun sebaliknya. Hal itu membahayakan dalam proses menemukan kebenaran dan keadilan. Misalnya dalam persangkaan. Persangkaan harus dipisahkan dari fiksi. Fiksi adalah ketidak benaran suatu ciptaan saja, persangkaan mungkin benar, mungkin tidak. Peranan yang penting yang dipegang oleh persangkaan ini tidak akan ditinjau lebih lanjut.

Kebenaran penggunaan fiksi hukum patut diragukan jika ditinjau dari teori-teori kebenaran yang ada. Secara logis adanya juga tidak dapat dibenarkan secara ilmiah, karena kenyataannya justru sebaliknya walaupun peraturan hukum dimaksud dituangkan dalam Lembaran Negara. Aparat penegak hukum pun mungkin banyak juga yang tidak mengerti mengenai peraturan-peraturan hukum tertentu, karena jumlahnya yang sangat banyak.

Ditinjau dari teori keadilan penggunaan fiksi hukum berpeluang menimbulkan ketidakadilan, karena orang yang benar-benar tidak mengetahui peraturannya dikenai hukuman yang sama dengan orang yang tahu. Jika ditinjau dari aspek kepastian hukum fiksi hukum ini justru diperlukan sehingga tidak ada peluang seseorang berkelit dari jerat hukum.

Ketiga, asas lex specialis derogat legi generali artinya peraturan yang bersifat umum dikesampingkan oleh peraturan yang bersifat khusus dengan syarat peraturan dimaksud berada dalam hierarki yang sejajar. Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut.[37]

Contoh pengakuan terhadap asas lex specialis derogat legi generali dalam bidang hukum pidana materiil dapat dilihat dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan: “Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain”. Sedangkan dalam bidang hukum pidana formil, namapak di dalam isi Pasal 284 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ” (2) Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Memang benar bahwa sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) butir i Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, ”(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: mengadakan penghentian penyidikan. Sebagai alasan dari penghentian penyidikan perhatikan isi

Pasal 109 ayat (2) yang menyatakan: ”(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penghentian penyidikan demi hukum (Pasal 76; 77; 78 dan 79 KUHP), maka penyidik memberitahukan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Memang benar sesuai dengan Pasal 14 huruf h dinyatakan bahwa Penuntut umum mempunyai wewenang: h. Menutup perkara demi kepentingan hukum Sebagai alasan dari penghentian penuntutan perhatikan isi Pasal 140 ayat (2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penunutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum penuntutan umum menuangkan dalam surat ketetapan.

Dari dua produk hukum tersebut diberikan dasar hukum untuk adanya pengaturan yang berbeda terhadap apa yang telah diatur dalam undang-undang generalisnya. Dapatlah disebut mulai dari Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sampai dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (dalam posisi Lex specialis), kesemuanya mempunyai materi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil) yang berbeda dengan apa yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (legi generali).

Satu lagi contoh pertentangan antara undang-undang yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengembalikan kepada asas hukum lex speciali derogat legi generali yakni antara Undang-Undang Pokok Agraria dengan Undang-Undang Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dalam salah satu pasalnya terdapat pertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yakni pada pasal yang mengatur tentang pemberian hak atas tanah dengan jangka waktu yang lebih lama (dalam UUPM) dibandingkan dengan jangka waktu yang diatur oleh UUPA. Padahal sudah jelas, bahwa Undang-Undang Pokok Agraria, konsepsi awalnya adalah Undang-Undang Payung (umbrella act) atau Undang-undang pokok. Undang-undang ini juga bersifat sektoral, dimana terdapat dua sektor yang saling bertentangan, yakni sektor pertanahan (Badan Pertanahan Nasional) dan sektor Investasi (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Pengaturan masing-masing undang-undang juga tidak membuka kemungkinan untuk merujuk pada suatu aturan yang lebih khusus. Sehingga pasal yang saling bertentangan tersebut menjadi tidak dapat berlaku (invalid).

Berdasarkan pada kondisi ini tampak bahwa peristilahan hukum berupa asas hukum lex specialis derogat legi generali tidak implementatif ketika diberlakukan. Munculnya Undang-undang Penanaman Modal tersebut untuk alasan praktis dapat dibenarkan, yaitu untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga arus investasi akan masuk yang pada akhirnya ditujukan untuk kepentingan pembangunan.

Fenomena ini jika ditinjau dari teori keadilan berpotensi menimbulkan kondisi tidak adil, karena kebijakan yang tadinya ditujukan untuk kepentingan rakyat dalam realitas praktis justru hanya menguntungkan investor. Hanya investor dengan capital kuatlah yang akan melakukan eksploitasi terhadap kekayaan bangsa ini.

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan mengenai peristilahan hukum dalam bahasa hukum Indoensia tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Pemaknaan peristilahan hukum dalam praktik di masyarakat ternyata tidak selalu tepat, bahkan ada beberapa istilah yang penggunaannya sama sekalii tidak tepat sehingga makna sesungguhnya menjadi hilang sama sekali.

b. Dari sisi teori kebenaran dan keadilan beberapa peristilahan hukum ada yang dapat dibenarkan, namun banyak yang tidak dapat dibenarkan karena sangat kontekstual tergantung dari sudut mana kita memandangnya dan standar apa yang kita pakai untuk mengukur kebenarannya.

2. Saran

Beberapa saran yang dapat disampaikan adalah perlu adanya perhatian dari pemerintah untuk meluruskan istilah yang dimaknai salah dalam praktik, misalnya dengan membuat undang-undang sebagai pedoman. Di samping itu peran serta masyarakat juga masih diperlukan, misalnya dari kalangan akademisi dan profesional yang memang mengetahui makna istilah tersebut dengan tepat untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Diharapkan pula kalangan praktisi tidak turut melestarikan penggunaan istilah yang salah kaprah, hanya karena dunia praktis sudah terlanjur terus menerus menggunakan suatu istilah dengan tidak tepat. Justru harus ada upaya untuk mendobrak salah kaprah tersebut sehingga masyarakat tidak terjebak dalam kesalahan dan bahkan tidak mengetahui bahwa suatu istilah itu dimaknai dengan salah.

DAFTAR PUSTAKA

Apeldoorn, L.J. Van. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan kedua puluh sembilan. Jakarta: Pradnya Paramita.

Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition. USA: West Publishing Company.

Dahlan, M. Shodiq. 1989. Hukum Alam dan Keadilan. Bandung: Remaja Karya.

Fajri, EM Zul, dkk. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publisher.

Fuady, Munir. 1997. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik. Buku Keempat. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hadikusuma, Hilman. 1992. Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Penerbit Alumni. Sudjito. 2007. Dinamika Bahasa Hukum. Makalah yang disampaikan pada diskusi bulanan dosen-dosen Fakultas Hukum UGM, 15 Desember 2007 di Debating Room FH UGM, Bulaksumur. Yogyakarta.

Hamzah, Andi. 1986.Kamus Hukum Jakarta: Ghalia Indonesia.

Harkrisnowo,Harkristuti. 2004. Bahasa Indonesia Sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional. http://www.khn.go.id. Tanggal akses 23 Februari 2008.

Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Mahadi, Sabarudin. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Rosda Offset.

Mertokusumo, Sudikno R.M. (b). Teori dan Politik Hukum. Bahan Ajar Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.

Mertokusumo, Sudikno. (a). 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty.

Mustansyir, Rizal. Dkk. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pudjosewojo, Kusumadi. 1997. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Cetakan kedelapan. Jakarta: Sinar Grafika.

Purbacaraka, Purnadi, dkk. 1979. Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung: Alumni.

Rajagukguk, Erman. 1994. Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia. Jakarta: Universitas Inonesia.

Salim HS, H. (a). 2007. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta: Sinar Grafika.

Salim HS, H. (b). 2006. Hukum Kontrak. Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan ketiga. Jakarta: Sinar Grafika.

Siregar, Mustafa. 2003. Bahasa Hukum. Artikel pada Jurnal Compendium Ilmu Hukum dan Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan USU. Medan.

Wijaya, I. G. Ray. 2003. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: Kasaint Blanc.

[1]Pudjosewojo, Kusumadi. 1997. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Cetakan kedelapan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 52.

[2]Siregar, Mustafa. 2003. Bahasa Hukum. Artikel pada Jurnal Compendium Ilmu Hukum dan Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan USU. Medan. Hal 5.

[3]Mustansyir, Rizal. Dkk. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 171-172.

[4]Siregar, Mustafa. Op. Cit. Hal 1.

[5] Hadikusuma, Hilman. 1992. Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Penerbit Alumni. Hal 8.

[6] Sudjito. 2007. Dinamika Bahasa Hukum. Makalah yang disampaikan pada diskusi bulanan dosen-dosen Fakultas Hukum UGM, 15 Desember 2007 di Debating Room FH UGM, Bulaksumur. Yogyakarta. Hal 1.

[7] Keraf, Gorys dalam Mustafa Siregar. Op.cit. Hal 3.

[8] Moeljono, Anton M. dalam Hilman Hadikusuma. Op Cit. Hal 8-9.

[9] Harkrisnowo,Harkristuti. 2004. Bahasa Indonesia Sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional. http://www.khn.go.id. Tanggal akses 23 Februari 2008.

[10] Mahadi, Sabarudin. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Rosda Offset. Hal 50.

[11] Sudjito, Op. Cit. Hal 2.

[12] Ibid. Hal 3.

[13] Hadikusuma, Hilman. Op. Cit. Hal 194.

[14]Ibid. Hal 3.

[15] Siregar, Mustafa. Op. Cit. Hal 12.

[16] Semantik adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki makna atau arti kata-kata hukum.

[17] Ibid. Hal 23-25.

[18] Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal 64.

[19] Dahlan, M. Shodiq. 1989. Hukum Alam dan Keadilan. Bandung: Remaja Karya. Hal 25.

[20] Mertokusumo, Sudikno. (a). 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty.Hal 72

[21] Dahlan, M. Shodiq. Op. Cit. Hal 26.

[22] Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition. USA: West Publishing Company.

[23] Salim HS, H. (a). 2007. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 46.

[24] Fuady, Munir. 1997. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik. Buku Keempat. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm 91.

[25]Rajagukguk, Erman. 1994. Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia. Jakarta: Universitas Inonesia. Hlm 4.

[26] Ibid. Hlm 47.

[27] Salim HS, H. (b). 2006. Hukum Kontrak. Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan ketiga. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 124.

[28] Salim HS, H. (a). Op. Cit. Hlm 48.

[29] Fuady, Munir. Op. Cit. Hlm 91-92.

[30] Wijaya, I. G. Ray. 2003. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: Kasaint Blanc. Hlm 102.

[31] Fajri, EM Zul, dkk. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publisher.

[32] Ibid.

[33] Hamzah, Andi. 1986.Kamus Hukum Jakarta: Ghalia Indonesia.

[34] Apeldoorn, L.J. Van. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan kedua puluh sembilan. Jakarta: Pradnya Paramita. Hlm 407.

[35] Ibid. Hlm 408-410.

[36] Mertokusumo, Sudikno R.M. (b). Teori dan Politik Hukum. Bahan Ajar Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.

[37] Purbacaraka, Purnadi, dkk. 1979. Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung: Alumni. Hal 16-17.

BAHAN KULIAH SOSIOLOGI (Rusli Muhammad) dosen FH UII


Dosen : Rusli Muhammad

 

BAGIAN PERTAMA

 

A. Pendahuluan:

 

1. Sosiologi Sebagai Ilmu Pengetahuan.

 

Ilmu Pengetahuan: adalah pengetahuan (knowledge) yang tersusun secara sistematis  dengan menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap  orang lain yang ingin mengetahuinya.

Unsur-Unsurnya :

–       pengetahuan

–       tersusun secara sistematis

–       menggunakan pemikiran

–       dapat dikontrol secra kritis oleh orang lain atau umum (obyektif).

Pengetahuan : adalah kesan di dalam fikiran manusai sebagai hasil penggunaan panca inderanya.

Sistematis : berarti pengetahuan tersebut merupakan suatu konstruksi yang abstrak dan teratur sehingga merupakan keseluruhan yang terangkai, setiap bagian dari suatu keseluruhan dapat dihubungkan satu dengan yang lain.

Pemikiran : adalah kegiatan dengan menggunakan otak, artinya pengetahuan tersebut diperoleh melalui kenyataan (fakta) dengan melihat sendiri, serta melalui alat-alat kemunikasi yang kemudian diterima oleh otak dan diolah oleh otak.

Obyektif: artinya ilmu tersebut harus dapat diketahui oleh umum dan dapat diuji kebenarannya.

Sosiologi ternyata telah memenuhi keseluruhan unsur tersbut sehinga dapat dikatakan sosiologi adalah termasuk ilmu pengetahuan.

2. Pengertian Sosiologi:

 

  1. a.        Petirin Sorokin: Mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari :

–       hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala-gejala social (mislanya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; gejala masyarakat dengna politik dan lains ebagainya);

–       hubungan dan pengaruh timbal-balik antara gejala social dengan gejala-gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya;

–       ciri-ciri umum daripada semua jenis gejala-gejala social.

  1. b.        Roucek and Warren: mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
  1. c.         J.A.A.van Doorn en C.J, Lammers: berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil

 

  1. d.        Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi: menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur social dan proses-proses social, termasuk perubahan-perubahan social.

Struktur social adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur social yang pokok yaitu kaedah-kaedah social (norma-norma social), lembaga-lembaga social, kelompok-kelompok serta lapisan social.

Proses social adalah pengaruh timbal-balik antara belbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal-balik antara segi kehidupan ekonomi dengan kehidupan politik, antara kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya .

Perubahan social adalah perubahan-perubahan yang terjadi di dalam struktur social sebagai akibat dari adanya proses-proses social.

3. Sifat Hakekat Sosiologi dan Ciri-ciri Utamanya:

 

3.1. Sifat Hakekat Sosiologi:

  1. Sosiologi adalah suatu ilmu social, dan bukan merupakan ilmu pengetahuan alam ataupun ilmu pengetahuan kerohanian.
  2. Sosiologi bukan merupakan disiplin yang normative, akan tetpi suatu disiplin yang kategoris; artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini, dan bukan mengenai apa yang akan terjadi atau seharusnya terjadi;
  3. Sosiologi merupakan ilmu yang murni (pure science) dan bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan atau terpakai (applied science);
  4. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang kongkrit;
  5. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rational;
  6. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang umum dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang khusus.
  7. Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum. Sosiologi meneliti dan mencari apa yang menjadi prinisp-prinisp atau hukum-hukum umum dari pada interaksi antar manusia dan juga perihal sifat hakekat, bentuk, isi dan struktur dari masyarakat manusia.

 

3.2. Ciri-Ciri Utama Sosiologi:

  1. Sosiolog bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.
  2. Sosiologi bersifat teoritis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstaksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka daripada unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat, sehingga menjadi teori.
  3. Sosiologi bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas serta memperhalus teori-teori yang lama.
  4. Bersifat non-ethis, yakni yang dipersoalkan bukanlah buruk-baiknya fakta tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.

 

 

 

 

 

 

 

 

4. Obyek dan Metode Sosiologi.

 

4.1    Obyek Sosiologi:

 

Obyek sosiologi adalah masyarakat. Berbagai ilmuwan memberikan defenisi tentang masyarakat yaitu :

Menurut Ralph Linton, Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.

Menurut Selo Soemardjan, Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan.

Menurut C.S.T Kansil Masyarakat adalah persatuan manusia yang timbul dari kodrat yang sama. Jadi masyarakat itu terbentuk apabila ada dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup timbul berbagai hubungan yang mengakibatkan seorang dan orang lain saling kenal mengenal dan pengaruh mempengaruhi.

 

Unsur-Unsur Masyarakat                

  1. Manusia yang hidup bersama
  2. Berkumpul dan bekerja sama untuk waktu lama
  3. Merupakan satu kesatuan
  4. Merupakan suatu system hidup bersama.

4.2. Metode Sosiologi.

 

Pada dasarnya terdapat dua jenis cara kerja atau metode, yaitu metode kwalitatif dan metode kwantitatif. Metode kwalitatif mengutamakan bahan yang sukar diukur dengan angka-angka atau ukuran-ukuran lain yang eksak, walaupun bahan-bahan tersebut terdapat dengan nyata di dalam masyarakat. Di dalam metode kwalitatif termasuk metode historis dan metode komparatif yang keduanya dikombinasikan menjadi historis – komparatif. Metode historis menggunakan analisa atas peristiwa-peristiwa dalam masa silam untuk merumuskan prinisp-prinsip umum . Metode komperatif mementingkan perbandingan antara bermacam-macam masyarakat beserta bidang-bidangnya, untuk memperoleh perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya. Metode “case-study” dapat pula dimasukkan kedalam metode kwalitatif. Metode “case-study” bertujuan untuk mempelajari sedalam-dalamnya salah satu gejala yang nyata dalam kehidupan masyarakat.

Case-study dapat dipergunakan untuk menelaah suatu keadaan, kelompok masyarakat setempat (community), lembaga-lembaga maupun individu-individu. Dasarnya adalah bahwa penelaahan suatu persoalan khusus yang merupakan gejala umum dari persoalan-persoalan lainnya, dapat menghasilkan dalil-dalil umum.

Metode kwantitatif mengutamakan bahan-bahan keterangan dengan angka-angka, sehingga gejala yang ditelitinya dapat diukur dengan mempergunakan skala-skala, index-index, tabel-tabel dan formula-formula yang semuanya itu sedikit banyaknya  mempergunakan ilmu pasti. Yang termasuk jenis metode ini adalah metode statistik yang bertujuan menelaah gejala-gejala sosial secara matematik. Akhir-akhir ini telah dihasilkan suatu tehnik yang dinamakan Sosiometry., yang berusaha meneliti masyarakat secara kuantitatif. Sosiometry mempergunakan angka-angka dan skala-skala untuk menggambarkan dan meneliti hubungan-hubungan antar manusia dalam masyarakat secara kwalitatif.

Di samping metode-metode di atas, metode sosiologi lainnya adalah penjenisan antara metode induktif  yang mempelajari suatu gejala yang khusus untuk mendapatkan kaedah-kaedah yang berlaku dalam lapangan yang lebih luas, dan metode deduktif yang mempergunakan proses sebaliknya yaitu mulai dengan kaedah-kaedah yang dianggap berlaku umum, untuk kemudian dipelajari dalam keadaan yang khusus.

Selain itu terdapat pula metode “empiris” dan metode “rationalitis”. Metode “empiris” adalah metode yang menyandarkan diri pada keadaan-keadaan yang dengan nyata didapat dalam masyarakat. Metode ini dalam ilmu sosiologi modern diwujudkan dengan research atau penelitian, yaitu cara mempelajari suatu masalah secara sistimatis dan intensif, untuk mendapatkan yang lebih banyak mengenai masalah tersebut. Adapun metode ‘ratinalistis adalah metode yang mengutamakan pemikiran dengan logika dan fikiran sehat, untuk mencapai pengertian tentang masalah-masalah kemasyarakatan.

Akhirnya, sosiologi juga sering memeprgunakan metode fungsionalism, yaitu metode yang bertujuan untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial dalam masyarakat. Metode ini berpendirian pokok, bahwa unsur-unsur yang membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbal-balik yang saling pengaruh-mempengaruhi, masing-masing mempunyai fungsi tersendiri terhadap masyarakat.

Manfaat sosiologi:

Sosiologi dapat bermanfaat pada segala macam usaha/proyek-proyek pembangunan  yang dilakukaan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Manfaat tersebut meliputi”

  1. Pada tahap perencanaan, dapat mengindentifikasikan berbagai hal berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, pusat-pusat perhatian social, stratifikasi social, pusat kekuasaan, system dan saluran komunikasi social.
  2. Pada tahap pelaksanaan, dapat mengidentifikasi terhadap kekuatan-kekuatan social dan pengamatan terhadap perubahan-perubahan social yang terjadi.
  3. Tahap evaluasi, dapat memberikan analisa terhadap efek-efek social dari proses pembangunan yang dijalankan.

KAIDAH SOSIAL

Pengertian :

Adalah patokan-patokan atau pedoman-pedoman perihal tingkah laku atau perikelakuan yang diharapkan.

Kaidah sosioal di bedakan menjadi :

  1. Kaidah yang mengatur kehidupan pribadi manusia yang dibagi lebih lanjut menjadi :
  2. kaidah kepercayaan, yang bertujuan untuk mencapai suatu kehidupan yang ber-Iman (Purnadi Purbacaraka 1974:4). Kaedah ini ditujukan terhadap kewajiban manusia kepada Tuhan. Sumbernya adalah ajaran-ajaran kepercayaan yang oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai perintah Tuhan. Misalnya :
  3. kaidah kesusilaan, yang bertujuan agar manusia hidup berakhlak atau mempunyai hati nurani. Kaedah ini merupakan peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati nurani manusia (insane-kamil)Sumber kaedah ini adalah dari manusia sendiri, jadi bersifat oronom dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin manusi juga. Misalnya:
    1. Kaidah yang mengatur kehidupan antar manusia atau antar pribadi yang dibagi lebih lanjut menjadi:
    2. kaidah kesopanan, bertujuan agar pergaulan hidup berlangsung dengan menyenangkan. Kaedah ini merupakan peraturan hidup yang timbul dari pergaulan segolongan manusia.
    3. Kaidah hukum, bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan antar manusia. Kaedah ini adalah peraturan-peraturan yang timbul dari norma hukum, dibuat oleh penguasa Negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat Negara.

 

Ciri-Ciri Kaidah Hukum Yang Membedakan dengan kaidah lainnya :

  • Ø Hukum bertujuan untuk menciptakan keseimbangn antara kepentingan;
  • Ø Hukum mengatur perbuatan manusia yang bersifat lajhiriah;
  • Ø Hukum didjalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat;
  • Ø Hukum mempunyai berbagai jenis sanksi yang tegas dan bertingkat;
  • Ø Hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian (ketertiban dan ketentraman).

LEMBAGA KEMASYARAKATAN:

 

Pengertian :

Lembaga kemasyarakatan adalah himpunan daripada kaidah-kaidah sosial dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.

Fungsi Lembaga Kemasyarakatan:

  1. Untuk memberikan pedoman kepada warga masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan pokok
  2. Untuk menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan;
  3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan system pengendalian social (social control).

Syarat kaidah social menjadi lembaga kemasyarakatan :

  1. Harus melalui proses kelembagaan (institutionalization) terlebih dahulu. Yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu kaidah yang baru, untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Yang dimaksud di sini adalah agar kaidah-kaidah tadi diketahui, dimengerti, ditaati daan dihargai dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Kaidah tersebut harus telah dijiwai dan mendarah daging (internalized) pada warga masayrakat.

Hukum sebagai lembaga kemasyaraktan:

Alasannya :

  1. Karena hukum merupakan kebutuhan pokok masyarakat yakni untuk memenuhi ketertiban dan ketentraman masyarakat;
  2. Karena disamping sebagai gejala social (das sein), hukum juga mengandung unsur-unsur yang ideal (das sollen).

Hukum sebagai lembaga kemasyaarakatan yang primer:

Syarat-syaratnya :

  1. Sumber dari hukum tersebut mempunyai wewenang (authority)dan berwibawa (prestigeful);
  2. hukum tadi jelas dan sah secara yuridis, filosofis maupun sosiologis;
  3. penegak hukum dapat dijadikan teladan bagi faktor kepatuhan terhadap hukum;
  4. diperhatikannya factor pengendapan hokum di dalam jiwa pada warga masyarakat;
  5. para penegak dan pelaksanan hukum merasa dirinya terikat pada hukum yang diterapkannya dan membuktikannya dalam pola-pola perikelakuannya;
  6. sanksi-sanksi yang positif maupun negatif dapat dipergunakan menunjang pelaksanaan hukum;
  7. perlindungan yang efektif terhadap mereka yang terkena oleh aturan-aturan hukum.

 

KELOMPOK SOSIAL.

 

PENGERTIAN:

Kelompok sosial atau social group merupakan kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama yang didalamanya terdapat hubungan timbal balik yang saling pengaruh mempengaruhi dan juga mempunyai kesadaran untuk saling tolong menolong.

SYARAT-SYARAT ADANYA KELOMPOK SOSIAL:

  1. setiap warga kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan;
  2. ada hubungan timbal balik antara warga yang satu dengan warga-warga lainnya (interaksi);
  3. terdapat suatu faktor (atau beberapa faktor) yang dimiliki bersama oleh warga-warga kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat berupa nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideology politik yang sama dan lain-lain;
  4. ada struktur;
  5. ada peringkat kaidah-kaidah;
  6. menghasilkan suatu sistem tertentu.

TEORI-TEORI SOSIOLOGI

 

  1. 1.    TEORI FUNGSIONALISME  STRUKTURAL

Teori ini menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.

 

Konsep utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi             manifest dan keseimbangan (equilibrium).

 

Asumsi dasarnya adalah:

bahwa setiap struktur atau pranata dalam sistem sosial , fungsional terhadap yang lain . Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.

Selain struktur social dalam system social fungsional pada lainnya juga dapat menjadi dis-fungisonal artinya struktur social  tidak saja menyumbang terhadap perbaikana struktr lainnya melainkan pula dapat menimbulkan akibat-akibat yang bersifat negatif .

Bahwa masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan.

 

Robert K. Merton membagi Fungsi : Mungsi manifest dan Fungsi  laten .

Fungsi Manifes:

Adalah fungsi yang diharapkan, artinya  sturktur social atau suatu pranata pada satu pihak memberikan sumbangsi atau bermanfaat terhadap struktur sosial lainnya. Misalnya pranata Perbudakan sebagai suatu bagian sistem social adalah bermanfaat atau fungsional  bagi unit social warga kulit putih.

Fungsi Laten:

Adalah fungsi yang tidak diharapakan, artinya suatu pranata atau struktur social tertentu dapat menimbulkan dampak negatif pada strutuk atau unit lainnya. Misalnya Kemiskinan atau perbudakan membuat orang sangat tergantung kepada system ekonomi agraris sehingga tidak siap untuk memasuki industrialisasi atau kemiskinan ini dapat menyediakan kelas rendah yang luas yang dijadikan sebagai tenaga kasar.

 

Kelemahan teori fungsionalisme structural:

  1. Teori ini terlalu menekankan kepada order (keteraturan) sebaliknya mengabaikan variabel konflik dan perubahaan social ;
  2. Golongan fungsional dinilai secara idologis sebagai konserfatif dan golongan ini sebagai sosiolog yang berusaha mempertahankan status guo atau sebagai agen teoritis dari status guo itu.

2. TEORI KONFLIK.

 

Konsep sentrlanya : wewenang dan posisi.

 

Inti tesisnya:

Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik social secara sistematis.

Perbedaan wewenang dan pososi di antara individu dalam masyarakat itulah yang harus menjadi perhatian utama para sosiolog.

Dalam pandangan Teori Konflik , di dalam masyarakat terdapat dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan yang berkuasa dan golongan yang dikuasi. Petentangan ini terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan ststus quo sedangkan golonan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan.

Tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf:

Membedakan golongan yang terlibat konflik atas dua tipe :

  1. Kelompok semu (quasi group); merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan .
  2. Kelompok kepentingan (interest group); yakni kelompok yang terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas, yang mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok berkepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.

Berghe mengemukakan empat fungsi dari konflik:

  1. Sebagai alat untuk memelihara solidaritas;
  2. Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain;
  3. Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi;
  4. Fungsi komunikasi. Sebelum konflik kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan.Tapi dengan adanya komplik , posisi dan batas anara kelompok menjadi lebih jelas.

Perbedannya dengan teori Fungsionalisme Struktural:

 

  1. Teori Fungsionalisme memandang masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan. Sementara Teori Konflik malah sebaliknya, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di atnara unsur-unsurnya.
  2. Teori Fungsionalisme Struktural menilai bahwa setiap elemen atau setiap instansi memberikan dukungan terhadap stabilitas. Sementara teori Konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial;
  3. Teori Fungsional melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum. Teori Konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau paksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAGIAN KEDUA : SOSIOLOGI HUKUM.

 

A. Pendahuluan:

 

  1. 1.         Istilah Sosiologi Hukum.

 

Istilah Sosiologi hukum di Eropa Daratan adalah terjemahan dari istilah sociology of law yang pertama kali diperkenalkan oleh Roscoe Pound . Sementara di Amerika diperkenalkan pula suatu istilah sociological  jurisprudence yang diterjemahkan sebagai sosiologi  jurisprudenesi dan terkadang diIndonesia dimaksudkan pula sebagai sosiologi hukum.

Sociology of Law dan Sociological  Jurisprudence meskipun terkadang keudanya diterjemahkan sebagai sosiologi hukum, namun keduanya sangat berbeda. Sociology of law adalah tumbuh di Eropa Daratan dan merupakan cabang sosiologi yang berusaha memahamai hukum sebagai lembaga sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat di mana hukum itu berada. Sementara Sciological  Jurisprudence adalah tumbuh di Amerika Serikat dan merupakan cabang dari ilmu hukum yang mencoba menelaah masalah praktis atau pelaksanaan ketertiban hukum dalam masyarakat.

2. Pengertian Sosiologi hukum.

Menurut Satjipto Rahardjo Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari  hukum bukan dalam bentuk pasal undang-undang, melainkan hukum yang dijalankan sehari-harinya atau tanmpak kenyataannya.

Menurut Soerjono Soekanto Sosiolgi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk mentaati hukum tersebut, serta faktor-faktor social lain yang mempengaruhinya.

3. Obyek Sosiologi Hukum.

1) Hukum dan sistem Sosial Masyarakat.

Obyek yang disoroti di sini adalah keterkaitan atau pengaruh timbal balik antara hukum pada satu sisi dengan system sosial pada sisi lainnya. Sistem hukum merupakan pencerminan daripada suatu system sosial di mana system hukum tadi merupakan bagiannya. Dalam hal ini perlu diteliti bagaimana sistem sosial mempengaruhi suatu sistem hukum sebagai substansinya dan bagaimana pula sebaliknya.

2) Persamaan-persamaan dan Perbedaan-perbedaan Sistem-Sistem Hukum.

Pembahasan di bidang ini penting bagi suatu ilmu perbandingan serta untuk dapat mengetahui apakah memang terdapat konsep-konsep hukum yang universal. Yang mendapat perhatian adalah terhadap sistem-sistem hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai sistem sosial dengan masing-masing hukumnya. . Misalnya di Indonesia dapat dilakukan penelitian perbandingan terhadap sistem-sistem hukum yang berlaku di pelbagai daerah ataupun pelbagai sistem hukum di dunia.

3). Sifat Sistem Hukum yang Dualistis

Baik hukum substantif maupun hukum ajektif, memiliki sifat-sifat yang dualistis. Satu segi memberi perlindungan terhadp hak-hak manusia tapi segi lain hukum itu pula merampas hak-hak tersebut. Hukum dapat meruntuhkan suatu kekuasaan tapi hukum dapat pula menjadi alat potensial untuk mempertahankan kekuasaan.

4). Hukum dan Kekuasaan.

Pembahasan pada masalah ini menyoroti keterkaitan atau hubungan timbal balik antara hukum dengan kekuasaan. Ditinjau dari ilmu politik, hukum merupakan suatu sarana dari elit yang memegang kekuasaan dan sedikit banyak dipergunakan sebagai alat mempertahankan kekuasaannya. Namun pada segi lain kekuasaan dapat pula ditundukkan oleh hukum, kekuasaan diatur oleh hukum dan hukum memberikan legitimasi adanya kekuasaan.

5). Hukum dan Nilai-Nilai Sosial-Budaya.

Hukum tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat dan bahkan dapat dikatakan hukum itu merupakan pencerminan dan kontruksi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Misalnya peraturan hukum mengenai pemilihan langsung hal tersebut merupakan cerminan dari nilai-nilai demograsi yang hidup dalam masyarakat.

6). Kepastian Hukum dan Kesebandingan

Kepastian hukum dan kesebandingan adalah dua tugas pokok daripada hukum. Walaupun demikian, seringkali kedua tugas tersebut tidak dapat ditetapkan sekaligus secara merata. Misalnya seperti ditegaskan oleh Max Weber yang membedakan substantive rationality dan formal rationality . Dikatakannya sistem Hukum Barat mempunyai kecenderungan untuk lebih menekankan pada segi formal rationality, artinya penyusunan secara sistematis dari ketentuan-ketentuan  sperti itu sering kali bertentangan dengan aspek-aspek dari subtantive rationality, yaitu kesebandingan bagi warga-warga masyarakat secara individual.

7). Fungsi Hukum dalam masyarakat.

  • Ø Hukum sebagai alat perubahan sosial (as a tool of social engeneering), artinya hukum berfungsi menciptakan kondisi sosial yang baru, yaitu dengan peraturan-peraturan hukum yang diciptakan dan dilaksanakan, terjadilah social engineering, terjadilah perubahan sosial dari keadaan hidup yang serba terbatas menuju ke kehidupan, hidup yang sejahtera atau keadaan hidup yang lebih baik.
  • Ø Hukum sebagai alat mengecek benar tidaknya tingkah laku (as a tool of justification). yakni sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya sesuatu tingkah laku Dengan diketahuinya ciri-ciri kebenaran yang dikehendaki oleh hukum, maka dengan cepatlah mudah terlihat apabila ada sesuatu perbuatan yang menyimpang dari kebenaran itu.
  • Ø Hukum sebagai  kontrol sosial (as a tool of social control) yaitu mengontrol pemikiran dan langkah-langkah kita agar kita selalu terpelihara tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

 

8). Persoalan-persoalan lain yang menjadi obyek:

  1. a.    Pengadilan.
  2. b.    Efek Suatu Peraturan Perundang-undangan dalam Masyarakat.
  3. c.     Tertinggalnya Hukum di Belakang Perubahan-perubahan Sosial dalam masyarakat
  4. d.    Proses sosialisasi dan pelembagaan hukum
  5. e.    Hubungan antara Para Penegak atau Pelaksana Hukum
  6. f.     Masalah Keadilan.

 

4. Kegunaan Sosiologi Hukum.

 

Secara umum kegunaan sosiologi adalah sebagai berikut :

  1. Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial.
  2. Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, srana untuk mengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial, agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu.
  3. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat.

Secara terperinci kegunaan sosiologi hukum adalah sebagai berikut:

1.  Pada taraf organisasi dalam masyarakat:

  1. Sosiologi hukum dapat mengungkapkan ideologi dan falsafah yang mempengaruhi perencanaan, pembentukan dan penegakakn hukum .
  2. Dapat diidentifikasikannya unsur-unsur kebudayan manakah yang mempengaruhi isi atau substansi hukum .
  3. Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum dan penegakannya.

2. Pada taraf golongan dalam masyarakat:

  1. Pengungakpan golongan-golongan manakah yang sangat menentukan di dalam pembentukan dan penerapan hukum.
  2. Golongan-golongan manakah di dalam maysarakat yang beruntung atau sebaliknya malahan dirugikan dengan adanya hukum-hukum tertentu.
  3. Kesadaran hukum daripada golongan-golongan tertentu dalam masayarakat.
  4. Pada taraf individu:
    1. Identifikasi terhadap unsur-unsur hukum yang dapat mengubah perikelakuan warga-warga masyarakat.
    2. Kekuatan,  kemampuan dan kesungguhan hati dari para penegak hukum dalam melaksanakan fungsinya.
    3. Kepatuhan daripada warga-warga maysarakat terhadap hukum, baik yang berwujud kaidah-kaidah yang menyangkut kewajiban-kewajiban hak-hak, maupun perilaku yang teratur.

5. Karakteristik Sosiologi hukum

Menurut Satjipto Rahardjo ada tiga karakteristik sosiologi hukum yaitu :

a)        Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum. Apabila praktek itu dibeda-bedakan ke dalam pembuatan undang-undang, penerapan dan pengadilan, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut. Sosiologi hukum berusaha untuk menjelaskan, mengapa praktek yang demikian itu terjadi, sebab-sebabnya, factor-faktor apa yang mempengaruhi.

b)        Sosiologi hukum senantiasa mengujui keashihan empiris  (empirical validity) dari sautu peraturan atau pernyataan hukum. Pertanyaan yang bersifat khas di sini adalah “Bagaimanakah dalam kenyataan peraturan itu ?”, “apakah kenyataannya memang seperti tertera pada bunyi peraturan ?”.

c)         Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingakah laku yang mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan obyek pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu lebih dari yang lain.

6. Pembagian Sosiologi Hukum

  • Sosiologi Hukum Deskriptif,

Yaitu sosiologi hukum yang mempelajari dan menjelaskan fakta-fakta hukum yang terjadi di dalam masyarakat, baik pembentukan  maupun pelaksanaannya, termasuk pula menjelaskan bentuk-bentuk hukum tersebut.

  • Sosiologi Hukum Teoritik.

Yaitu sosiologi hukum yang mempelajari tentang aliran-aliran dan teori-teori hukum yang berkembang di dalam masyarakat.

  • Sosiologi Hukum Kritis.

Yaitu sosiologi hukum yang melakukan analisis dan evaluasi terhadap keberlakuan hukum dalam masyarakat. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan berlaku tidaknya suatu hukum  .

B. ALIRAN-ALIRAN DALAM SOSIOLOGI HUKUM

1. Aliran Formalistis/Teori Positivisme Hukum.

Dalam bentuknya yang paling murni, maka positivisme hukum itu adalah aliran dalam ilmu pengetahuan hukum, yang ingin memahami hukum (yang berlaku) itu semata-mata “dari dirinya sendiri” dan menolak memberikan sedikit pun putusan nilai mengenai peraturan hukum. (N. E. Algra dkk, 1977. hal 138).

Konsep Dasar

  • Suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar kehidupan sosial, bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa dan juga bukan karena hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya suatu instansi yang berwenang.
  • Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formal, bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material;
  • Meskipun isi hukum bertentangan dengan keadilan masyarakat hukum tersebut tetap berlaku.

Kebaikan:

  • Menjamin adanya kepastian hukum
  • Hukum mudah ditemukan karena tertampung dalam undang-undang.
  • Adanya keseragaman undang-undang dan berlaku untuk semua orang.
  • Adanya pegangan/pedoman yang jelas bagi penegak hukum.

Kelemahan:

  • Hukum positif kadang-kadang tidak mampu untuk menghadapi suatu situasi di mana hukum sendiri dijadikan alat ketidak adilan
  • Hakim sebagai corong undang-undang
  • Pemikiran hakim bersifat sillogismus
  • Sulit mengikuti perkembangan masyarakat.

Tokoh-Tokoh Teori Positivisme Hukum:

 

Pertama, John Austin.

Austin terkenal dengan pahamnya yang mengatakan bahwa:

pertama, hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah mana dilakukan oleh makhluk berpikir yang memegang  dan mempunyai kekuasaan.

Kedua, hukum sebagai suatu sistem logika yang bersifa tetap dan tertutup, dan oleh karena itu ajarannya dinamakan analytical jurisprudence.Ketiga, hukum postif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Di luar itu bukanlah hukum, melainkan moral positif (positive morality).

 

Kedua, Hans Kelsen:

Hans kelsen terkenal dengan ajaran hukum murni (Reine Rechslehre). Teori ini menerangkan bahwa hukum itu sesusngguhnya haruslah merupakan sesuatu hukum, yang dapat berlaku bagi semua orang tidak terkecuali yang dimurnikan sama sekali dari berbagai unsur yang sangat berbahaya seperti politik, agama, sejarah, sosiologi, etik, psikologi dan sebagainya. (N. E. Algra dkk, 1977. hal 140).

Murni di sini mempunyai dua arti: murni secara metodis (artinya dengan memakai metode sendiri dari ilmu pengetahuan normatif) dan dimurnikan dari segala macam unsur yang tidak yuridis.

Teori lain Hans Kelsen yang terkenal adalah “Stufentheorie”, yaitu menjelskan bahwa sistem hukum hakikatnya merupakan ssistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi. Teori ini menerangkan bahwa berlakunya suatu aturan hukum karena aturan itu berlandaskan pada suatu aturan yang lain, yang lebih tinggi. Dan aturan lebih tinggi itu pada gilirannya berlandaskan pada aturan yang lebih tinggi lagi (Stufenbau). Kaidah atau aturan yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan itu dinamakan sebagai kaedah dasar atau Grundnorm. Jadi menurut Kelsen, setiap sistem hukum merupakan stufenbau dari pada kaidah-kaidah. Di puncak Stufenbau tersebut terdapatlah Grundnorm yang merupakan kaedah dasar daripada ketertiban hukum nasional.

Ketiga, H.L.A. Hart.

Hart, membedakan positivisme seperti yang banyak disebut dalam Ilmu Hukum Kontemporer sebagai; pertama; anggapan bahwa undang-undang merupakan perintah manusia; kedua; bahwa tidak perlu ada hubungan hukum dengan moral; ketiga; konsepsi-konsepsi hukum layak dilanjutkan, harus dibedakan dari penelitian historis mengenai  sebab-sebab atau asal usul dari undang-undang dari penelitian-penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala lainnya; keempat; bahwa sistem hukum merupakan sistem tertutup. Kelima, anggapan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atuu dipertimbangkan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentsi rasional, pembuktian atau percobaan. (Friedmann, p.256-267).

H.L.A. Hart. Membagi aturan hukum menjadi :

  1. Primary Rules, yakni aturan pokok yang menentukan suatu perbuatan “ini boleh”  dan “ini tidak boleh dikerjakan”.
  2. Secondary Rules, yakni aturan pembantu yang memberi wewenang kepada yang berwajib, yang telah mengadakan spesialiasi dalam pemeliharaan hukum. Aturan ini seolah-olah merupakan aturan organisasi, yang memberikan struktur dalam pembentukan dan pelaskanaan hukum. Ada tiga jenis aturan ini :
    1. Seccondary rules of recognition,  yakni aturan pembantu mengenai pengakuan yang menyatakan kesahan aturan primer. misalnya sumber hukum formal, yakni kebiasaan,undang-undang yurisprudensi dan perjanjian internasional.
    2. Seccondary rules of change, yakni aturan pembantu untuk perubahan hukum . Misalnya prosedur akan ditetapkan untuk pembentukan aturan hukum (misalnya akan dibentuk badan pembuat undang-undang).
    3. Seccondary rules of adjudication, aturan pembantu untuk membentuk pejabat kehakiman. Misalnya aturan pembentukan badan yang menetapkan apabila suatu aturan dibatalkan dan pelaksanaan keputusan yang telah diambil oleh badan yang pertama diserahkan kepada badan lain.

2. Aliran/Teori Hukum Sejarah/Historis.

 

Teori atau mashhaf ini, mempunyai pendirian yang sangat berbeda dengan aliran teori hukum posivtisme. Aliran ini justru menekankan bahwa hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan di mana hukum tersebut timbul. (Soerjono Soekanto. 1997. p. 33).

Menurut aliran ini, Pembentuk undang-undang harus mendapatkan bahannya dari rakyat dan ahli hukum dengan mempertimbangkan perasaan hukum dan perasaan keadilan masyarakat. Demikianlah hukum tertulis akan menjadi hukum yang diterima masyarakat sumber bahan hukum itu diambil, dan terhadap siapa hukum itu kemudian diterapkan. Tanpa cara demikian undang-undang senantiasa akan menjadi sumber persoalan, menghambat dan menghentikan pembangunan, atau bahkan akan merusak kebiasaan hidup dan jiwa masyarakat. Hukum adalah bagian dari rohani mereka, yang juga mempengaruhi perilaku mereka.  sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebaisaan hidup masyarakt. Hukum tidak dapat dibentuk, melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat.

 

Tokoh aliran ini adalah Friederich Karl von Savigny.

 

Pendapat Von Savigny bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat, bahwa semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang.

Dalam perkembangannya kemudian hukum tidak semata-mata merupakan bagian dari jiwa rakyat, melainkan juga menjadi bidang dari ilmu hukum Savigny menyebut hukum belakangan ini sebagai hukum sarjana dan karenanya hukum dikelaskan menjadi dua bagian, yaitu pertama, hukum yang wajar, yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat, yaitu hukum kebiasaan, hukum adat; dan kedua, hukum sarjana yang bersifat teknis.

 

3. Aliran Utilitarianisme.

 

Ajaran ini didasarkan pada hedonistic utilitarianism, yang menghendaki bahwa manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan.

Prinsip utama pemikiran teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-beasrnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientsi ini, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara. (Lili Rasjidi 1993. hal 80).

 

Tokoh dari aliran ini adalah :

Pertama, Jeremy Bentham:

Bentham banyak mengembangkan pikirannya untuk bidang pidana dan hukuman terhadap tindak pidna. Menurut dia, setiap kejahatan harus disertai dengan hukuman-hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut, dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih daripada apa yang didasarkan untuk mencegah terjadinya kejahatan. (Soerjono Soekanto. 1988, hal 35.

Kedua, Rudolph von Ihering.

Ajaran biasanya disebut dengan sosial utilitasrianism. Ia smenganggap bahwa hukum merupakan alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya, hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakast di mana mereka menjadi warganya . Hukum juga merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan perubahan-perubahan sosial

4.  Aliran Sociological Jurisprudence

 

Aliran ini menghendaki bahwa hukum tidak hanya dapat dilihat dari dalam hukum itu sendiri, melainkan mencoba memandangnya dari sudut sosialnya. Aliran ini memperkenalkan teori-teori dan metode-metode sosiologi pada ilmu hukum.

 

Tokoh-Tokoh dan Pandangannya.

 

Pertama; Euqen Ehrlich;

Ajarannya adalah berpokok pada pembedaannya antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law). Hukum piositif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses perkembangan hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan yudikatif ataupun ilmu hukum, akan tetapi justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri. Tata tertib dalam masyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.

 

Kedua; Roscoe Pound;

Pendapatnya adalah bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Hukum adalah salah satu bentuk sarana kontrol sosial yang khusus dan harus diefektifkan berdasarkan seperangkat norma kewenangan sebagaimana didayadunakan dalam proses-proses yudisial dan atau administratif. Pound, membedakan antara hukum sebagai suatu proses  (law in action) dan hukum yang t5ertulis (law in books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif maupun hukum ajektif.

5. Aliran Hukum Realis-Pragmatis (Pragmatic Legal Realism).

 

Aliran ini memberikan perhatian terhadap penerapan hukum dalam kehidupan masyarakat (bernegara). Hal terpenting bagi teori ini adalah bagaimana hukum itu diterapkan dalam kenyataan, dan hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dijalankan itu. Hukum bukanlah apa yang tertulis dengan indah dalam udnang-undang, melainkan adalah apa yang dialakukan oleh aparat penyelenggara hukum, polisi, hakim. Atau siapa saja yang melakukan fungsi pelaksana hukum (Lili Rasjidi. 1993. hal 85.)

Penekanan penting yang diberikan oleh Aliran Hukum Realis adalah , Pertama, esensi praktik hukum sebagai esensi senyatanya dari hukum.  Kedua, bahwa undang-undang bukanlah keharusan yang serta merta mampu mewujudkan tujuan hukum, melainkan mendapat pengaruh besar dari unsur-unsur di luar undang-undang.

Ketiga, aparatur penyelenggara hukum dan masyarakat tempat hukum itu diterapkan bukanlah komponen-komponen mekanis yang serta merta (secara otomatis) mentaati perintah hukum, melainkan merupakan komponen-komponen kehidupan yang memiliki kemampuan untuk menyampinginya.

 

Tokoh-Tokoh dan Pandangannya:

Pertama, Oliver Wendell Holmes:

Menurutnya, seorang ahli hukum harus menghadapi gejala kehidupan sebagai suatu kenyataan yang realistis. Mereka harus tahu bahwa yang menentukan nasib pelaku kejahatan bukan rumusan sanksi dalam undang-undang, melainkan pertanyaan-pertanyaan dan keputusan hakim. Kewajiban hukum hanyalah merupakan suatu dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan.

Kedua, Karl Llewellyn:

Konsepnya yang terkenal dengan konsep yang radikal tentang proses peradilan dengan menyatakan bahwa hakim-hakim tidak hanya menemukan hukum, akan tetapi bahkan membentuk hukum . Seorang hakim selalu harus memilih, dia yang menentukan prinsip-prinsip mana yang dipakai dan pihak-pihak mana yang akan menang. Suatu putusan pengadilan biasanya dibuat atas dasar konsepsi-konsepsi hakim yang bersangkutan tentang keadilan, dan kekmudian dirasionalisasikan di dalam suatu pendapat tertulis.

Ketiga, John Champion Gray:

Ia menempatkan hakim-hakim Amerika sebagai obyek penelitiannya, berkesimpulan bahwa hakim-hakim Amerika bukan pribadi yang bebas anasir nonhukum dalam menjatuhkan putusan-putusannya. Di samping unsur logika sebagai faktor utama pengambilan keputusannya, mereka juga sangat dipengaruhi oleh subjektivitas pribadinya, prasangka, dan unsur-unsur nonlogika lainnya. Maka hukum bukanlah closed logical system, melainkan open logical system. Hukum bukanlah hukum dalam kitab undang-undang, melainkan apa yang ternyata (berlaku) dalam praktik.

C. HASIL-HASIL PEMIKIRAN  SOSIOLOG    TENTANG HUKUM.

1. Emil Durkheim :

Durkheim membagi 2 macam hukum, yaitu :

  1. Hukum Represif, yaitu hukum yang sanksi-sanksinya mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggar kaidah hukum yang bersangkutan. Sanksi kaidah hukum tersebut menyangkut hari depan kehormatan seseorang warga masyarakat, atau bahkan merampas kemerdekaan dan kenikmatan hidupnya .
  2. Hukum Restitutif, yaitu hukum yang tujuan utamnya bukan mendatangkan penderitaan, melainkan tujuan utamnya adalah untuk mengembalikan kaidah pada situasi semula (pemulihan keadaan), sebelum terjadinya kegoncangan sebagai akibat dilanggarnya suatu kaidah hukum .

2. MaxWeber:

 

Teori Max Weber tentang hukum dikemukakan empat tipe ideal dari hukum, yaitu :

  1. Hukum irrasional dan material, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidah pun.
  2. Hukum irrasional dan formal, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-kaidah di luar akal, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan.
  3. Hukum rasional dan material, di mana keputusan-keputusan para pembentuk undang-undang, dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijakasanaan-kebijaksanaan penguasa atau ideologi.
  4. Hukum rasional dan formal yaitu di mana hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep abstrak dari ilmu hukum.

3. Philippe Nonet dan Philip Selznick.

Mengemukakan suatu teori mengenai tiga keadaan dasar hukum dalam masyarakat yakni :

  1. Hukum Represif, yakni hukum yang mengabdi kepada kekuasaan dan tertib sosial yang represif. Perhatian paling utama hukum represif adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tertib sosial, ketertiban umum, pertahanan otoritas, dan penyelesaian pertikaian.
  2. b.    Hukum Otonom, yakni hukum yang berorientasai pada pengawasan kekuasaan represif. Sifat-sifat yang terpenting adalah ; Pertama, penekanan pada aturan-aturan hukum sebagai upaya untuk mengawasi kekuasaan resmi; Kedua, Adanya pengadilan yang dapat didatangi secara bebas, yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekausaan politik dan ekonomi, serta memiliki otoritas eksklusif untuk mengadili. Ketiga, penegakan atas kepatuhan hukum terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai sarana kontrol sosial.
  3. c.    Hukum Reponsif, yakni hukum yang bertujuan melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, bukan oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Karakteristik yang menonjol adalah; pertama, pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan ; Kedua, pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.

D.  KEBERLAKUAN KAIDAH HUKUM.

1.  Keberlakuan Faktual Atau Empiris.

Yang dimaksud keberlakuan empiris yakni apabila para warga, dipandang secara umum, berperilaku dengan mengacu pada keseluruhan kaidah hukum, atau dapat pula dikatakan kaidah hukum itu efektif.

Keberlakuan empirik suatu kaidah hukum dpat pula dalam suatu arti lain, yakni  apabila keseluruhan perangkat hukum secara umum oleh pejabat hukum yang berwenang diterapkan dan ditegakkan. (J.J.H. Burggink. 1996)

2.  Keberlakuan Normatif Atau Formal kaidah Hukum.

Dapat dikatakan keberlakuan normatif kaidah hukum apabila kaidah itu merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap lain.

Sistem kaidah hukum yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan hierarkhi kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah-kaidah hukum umum. Di dalamnya, kaidah hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi.

Suatu contoh satu teori yang mencoba menjelaskan hukum dengan bantuan pengertian keberlakuan normatif adalah “Reine Rechtslehre” Han Kelsen. Dalam hal ini Kelsen menyatakan bahwa  suatu kaidah hukum baru memiliki keberlakuannya jika kaidah itu berlandaskan pada suatu kaidah hukum yang lebih tinggi. (Ibid)

3.  Keberlakuan Evaluatif Kaidah Hukum.

Keberlakuan evaluatif suatu kaidah hukum dapat dilihat dari dua segi. Pertama, dari segi empirik jika kaidah hukum itu oleh seseorang atau masyarakat jelas-jelas menyatakan menerima kaidah hukum itu.

Kedua, dari segi filosofi, yakni  jika kaidah hukum itu oleh seseorang atau suatu masyarakat berdasarkan isinya dipandang bernilai atau penting. Keberlakuan evaluatif yang kedua ini adalah sama dengan sifat mewajibkannya, atau kekuatan mengikatnya atau juga obligatoritasnya (siat mewajibkan). Sebuah kaidah hukum memiliki sifat ini berdasrkan isinya. Itulah sebabnya keberlakuan ini disebut juga keberlakuan materiil. (Ibid)

 

 

 

E. PENEMUAN/PEMBENTUKAN DAN PENEGAKAN HUKUM.

 

PEMBENTUKAN HUKUM.

                         

  1. 1.        Faktor-Faktor Yang mempengaruhi terbentuknya Hukum.

Faktor eksternal, yakni faktor-faktor yang berada diluar hukum itu sendiri misalnya :

v Faktor ekonomi

v Faktor kekuasaan

v Faktor politik

v Faktor budaya

v Faktor agama

 

  1. Faktor Internal, yakni faktor yang berada di dalam hukum itu sendiri. Artinya adanya kondisi-kondisi tertentu yang berkaitan dengan hukum itu sendiri yang mengharuskan dibentuknya hukum tersebut.

Misalnya  :

v Perintah UUD yang menghendaki adanya suatu undang-undang.

v Adanya UU yang menghendaki peraturan pelaksananya.

v Adanya kekosongan hukum .

 

 

 

 

 

 

  1. 3.        Tahap Pembentukan Hukum

 

Pertama

Tahap Inisiasi, Yaitu tahap di mana munculnya gagasan dalam masyarakat tentang suatu persoalan yang dirasakan penting dan merupakan suatu kebutuhan. Gagasan ini muncul berkaitan dengan adanya kondisi atau suatu peristiwa yang menghendaki segera adanya perangkat hukum yang mengaturnya.

 

Kedua

Tahap Socio-politik,adalah tahap pematangan dan penajaman gagasan, di mana gagasan yang muncul diolah oleh masyarakat melalui berbagai kegiatan, misalnya  gagasan tersebut dibicarakan , didiskusikan, dikritik, dipertahankan melalui pertukaran pendapat antara berbagai golongan dan kekuatan dalam masyarakat.

 

Ketiga

Tahap yuridis, Yaitu tahap penyusunan bahan ke dalam rumusan hukum dan kemudian diundangkan. Tahap ini telah melibatkan para tenaga ahli yang berpendidikan hukum .

  1. 4.        Struktur Pembuatan Hukum.

Jika mengikuti ajaran Montesquieu yang terkenal dengan Trias Politika  maka pembuatan hukum hanya diserahkan kepada satu badan yang berdiri sendiri yang hanya melakukan satu kewenangan saja, misalnya badan pembuat hukum. Badan inilah yang disebut badan legislatif yang terpisah dengan badan yudikatif dan eksekutif. Kendati demikian tidak selamanya suatu praktek perorganisasian yang mutlak berada di tangan legislatif, namun badan-badan lainya dapat pula sebagai pembentuk hukum.

 

PENEGAKAN HUKUM

 

1. Pengertian Penegakan hukum

Penegakan hukum adalah serangkaian kegiatan untuk menerapkan atau menjalankan  peraturan-peraturan hukum kedalam peristiwa-peristiwa yang kongkrit.

2.  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

a.  Faktor Undang-Undang.

Faktor ini dapat mempengaruhi penegakan hukum jika memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis.

b.  Faktor penegak hukum.

Faktor ini akan menjadi berpengaruh positif jika penegak hukum itu memiliki integritas moral dan menjadi teladan dalam kepatuhan hukum dan merasa bagian dari hukum itu sendiri.

c.  Faktor sarana prasarana.

Faktor ini adalah sarana untuk mencapai tujuan. Meskipun hanya sebagai faktor penunjang, namun kehadirannya sangat mempengaruhi penegakan hukum itu. Semakin baik sarana dan prasarana yang dimiliki akan memperlancar dan mempermudah penegakan hukum itu.

d.  Faktor kesadaran hukum masyarakat.

Faktor Ini mempengaruhui pula penegakan hukum, tinggi rendahnya kesadaran hukum masyarakat sedikit banyak mempengaruhi berfungsinya hukum.

Indikasi Kesadaran hukum :

  1. adanya pengetahuan terhadap hukum;
  2. adanya pemahaman tentang hukum;
  3. adanya sikap positif;
  4. adanya kepatuhan terhadap hukum.

 

 

D. BERLAKUNYA HUKUM.

  1. A.        Teori-teori Berlakunya hukum.

 

1. Teori Teorkrasi/Teori Ketuhanan.

Teori ini menjelaskan bahwa hukum berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk pada hukum. Oleh karena itulah maka berlakunya hukum adalah atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

 

2. Teori Kedaulatan Rakyat.

Menurut teori ini hukum itu adalah kemauan orang seluruhnya yang telah mereka serahkan kepada suatu organisasi (yaitu Negara) yang telah lebih dahulu mereka bentuk dan diberi tugas membentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat. Orang mentaati hukum , karena orang sudah berjanji mentaatinya . Teori ini dapat juga disebut Teori perjanjian Masyarakat.

3. Teori Kedaulatan Negara

Teori ini mengatakan bahwa kekuasaan hukum tidak dapat didasarkan atas kemauaan bersama seluruh anggota masyarakat. Hukum adalah kehendak Negara dan Negara itu mempunyai kekuasaan (power) yang tidak terbatas. Oleh karena itu hukum itu ditaati ialah karena negaralah yang menghendakinya.

Penganjur Teori ini adalah hans Kelsen dalam buku “Reine Rechtslehre” mengatakan, bahwa hukum itu ialah tidak lain daripada “kemauan Negara”. Namun demikian Hans Kelsen mengatakan bahwa orang taat kepada hukum bukan karena Negara menghendakinya, tetapi orang taat pada hukum karena ia merasa wajib menataatinya sebagai perintah Negara.

4. Teori Kedaulatan Hukum.

Pelopor teori ini adalah Prof. Mr. H. Krabbe. Beliau mengajarkan, bahwa sumber hukum ialah “rasa keadilan”. Menurutnya hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang banyak yang ditundukkan padanya,. Suatu peraturan-perundangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dari jumlah terbanyak orang, tidak dapat mengikat. Peraturan-peraturan yang demikian bukanlah “hukum”. Berdasarkan teori ini orang mematuhi hukum karena hal itu berarti telah memenuhi rasa keadilan dari orang banyak yang ditundukkan padanya oleh hukum itu sendiri.

  1. A.        Syarat-Syarat Berlakunya hukum.

 

  1. 1.         Syarat berlakunya secara yuridis, yaitu apabila penentuannya didasarkan pada kaedah lebih tinggi tingkatannya atau bila berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan.
  2. 2.         Syarat berlakunya secara sosiologis, yaitu apabila peraturan hukum tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walapun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau hukum itu berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat .
  3. 3.         Syarat berlakunya secara filosofis, yaitu bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.

KEWARGANEGARAAN

KEWARGANEGARAAN DIAJARKAN KARENA DISINYALIR

  1. Hilangnya rasa nasionalisme.
  2. Untuk memberikan wawasan dan kesadaran berbangsa dan bernegara.
  3. Untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air.

BANGSA

Visi                              : adanya keinginan untuk bersatu.

Kaum Separatif         : orang yang ingin memisahkan diri.

IDENTITAS NASIONAL

  • Ø Identitas Nasional

Identity : jati diri, sifat khas yang memberikan ketenangan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri atau negara sendiri.

  • Ø Pengikat Identitas Nasional

–       Sifat Fisik                    : bila dilihat dari aspek budaya, agama, bangsa.

–       Sifat non Fisik             : bila dilihat dari aspek keinginan, cita-cita, tujuan.

  • Ø Identitas Nasional à collective action

Adadi dalam organisasi-organisasi, pergerakan-pergerakan.

UNSUR PEMBENTUK IDENTITAS NASIONAL

  • Suku Bangsa        : golongan sosial yang khusus, yang ada sejak lahir, yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin.
  • Agama                  : masyarakatIndonesia adalah masyarakat agamis, maka tidak perlu pertentangan antar agama.
  • Kebudayaan
  • Bahasa

TUJUAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

  • Dapat memahami dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai warga negara terdidik dalam kehidupannya selaku warga negara RI yang bertanggung jawab.
  • Menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang beragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang hendak diatasi dengan penerapan pemikiran yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional secara kritis dan bertanggung jawab.
  • Memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan serta patriotisme yang cinta tanah air, rela berkorban bagi nusa, bangsa, negara serta kemanusiaan.

KOMPETENSI YANG DIHARAPKAN

  1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan menghayati nilai-nilai falsafah bangsa.
  2. Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  3. Rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
  4. Bersifat profesional, yang dijiwai oleh kesadaran Bela Negara.
  5. Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa, dan negara.

HAKEKAT BANGSA

Bangsa adalah sekelompok manusia yang mempunyai daerah tertentu yang anggota-anggotanya bersatu karena pertumbuhan sejarah yang sama, merasa senasib dan seperjuangan, mempunyai kepentingan dan cita-cita yang sama serta berpemerintahan sendiri.

HAKEKAT NEGARA

  • Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut.
  • Negara adalah satu perserikatan yang melaksanakan satu pemerintahan melalui hukum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan untuk memaksa untuk ketertiban sosial.

TEORI TERBENTUKNYA NEGARA

  1. 1.    Teori Hukum Alam

Pemikiran pada masa Plato dan Aristoteles : Kondisi Alam à Tumbuhnya Manusia à Berkembangnya Negara.

  1. 2.    Teori Ketuhanan

(Islam + Kristen) segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan.

  1. 3.    Teori Perjanjian

(Thomas Hobbes) negara dibentuk berdasarkan perjanjian masyarakat, baik yang dinyatakan secara tegas (expressed) ataupun secara diam-diam (tacity assumed atau sukuti).

Proses Terbentuknya Negara di Zaman Modern dapat berupa penaklukan, peleburan (fusi), pemisahan diri, dan pendudukan atas negara atau wilayah yang belum ada pemerintahan sebelumnya.

UNSUR NEGARA

  1. a.    Bersifat Konstitutif

Terdapat wilayah yang meliputi udara, darat, dan perairan (dalam hal ini unsur perairan tidak mutlak), rakyat atau masyarakat, dan pemerintahan yang berdaulat.

  1. b.    Bersifat Deklaratif

Adanya tujuan negara, undang-undang dasar, pengakuan dari negara lain baik secara “de jure” maupun “de facto”, dan masuknya negara dalam perhimpunan bangsa-bangsa, misalnya PBB.

Sebuah negara dapat berbentuk negara kesatuan (unitary state) dan negara serikat (federation).

SIFAT NEGARA

  1. a.    Sifat Memaksa

Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian ketertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarkhi dapat dicegah, maka negara memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan sebagainya.

  1. b.    Sifat Monopoli

Negara dpat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan, karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat.

  1. c.     Sifat Mencakup Semua (all embracing)

Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali (misalnya tidak ada seorangpun yang kebal hukum).

NEGARA DAN WARGA NEGARA

  • UUD 1945 mengatur kewajiban negara terhadap warganya serta hak dan kewajiban warga negara terhadap negaranya dalam suatu sistem kenegaraan.
  • Kewajiban negara terhadap warganya pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan hidup dan keamanan lahir batin sesuai dengan sistem demokrasi yang dianutnya. Negara juga wajib melindungi hak asasi warganya sebagai manusia secara individual (HAM) berdasarkan ketentuan internasional, yang dibatasi oleh ketentuan agama, etika moral, dan budaya yang berlaku di negara Indonesia dan oleh sistem kenegaraan yang digunakan.

PROSES BANGSA YANG MENEGARA

  • Ø Terjadinya NKRI adalah pada waktu Proklamasi 17 Agustus 1945
  • Ø Rumusan Alinea Kedua Pembukaan UUD 1945 :
  1. Perjuangan pergerakan kemerdekaanIndonesia.
  2. Proklamasi atau pintu gerbang kemerdekaan.
  3. Keadaan bernegara yang nilai-nilai dasarnya ialah merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

TEORI KENEGARAAN TENTANG TERJADINYA NKRI

  1. Terjadinya NKRI merupakan suatu proses yang tidak sekadar dimulai dari proklamasi. Perjuangan kemerdekaan pun mempunyai peran khusus dalam pembentukan ide-ide dasar yang dicita-citakan.
  2. Proklamasi baru “mengantar bangsaIndonesia” sampai ke pintu gerbang kemerdekaan. Adanya proklamasi tidak berarti bahwa kita telah “selesai” bernegara.
  3. Keadaan bernegara yang kita cita-citakan belum tercapai hanya dengan adanya pemerintahan, wilayah, dan bangsa, melainkan harus kita isi untuk menuju keadaan merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur.
  4. Terjadinya negara adalah kehendak seluruh bangsa, bukan sekadar keinginan golongan yang kaya dan yang pandai atau golongan ekonomi lemah yang menentang golongan ekonomi kuat seperti dalam teori kelas.
  5. Religiolitas yang tampak pada terjadinya negara menunjukkan kepercayaan bangsaIndonesiaterhadap Tuhan YME.

PENGERTIAN WARGA NEGARA

  • Pasal 26 ayat (1) mengatur siapa saja yang termasuk warga negara RI.
  • Pasal ini dengan tegas menyatakan bahwa yang menjadi warga negara adalah bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain, misalnya peranakan Belanda, peranakan Tionghoa, peranakan Arab yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, bersikap setia kepada NKRI, dan disahkan oleh undang-undang sebagai warga negara.
  • Syarat-syarat sebagai warga negara juga ditetapkan oleh undang-undang (Pasal 26 ayat 2).

PENENTUAN KEWARGANEGARAAN

  1. a.    Unsur Darah Keturunan (ius sanguinis, law of the blood)

Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya menentukan kewarganegaraan seseorang, betapapun ia dilahirkan di luar negaranya.

  1. b.    Unsur Daerah Tempat Kelahiran (ius Soli, law of the soil)

Kewarganegaraan seseorang ditentukan di mana ia dilahirkan.

  1. c.     Unsur Pewarganegaraan (naturalisasi)

Seorang berkewarganegaraan asing dapat mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara dari suatu negara tertentu setelah dapat melengkapi beberapa syarat tertentu.

PROBLEM KEWARGANEGARAAN

  1. a.    Bipatride

Seorang yang berkewarganegaraan dari suatu negara yang menerapkan system ius sanguinis melahirkan anaknya di suatu negara yang menerapkan system ius soli maka anak tersebut tetap dinyatakan sebagai warga negaranya di mana orang tuanya berasal, dan juga dinyatakan sebagai warga negara dari negara di mana ia dilahirkan.

  1. b.    Apatride (stateless)

Seorang yang berkewarganegaraan dari suatu negara yang menerapkan system ius soli melahirkan anaknya di suatu negara yang menerapkan system ius sanguinis, maka anak tersebut tidak lagi dianggap sebagai warga negara dari kedua orang tuanya, dan juga ia tidak dianggap sebagai warga negara dari negara di mana ia dilahirkan.

NATURALISASI

  • Aktif

Seorang yang dikarenakan apatride dapat mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara dari salah satu negara yang menyebabkan dirinya menjadi orang yang tanpa kewarganegaraan (stateless). Kalau permohonannya dikabulkan ia dapat menggunakan hak opsi, yaitu hak memilih untuk menggunakan permohonan yang telah dikabulkan atau tidak menggunakannya.

  • Pasif

Kalau suatu negara mengadakan pemutihan terhadap mereka yang kehilangan kewarganegaraannya, maka bagi mereka mempunyai hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut.

HAK WARGA NEGARA

  • Ø Pasal 27 ayat 1

“Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.”

  • Ø Pasal 27 ayat 2

“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

  • Ø Pasal 27 ayat 3

“Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”

  • Ø Pasal 28

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

  • Ø Pasal 29 ayat 2

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

  • Ø Pasal 30

“Tiap-tiap warga negara berhak (dan wajib) ikut serta dalam usaha pembelaan negara.”

  • Ø Pasal 31

“Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.”

  • Ø Pasal 34

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”

KEWAJIBAN WARGA NEGARA

  • Ø Pasal 27 ayat 1

“Segala warga negara (bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan) wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.”

  • Ø Pasal 30

“Tiap-tiap warga negara (berhak dan) wajib ikut serta dalam pembelaan negara.”

ARTI KONSTITUSI

Konstitusi atau UUD adalah suatu kerangka kerja (framework) dari sebuah negara yang menjelaskan bagaimana tujuan pemerintahan negara tersebut diorganisir dan dijalankan.

KESEPAKATAN YANG MENJAMIN TEGAKNYA KONSTITUSIONALISME

  1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama.
  2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggraan negara.
  3. Kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedor ketatanegaraan.

HUBUNGAN YANG DIATUR KONSTITUSIONALISME

  1. Antara pemerintahan dengan warga negara.
  2. Antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lainnya.

FUNGSI KONSTITUSI

  1. Sebagai hukum, maka UUD bersifat mengikat, baik pada pemerintah, pada setiap lembaga negara, lembaga masyarakat serta mengikat pada setiap warga negaranya.
  2. Selaku hukum, maka UUD berisi norma-norma, kaidah-kaidah, aturan-aturan atau ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati oleh semua pihak yang terikat dalam negara tersebut.
  3. Selaku hukum dasar maka UUD berfungsi sebagai sumber hukum.

PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI

  1. Menempatkan warga negara sebagai sumber utama kedaulatan.
  2. Mayoritas berkuasa dan terjaminnya hak minoritas.
  3. Pembatasan Pemerintahan.
  4. Pembatasan dan pemisahan kekuasaan negara yang meliputi :
  • Pemisahan wewenang kekuasaan berdasarkan trias politika.
  • Kontrol dan keseimbangan lembaga-lembaga pemerintahan.
  • Proses hukum.
  • Adanya pemilihan umum sebagai mekanisme peralihan kekuasaan.

SIFAT-SIFAT UUD 1945

  1. Sifatnya tertulis, maka rumusannya jelas, merupakan suatu hukum positif yang mengikat pemerintah sebagai penyelenggara negara, maupun mengikat setiap warga negara.
  2. Dalam penjelasan UUD 1945, UUD bersifat singkat dan supel, memuat aturan-aturan pokok yang setiap kali harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman, serta memuat hak-hak asasi manusia.
  3. Memuat norma-norma, aturan-aturan serta ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus dilaksanakan secara konstitusional.
  4. UUD 1945 dalam tertib hukum Indinesia merupakan peraturan hukum positif yang tertinggi, di samping itu sebagai alat kontrol terhadap norma-norma hukum positif yang lebih rendah dalam hierarkhi tertib hukumIndonesia.

SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD 1945 HASIL AMANDENEN 2002

  1. Indonesiaialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat).
  2. Sistem konstitusional.
  3. Kekuasaan negara tertinggi di tangan rakyat.
  4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di samping MPR dan DPR.
  5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
  6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggung jawab kepada DPR.
  7. Kekuasaan kepala negara tidak tak-terbatas.

 

AMANDEMEN

  • Amandemen tidak dimaksudkan untuk mengganti sama sekali UUD 1945, tapi merupakan prosedur penyempurnaan terhadap UUD 1945.
  • Amandemen merupakan perlengkapan rincian yang dijadikan lampiran otentik bagi UUD tersebut.
  • Amandemen dilakukan dengan melakukan berbagai perubahan pada pasal-pasal maupun memberikan tambahan-tambahan.
  • Hal yang sangat mendasar bagi pentingnya amandemen UUD 1945 adalah tidak adanya sistem kekuasaan dengan “checks and balances” terutama terhadap kekuasaan eksekutif.

TEORI KEDAULATAN DALAM NEGARA


 

1.   Makna Kedaulatan

Secara Sempit

Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi suatu Negara

Secara Luas

Kedaulatan hak khusus untuk menajlankan kewenagnan tertingi atas suatu wilayah atau suatu kelompok orang, seperti Negara atau daerah tertentu. Istilah kedaulatan dalam bahasa Indonesia berarti kekuasaana atau dinasti pemerintahan.Kedaulana umumnya dijalankan oleh pemerintah atau lembaga politik sebuah negara.

 

Kedaulatan negara dasarnya tidak bersifat mutlak (absolute) karena ada sejumlah faktor lain yang membatasinya.

Kedaulatan memiliki empat sifat dasar, yaitu:

1.   Permanen

Kedaulatan itu tetap ada selama negara tetap berdiri.

2.   Asli

Hukum kedaulatan itu tdak berasal dari kekuasaan yang lebih tinggi.

3.   Bulat

Tidak dapat dibagi-bagi, maksudnya bahwa kedaulatan itu merupakan satu-satunya kekuasaan yang tertinggi dalam negara.

4.   Tidak Terbatas

Kedaulatan itu tidak di batasi oleh siapa pun sebab apabila kedaulatan ini terbatas, tentu saja bahwa ini merupakan kekuasaan yang tertinggi akan lenyap.

 

 

 

 

2.   Jenis-Jenis Kedaulatan

a.   Menurut Asalnya

1.   Kedaulatan Tuhan

Kedaulatan berasal dari Tuhan yang diberikan kepada raja atau penguasa.

2.   Kedaulatan Negara

Hukum dan aktifutas pemerintahn merupakan kehendak negara.

3.   Kedaulatan Raja

Kekuasaan terletak ditangan raja dan keturunannya.

4.   Kedaulatan Rakyat

Kekuasaaan tertinggi berada di tangan rakyat.

5.   Kedaulatan Hukum

Hukumlah yang merupakan sumber kedaulatan.

b.   Menurut Relasinya

1.   Kedaulatan Kedalam

Adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara untuk mengatur negaranya sendiri sesuai fungsinya. Sifatnya, memaksa rakyat atau warga negara terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan atau undang-undang.

2.   Kedaulatan Keluar

Adalah kekuasaan tertinggi didalm negara untuk mengadakan hubungan atau kerja sama Internasional dengan negara-negara lain dalam rangka kepentingan negara itu.

3.   Teori Kedaulatan

a.   Kedaulatan Tuhan

Adalah kedaulatan dimana kekuasaan tertinggi suatu negara berasal dari tuhan (agama yang dianut suatu negara). Teori ini berkembang pada abad pertengahan, antara abad V sampai abad XV. Tokoh-tokoh nya antara lain Agustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Teori ini terjadi di negara-negara otoriter.

Saat itu raja dianggap sebagai wakil Tuhan. Tapi, karena merasa mewakili Tuhan dalam melaksanajan kekuasaan, raja sering merasa berkuasa dan berbuat semaunya, tanpa memikirkan rakyat. Keadaan ini mendorong timbulnya pandangan atau teori baru mengenai kedaulatan, yaitu kedaulatan negara.

 

b.   Teori Kedaulatan Negara

Adalah kedaulatan yang berasal dari dari negara itu sendiri. Negaralah yang menciptakan hukum, jadi rakyat harus tunduk kepada negara. Tokoh-tokohnya adalah Jean Bodin dan George Jellinek.

Menurut Jean Bodin perlu diperhatikan bahwa pada hakekatnya teori kedaulatan negara iru atau Staats-souvereiniteit, hanya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, entah kekuasaan itu bersifat absolut, entah sifatnya terbatas, dan ini harus dibedakan dengan pengertian ajaran Staats-absolutisme. Karena dalam ajaran Staats-souvereiniteit itu pada prinsipnya hanya dikatakan bahwa kekuasaan tertinggi ini mungkinbersifat absolut, tetapi mungkin juga bersifat terbatas. Sedang dalam ajaran Staats-absolutisme dikatakan bahwa kekuasaan negara itu bersifat absolut, jadi berarti tidak mungkin bersifat terbatas, dalam arti baahwa negara itu kekuasaannya meliputi segala segi kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan para warga negara itu tidak lagi mempunyai kepribadian.

Menurut George Jellinek mengatakan bahwa hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan negara. Jadi juga negaralah yang menciptakan hukum, maka negara dianggap satu-satunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Di luar negara tidak ada satu organpun yang berwenang menetapkan hukum.

 

c.   Teori Kedaulatan Hukum

Adalah suatu kedaulatan yang memiliki atau bahkan memegang kekuasaan tertinggi didalam suatu negara adalah hukum. Oleh sebab itu baik raja, rakyat, bahkan negara harus runduk kepada hukum.

Tokoh teori ini antara lain adalah Krabbe.

d.   Teori Kedaulatan Rakyat

Adalah suatu kedaulatan dimana kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat. Teori ini berdasarkan pada anggapan bahwa kedaulatan yang dipegang raja atau penguasa itu berasal dari rakyat.

Oleh sebab itu raja atau penguasa, harus bertanggung jawab kepada rakyat. Tokoh teori ini antara lain Jean Jacques Rousseau. Teori ini terjadi dinegara demokrasi yang sudah stabil.

Meski tiap negara merdeka memiliki kedaulatan masing-masing, tapi mereka menyadari bahwa mereka membutuhkan negara lain. Hal ini disebabkan “tidak ada satu negara pun yang mampu memenuhi sendiri semua kebutuhannya”.

Kondisi keterbatasan itulah yang mendorong berdirinya organisasi atau lembaga-lembaga internasional, seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Hal ini menunjukan pula betapa pentingnya arti hubungan dan kerja sama dengan bangsa lain bagi setiap bangsa, baik untuk saat ini maupun masa yang akan dating.

Dengan demikian, dapat disimpulkan kedaulatan rakyat mempunyai makna sebagai berikut:

1. Kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat;

2. Kekuasaan pemerintah atau penguasa berasal dari rakyat,;

3. Pemerintah atau pengusa bertanggung jawab kepada rakyat dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat.

 

 

e.   Teori Kedaulatan Elit

Adalah suatu kedaulatan yang ada di tangan para penentu politik yang merupakan beberapa orang elit politik. Kedaulatan ini berada ditengah antara kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat.

Bagi suatu negara, memiliki kedaulatan berarti berhak atas ketiga poin berikut.

1.   Menjadi negara yang berdiri sejajar dengan negara-negar merdeka lain.

2. Memiliki kekuasaan atau hak untuk mengatur dan mengurus negaranya sendiri tanpa campur tangan negara lain.

3. menjadi negara yang meimiliki kekuasaan atau hak untuk berinteraksi dan bekerjasama dengan negara lain.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. www.syifanoe.blog.com
  2. Soehino S.H.; Ilmu Negara; Liberty- Yogyakarta. 2005

 

Manusia dan Masyarakat

Bab 1

Hakekat dan Asal Usul Manusia

Dari segi biologis manusia adalah mkhluk hidup. Pada abad ke-19 C. Darwin memiliki teori proses evolusi biologi. Asal mula makhluk hidup di bumi adalah Protozoa (makhluk hidup ber sel satu) yang berevolusi menjadi makhluk yang lebih sempurna dari makhluk yang sederhana dengan bertambahnya sel yang membentuk jaringan lalu membentuk organisasi tubuh. Pada akhirnya evolusi tersebut menjadi monyet dan manusia salah satunya dari sekian banyak evolusi makhluk hidup yang lain. Selain itu manusia adalah makhluk yang sosial (membutuhkan orang lain untuk bertahan hidp). Juga pada dasarnya manusia termasuk makhluk mamalia.

Bab 2

Kepribadian Manusia dan Unsur-unsurnya

1. Kepribadian manusia di bagi 2 :

  1. kepribadian dasar/umum

yaitu kepribadan yang tiap orang memiliki perbedaan akan tetapi ada beberapa hal kepribadian yang sama pada suatu lingkungan tertentu. Hal ini di kaji secara efektif dengan menggunakan data statistik

  1. kepribadan barat dan timur

kepribadian yang di dasarkan letak tempat pada daerah eropa dengan artian sebagai berikut :

  • kepribadian timur           : kpribadaian yang religi,sopan santun,adat istiadat, gotong-royong, dll.
  • kepribadaian barat         : kpribadaian yang  individual, tidak mementingkan kehidupan material, pikiran logis,dll.

2. Unsur-unsur kepribadian

  1. persepsi   : unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya.
  2. apersepsi : penggambaran tentang lingkungan secara fokus pada suatu bidang yang menarik perhatian seorang individu yang di proyeksikan pernah melihat sebelumnya hingga menimbulkan ingatnya kenangan masa lalu.
  3. pengamatan : yaitu persepsi yang lebih intensif kepada suatu obyek.
  4. konsep     : membandingkan atau menggabungkan suatu obyek untuk membentuk suatu penggambaran baru yang abstrak.
  5. fantasi      : penggambaran tentang lingkunganya namun mengalami penambahan dan pengurangan yang di berikan oleh individu tersebut.
  6. bawah sadar : seluruh penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi tadi terdesak masuk kedalam bagian dari jiwa manusia (hilangnya pengetahuan manusia pada saat alam bawah sadar)
  7. keinginan             : kehendak yang keras.
  8. emosi       : suatu perasaan keras yang timbul dari hati.
  9. dorongan : kemauan yang sudah menjadi nluri pada tiap makhluk manusia.

Bab 3

Organisme Manusia

Manusia adalah makhluk hidup dalam kelompok, dan mempunyai organisme secara biologis klah dengan jenis-jenis binatang berkelompok yang lain. Akan tetapi manusia adalah makhluk yang berevolusi paling panjang sehingga kemampuan otak melebihi makhluk yang lainya.

Yang di sebut akal tadi telah menyebabkan berkembangnya sistem-sistem yang dapat membantu keterbatasan sistem oranismenya itu, yaitu :

  1. Sistem perlambangan vokal atau bahasa.
  2. Sistem pengetahuan.
  3. Organisasi sosial.
  4. Sistem peralatan hidup dan teknologi.
  5. Sistem mata pencahairan hidup.
  6. Sistem religi.
  7. Kesenian.

Bab 4

Manusia sebagai Unsur Masyarakat

Masyarakat adalah kesatuan manusia pada wilayah tertentu. Tidak semua kesatuan manusia yang bergaul dan berinteraksi itu merupakan masyarakat, karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu ikatan lain yang khusus.

Ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat yaitu pola tingkah-laku yang khas mengenai semua faktor kehidupandalam batas kesatuan itu. Bersifat mantab dan kontinyu dan pola itu harus sudah menjadi adat istiadat yang khas.

Bab 5

Pranata Sosial

 

Pranata adalah suatu sistem norma khusus (sistem aturan-aturan) yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantab guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat.

Perbedaan lembaga dan pranata.

Lembaga / istitute organisasi         : Istitut Teknologi Bandung

Pranata / institution                         : pendidikan teknologi.

Delapan golongan pranata yaitu :

  1. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan (kinship/ domestic institiutions)contoh : tolong menolong antar kerabat dan perkawinan.
  2. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia untuk mata pencaharian hidup, memproduksi, menombun, menyimpan,mendistribusikan hasil produksi dan harta (economic institutions)contoh : pertanian, perternakan, perkebunan, dst.
  3. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan penerangan dan pendidikan manusia (educational instutions)contoh : pengasuhan anak-anak pendidikan rakyat, pendidikan menengah, dst.
  4. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi ilmiah manusia, menyelami alam semesta sekelilingnya (scientific instution) contoh : penelitiian, metodelogi ilmiah, dst.
  5. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia untuk menghayatkan rasa indahnya dan untuk rekreasi (aesthetic and recreational institutions) contoh : seni rupa, seni tari, seni suara, dst.
  6. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keprluan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan / dengan alam ghaib (religious institutions) contoh: berdoa, penyiaran agama, upacara adat, dst.
  7. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keprluan manusia untuk mengatur dan mengelola keseimbangan kekuasaan dalam kehidupan masyarakat (political institutions) contoh : pemerintahan, demokrasi,kepolisian, dst.
  8. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keprluan fisik dan kenyamanan hidup manusia (somatic institutions) contoh : pemeliharaan kecantikan, pemeliharaan kesehatan, dst.

Bab 6

Sistem Kekerabatan

Kekerabataan yaitu suatu unit sosial yang tiap – tiap individu mempunyai hubungan keturunan atau hubungan darah ( genous ) baik melalui ayah maupun ibu. Dengan demikian system kekerabataan biasanya menyangkut keluarga baik kecil maupun besar, system kekerabataan ini pada umunya diperlukan untuk menyelesaikan berbagai masalah di keluarga.

Kelompok kerabat tersebut merupakan seperangkat hubungan berdasarkan keturunan dan perkawinan ( hubungan darah ). Dalam istilah penyebutan seseorang dalam kelompok kekerabataan kita mengenal kata ibu, ayah, bibi, dan sebagainya. Selain itu kita mengenal beberapa system kekerabataan, diantaranya bilateral atau parental atau cognatic descent dan susunan keluarga ( kekerabataan ) unilateral ( unilineal )

Kekerabataan yang terjadi dalam masyarakat / kelompok kekerabataan didasari oleh adanya pertalian darah dan perkawinan.

  • Dasar pertalian darah. Meliputi anak – anak yang lahir dari perkawinan dan keturunan berikutnya. Misalnya, kakek dengan cucunya, atau paman dengan keponakannya. Sering juga disebut contoh sanguine, yaitu menjadi kerabat karena keturunan.
  • Dasar perkawianan. Suami dan isteri merupakan dasar hubungan. Orang – orang yang berasal dari pertalian darah suami dan orang – orang yang berasal dari pertalian darah isteri menjadi kerabat perkawinan, seperti : ipar keponakan mertua, menantu, paman, dan sebagainya.

Berdasarkan undang – undang yang mengatur perkawinan yaitu UU No. 1 tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahgia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kekerabataan dalam masyarakat Indonesia sangat beragam namun yang perlu diketahui adalah kekerabataan patrilineal, matrilineal, dan bilateral.

  1. Kekerabataan Patrilineal.

Patrinieal berasal dari kata pater yang berarti ayah atau Agnatic discent, yaitu susunan keluarga yang hanya mengikuti garis laki – laki ( ayah ).

Suatu system kekerabataan yang menggunakan system patrineal, anak laki – laki jauh lebuh penting baik kedudukan maupun fungsinya dalam keluarga, dibandingkan anak perempuan. Anak laki – laki dalam system ini dianggap yang bertanggung jawab atas kelestarian kelompoknya. Misalnya dalam masyarakat batak, Toba, Tapanuli, dan Karo. Orang yang semarga secara adapt dianggap bersaudara. Jadi, gadis dan pemuda yang semarga tidak dibolehkan menikah, walaupun keduanya secara bertalian darah tidak bersaudara atau mungkin sudah sangat jauh.

  1. Kekerabataan Matrinieal.

Matrineal adalah kekerabataan yang menghubungkan kekerabataan melalui pihak ibu saja. Misalnya dalam masyarakat suku bangsa Minangkabau di Sumatera barat, salah satu kelompok kekerabataan di lingkungan mereka yang terkenal ialah suku. Orang yang sesuku secara adapt dianggap bersaudara. Suku bangsa Minagkabau dapat memperhitungkan dua generasi di atas ego laki – laki dan satu generasi di atas ego laki – laki dan satu generasi di bawahnya.

  1. Kekerabataan Bilateral.

Bilateral adalah kekerabataan yang menghubungkan kekerabataan melaui pihak ayah dan pihak ibu, jadi melalui dua pihak. Kekerabataan ini biasa disebut juga kekerabataan parental. Dalam sususnan kekerabataan bilateral semua kerabat baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, termasuk ke dalam lingkungan kerabat seseorang. Susunan kekrabatan bilateral umumnya terdapat dalam masyarakat kita. Misalnya, orang suku bangsa sunda. Dan system kekrabatan suku bangsa sunda adalah bilateral, yaitu garis keturunan yang memperhitungkan hubungan kekerabataan melalui pihak laki – laki maupun perempuan.

Adapun system kekerabatan pada orang sunda menunjutkan cirri – ciri Bilateral dan Generasional. Di lihat dari ego, orang sunda mengenal istilah untuk tujuh generasi keatas dan tujuh generasi kebawah. 

Daftar Pustaka

Pengantar Ilmu Antropologi, Koentjaranigrat. Rineka Citra. 2008

Wikipedia “system kekrabatan”

AJARAN CONSTITUTIONAL REVIEW DAN JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA


Meski Austria yang menganut system hukum Eropa Kontinental, menerima ajaran constitutional review, namun Belanda sebagai sesama penganut paham Eropa Kontinental menolak konsepsi constitutional review. Belanda lebih cenderung mengedepankan upaya administrasi, melalui lembaga peradilan administrasi (administrative court/Pengadilan Tata Usaha Negara). Namun demikian, di Belanda tetap dikenal istilah hak menguji (toetsingsrecht). Walaupun antara toetsingsrecht dengan judicial review/constitutional review memiliki kapasitas pengertian yang berbeda, setidaknya kedua mekanisme ini memilki substansi tujuan yang sama, yakni adanya perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan penghargaan terhadap konstitusi sebagai norma dasar. Karena Belanda menolak metode judicial review/constitutional review, perkembangan ajaran ini di Indonesia pun tidak begitu marak dan massif. Pemikir-pemikir hukum Indonesia pada waktu itu, lebih mengenal prinsip-prinsip hukum Eropa Kontinental yang menjunjung tinggi civil law, seperti di negeri Belanda. Meskipun demikian, ketika terjadi proses penyusunan Undang-Undang Dasar 1945, masalah hak menguji oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter) menjadi bahan perdebatan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai).

Perdebatan ini muncul ketika pada tanggal 11 Juli 1945, M. Yamin melontarkan gagasan mengenai Balai Agung dan Mahkamah Tinggi, M. Yamin mengatakan, “Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya, sehingga dalam membanding udang-undang, mak Balai Agung inilah akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adapt, syariah dan Undang-Undang Dasar.” Pada persidangan tanggal 15 Juli 1945, M. Yamin kembali menjelaskan gagasannya tentang fungsi Balai Agung/Mahkamah Agung. M. Yamin menyatakan bahwa: “Balai Agung janganlah saja melaksanakan bagian kehakiman, tetapi juga hendaklah menjadi badan yang membanding, apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan, tidak melanggar undang-undang dasar republic atau bertentangan dengan hukum adapt yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syarah agama Islam…”

Melihat usulan M. Yamin tersebut, bisa kita lihat, walaupun sebelumnya Belanda tidak mengajarkan suatu mekanisme yang di Amerika Serikat disebut dengan judicial review, ternyata ahli-ahli hukum republic juga sudah memikirkan adanya mekanisme tersebut dalam konstitusi yang akan di susun. Ini berarti gagasan tentang judicial review dan constitutional review sebenarnya sudah muncul sejak lama di Indonesia. Dari pendapat M. Yamin inilah kemudian muncul perdebatan, menanggapi usulan M. Yamin, Soepomo mencoba menolaknya. Soepomo mengemukakan dua alasan untuk menolak usulan M. Yamin. Pertama, bahwa persoalan hak menguji/judicial review ialah terkait dengan paham demokrasi liberal dan pemberlakuan ajaran trias politica Montesquieu secara murni (separation of power) seperti di Amerika Serikat, sedangkan UUD 1945 tidak menganut kedua pandangan tersebut. Dalam kesempatan tersebut Soepomo mengatakan: “…Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini kita memang tidak memakai sistim yang membedakan principieel tiga badan itu artinya, tidaklah bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang. Memang maksud sistim yang diajukan oleh Yamin, supaya kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan (membentuk) undang-undang. Pertama, dari buku-buku ilmu negara ternyata bahwa antara para ahli tata-negara tidak ada kebulatan pemandangan tentang masalah itu. Ada yang pro, ada yang kontra kontrol. Apa sebabnya? Undang-Undang Dasar hanya mengenai semua aturan yang pokok dan biasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi interpre-tasi demikian bahwa pendapat A bisa selaras, sedang pendapat B pun bisa juga. Jadi, dalam praktek, jikalau ada perselisihan tentang soal, apakah sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, itu pada umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal politis; oleh karena itu mungkin dan disini dalam praktek begitu, pula ada konflik antara kekuasaan sesuatu Undang Undang dan Undang- Undang Dasar. Maka, menurut pendapat saya sistim itu tidak baik buat Negara lndonesia yang akan kita bentuk!”

Alasan kedua Soepomo mengatakan:

“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial, constitutioneelhof, -sesuatu pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu.”

Untuk alasan yang kedua ini, sebenarnya sifatnya kondisional, menurut pandangan Soepomo, bila nantinya sudah banyak terdapat ahli hukum tata negara, maka bisa saja hak menguji kemudian dimunculkan, dan menjadi kewenangan dari Mahkamah Agung ataupun Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan alasan yang pertama tadi, memang pada waktu Indonesia belum mengenal mekanisme checks and balances, jadi kedudukan ketiga cabang kekuasaan adalah sejajar dan tidak dapat saling mengawasi, karena Indonesia menganut system trias politica tidak murni. Endingnya, perdebatan kedua tokoh ini tidak diketahui kemana jrungtungnya, karena pada naskah persiapan UUD 1945 tidak ditemukan hasil kompromi kedua tokoh, bahkan di risalah sidang juga tidak mencantumkan kelanjutan perdebatan tersebut, bagaimana penerimaan dan penolakan dari peserta sidang yang lain. Terangnya, naskah UUD 1945 pertama, tidak pernah menyertakan adanya hak menguji yang dimiliki oleh hakim secara eksplisit di dalamnya. Namun demikian, walaupun hak menguji tidak secara eksplisit terdapat dalam konstitusi, menurut Kleintjes, seperti dikatakan Harun Alrasid, “hak menguji itu, baik dalam arti formal maupun dalam arti material, pada hakekatnya melekat pada tugas hakim. Selama tidak diingkari, hak tersebut dimiliki oleh hakmi, yang bukan saja merupakan hak tetap juga merupakan kewajiban.”

Kemelut ketatanegaraan yang kerap kali terjadi pada masa rezim Soekarno berkuasa, akhirnya berakhir setelah tumbangnya Sukarno pada 1966. Dominasi kekuatan militer angkatan darat pada saat runtuhnya pemerintahan Sukarno, memunculkan orang baru dari kalangan angakatan darat yang diproyeksikan untuk menggantikan Sukarno, muncullah nama Suharto. Meskipun semboyan yang dibawa oleh Suharto dalam menjalankan pemerintahannya ialah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta menempatkan UUD 1945 pada sebuah posisi yang sacral, namun rezim ini tidak pernah secara eksplisit memberikan basis legal material bagi Mahkamah Agung untuk melakukan uji materil dan formal atas suatau undang-undang terhadap UUD. Jadi, kalaupun suatu undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD, maka undang-undang tersebut akan tetap berlaku, sebab tidak ada lembaga yang wenang untuk melakukan pengujian. Mahkamah Agung hanya memiliki wewenang menguji secara materil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 26 menyebutkan:

a)    Mahkamah Agung berweneng untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

b)    Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang- undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

Selain dalam UU No. 14 Tahun 1970, ketentuan ini juga diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/1973 dan Pasal 11 ayat (4) Tap MPR No. III/MPR/1978. ketentuan tersebut kemudian diperbaharui lagi melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dalam Bab III tentang Kekuasaan Mahkamah Agung, Pasal 31 menyebutkan:

(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundangundangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat kita lihat watak otoritatif dari rezim berkuasa, dimana kewenangan menguji hanya berlaku bagi peraturan perundang-undangan yang kedudukannya dibawah undang-undang, sedangkan semua undang-undang, meskipun melanggar hak-hak kewarganegaraan dan bertentangan dengan konstitusi yang dikeramatkan akan tetap dianggap benar dan berlaku.

Setelah berkuasa selama tiga puluh tahun lebih, kekuasan despotis otoriter Suharto berakhir juga, dengan berpegang pada ghirah untuk memerangi absolutisme, maka dimulailah proyek reorganizing system ketatanegaran Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam system ketatanegaraan Indonesia, ada lembaga yang wenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD, serta berfungsi sebagai penafsir UUD (the interpreter of constitution). Sebagai permulaan, kewenangn ini diberikan kepada MPR, sambil menunggu terbentuknya sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi (constitutional court). Ketentuan ini sebagaiamana diatur dalam Pasal 5 Tap MPR No. III/MPR/2000, yang menyebutkan:

1)    Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

2)    Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

3)    Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.

4)    Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat.

Kewenangan uji konstitusionalitas pada lembaga MPR tidak diperpanjang, sebab hal ini dirasa tidaklah tepat, sebagaimana disebutkan dalam Naskah Akemik RUU Mahkamah Konstitusi, dalam naskah akademik tersebut disebutkan bahwa penyerahan kewenangan uji konstitusionalitas kepada MPR tidaklah tepat, karena:

1)    Kewenangan ini merupakan kewenangan yang berkaitan erat dengan permasalahan hukum, konstitusi, dan ketatanegaraan, sehingga memerlukan keahlian tersendiri. Sementara keanggotaan di dalam MPR terdiri dari berbagai macam latar belakang yang semuanya berorientasi pada kepentingan politik, karena merupakan wakil partai;

2)    Keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR, sementara DPR merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk undang-undang, sehingga agak janggal apabila pihak yang membuat undang-undang menguji sendiri produknya.

3)    Pengujian terhadap undang-undang merupakan sebuah kewenangan khusus yang memerlukan waktu dan tenaga, sehingga akan tidak efektif apabila dilakukan oleh anggota MPR yang mempunyai jadwal yang padat dan mekanisme kerja tersendiri.

Menguatnya semangat untuk memberikan perlindungan dan jaminan pemajuan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan upaya untuk menghindari penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, seperti yang terjadi pada rezim otoritarian birokratik Orde Baru, telah mengilhami sebuah upaya untuk melakukan amandemen menyeluruh terhadap UUD 1945. UUD 1945 yang terlalu singkat dan tidak secara detail menjelaskan berbagai persoalan kenegaraan kontemporer, mudah sekali untuk dibawa kemana pun, tergantung angin kekuasaan sedang bertiup kemana. Karenanya amandemen yang dimulai sejak 2001 oleh Badan Pekerja MPR, mendapat apresiasi dari banyak pihak, proses ini dimaknai sebagai ikhtiar guna melakukan distribusi kekuasaan secara adil, dengan mengedepankan system checks and balances, sehingga tidak ada lagi hegemoni dan dominasi oleh salah satu cabang kekuasaan, seperti periode kekuasaan sebelumnya. Dalam naskah akadmik RUU Mahkamah Konstitusi disebutkan salah satu alasan mengapa perlu ada perubahan terhadap UUD 1945 adalah sebagai berikut: UUD 1945 sangat singkat karena hanya terdiri dari 37 pasal. Oleh penyusunnya, UUD 1945 diharapkan dapat disempurnakan pada masa berikutnya. Sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia menunjukkan bahwa dinamika kehidupan bernegara berkembang dengan pesat, sementara sifat UUD 1945 yang singkat dan supel tersebut tetap dipertahankan. Pada akhirnya muncul permasalahan, karena masing-masing pihak memberikan penafsiran terhadap UUD 1945 berdasarkan pemahaman dan kepentingannya masing-masing. Hal ini tidak jarang menimbulkan konflik ketatanegaraan antara lembaga negara dalam interaksi dan interelasinya ketika menjalankan kewenangannya.

Salah satu point penting dari hasil amandemen konstitusi adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi dalam system ketatanegaraan Indonesia, sebagai lembaga yang berwenang untuk melaksanakan fungsi uji konstitusionalitas. Memperhatikan kondisi factual yang terjadi pascaterjadinya beberapa konflik ketetanegaraan, gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi setidaknya di dorong oleh tiga alasan:

  1. Bertambahnya jumlah lembaga negara dan bertambahnya ketentuan sebagai akibat perubahan UUD 1945, menyebabkan potensi sengketa antar lemabaganegara menjadi semakin banyak. Sementara itu telah terjadi perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi, sehiongga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang supremasi kekuasaan yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang netaral untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
  2.  Sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratios yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukan bahwa suatu keputusan yang demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang berwenang menguji konstitusioonalitas UU terhadap UUD.
  3.  Ada kasus actual yang terjadi di Indonesia pada saat itu, yaitu pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurahman Wahid dari kursi kepresidenannya oleh MPR pada siding istimewa MPR tahun 2001. Kasus ini mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari cara agar ada mekanisme hukum yang membingkai proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak didasarkan atas alasan politis semata. Untuk itu, disepakati keperluan akan adanya suatu lembaga yang berkewajiban menailai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang dapat mentebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya.

Kelahiran Mahkamah Konstitusi disepakati MPR pada perubahan ketiga UUD 1945, 9 November 2001. Perihal Mahkamah Konstitusi diatur dalam termin “Kekuasaan Kehakiman,” dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) disebutkan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Selanjutnya mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam ketentuan Pasal 24 C UUD 1945, dalam ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pasal ini disebutkan:

Ayat (1) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Ayat (2) “ Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar.”

Pemisahan wewenang judicial review dan constitutional review pada sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi, yang lepas dari lembaga Mahkamah Agung, merupakan suatu bentuk kerinduan dari seluruh rakyat Indonesia atas hukum yang adil, adanya kepastian hukum, dan dijaminnya hak-hak konstitusional mereka. Jika wewenang pengujian dan fungsi the interpreter of constitution ini diserahkan kepada Mahkamah Agung, dikhawatirkan kerinduan itu tidak segera dapat terobati, sebab tradisi yang berkembang sebelumnya, Mahkamah Agung identik dengan penumpukan perkara, dan jamak dengan perilaku-perilaku korup, yang banyak melibatkan person-person dalam institusi ini. Akibatnya, apabila wewenang menguji tersebut dipaksakan berada di Mahkamah Agung, maka yang muncul kemudian malah pelanggengan kejumbuhan hukum yang sudah mengakar terlalu lama. Oleh karenanya, tepatlah kiranya pembagian kekuasaan kehakiman ke dalam dua lembaga peradilan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berfungsi untuk memutus perkara-perkara kasasi dan melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsi uji konstitusionalitas/constitutional review, yang terkait dengan penegakkan konstitusi sebagai hukum dasar. Jadi Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai the guardian and the interpreter of constitution.

Setelah kurang lebih empat tahun keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam system ketatanegaraan Indonesia, setidaknya lembaga ini telah memberikan banyak peran bagi penguatan hak-hak konstitusionlaitas warga negara, sekaligus juga mengawal pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang tidak sekedar slogan seperti masa Orde Baru. Meskipun pada beberapa putusannya, Mahkamah Konstitusi menuai banyak kontroversi karena dianggap tidak sesuai dengan apa yang diharapkan atau digelorakan oleh suara konstituen/khalayak umum/otoritas publik, namun keberadaan Mahkamah Konstitusi patut untuk diapresiasi, sebagai sebuah upaya untuk terus memberikan perlindungan dan jaminan terhadap pelaksaan hak-hak konstitusionalitas warga negara, agar tidak dirong-rong oleh kesewenang-weanangan penguasa dan aturan kekuasaan. Selama usianya yang kurang lebih empat tahun, Mahkamah Konstitusi sedikitnya telah memutus 90 perkara uji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang dasar, 274 perkara perselisihan pemilihan umum, dan empat perkara sengketa kewenangan antar lembag negara. Meskipun pengujian hak-hak warga negara secara individu (constitutional complaint) belum dimungkinkan dalam Mahkamah Konstitusi yang sekarang, tetapi sebagai permulaan perkembangan Mahkamah Konstitusi pada sisi the guardian of constitution sudah ekuivalen dengan semangat negara hukum yang demokratis, meski pada sisi yang lain kerap mengecewakan, hal itu mungkin akibat kewenangan Mahkamah Konstitusi yang terlalu besar. Ke depan sebaikanya ada pembatasan-pembatasan yang signifikan terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi, terutama mengenai mekanisme pengambilan dan hasil putusannya. Selain itu, evaluasi yang lain adalah terkait dengan sifat mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang hanya sekedar bersifat final (tidak ada upaya hukum lagi), tetapi tidak bersifat binding (mengikat), sepertinya menimbulkan problem tersendiri. Walaupun sifat final dapat diinterpretasikan langsung berlaku mengikat (binding), akan tetapi yang terjadi selama ini, putusan Mahkamah Konstitusi kerap kali hanya menjadi macan kertas, yang tidak mempunyai kekuatan implementatif dilapangan, karena tidak ada lembaga eksekutorial yang mampu menekan organ pembentuk undang-undang dan lembaga-lemabag negara lainnya untuk melaksanakan putusan tersebut. Orientasi ke depan, sepertinya hal ini patut untuk difikirkan.

OPINION & INFO

Dalam pengertian latar belakang urgensi diadakanya hak uji UU dalam Tata Hukum di Indonesia pada dasarnya hal ini menurut saya dapat di lihat dari prespektif historis atau sudut pandang historis. Karena latar belakang tak lepas dari masa lalu atau asal muasal dan urgensi merupakan suatu alasan atau suatu hal yang memiliki sifat sangat penting sehingga bila tiada hal tersebut akan berakibat fatal bagi hal-hal yang bersangkutan.

Dengan demikian saya menyimpulkan tentang urgensi diadakanya hak uji UU dalam Tata Hukum di Indonesia merupakan suatu perangkat / alat / organ / kelompok yang dibuat oleh Negara yang berlandaskan hukum untuk mampu memberikan produk hukum yang  memiliki kulitas dan kuantitas yang seimbang dan memberikan fungsi pengawasan terhadap produk hukum yang akan di sahkan. Dan nantinya akan menciptakan suatu keadilan bagi warga Negara Indonesia

Ada pun pengertian lain yang di lontarkan oleh seseorang yang sama yaitu Wahyudi Fajar seorang aktivis yang aktif dalam berbagai organisasi masyarakat yang telah menyelesaikan studinya di UGM jurusan Hukum Internasional bergelar sarjana S1.

Dalam artikelnya kali ini beliau banyak mengutip dari para pemikir-pemikir tentang pengertian secara umum tentang judicial review.

Namun menurut saya sebagai pengutip artikel beliau artikel berikut hanya menyampaikan pengertian atau difinisi dari judicial review maka hal ini merupakan sutau tambahan dari saya untuk menambah wawasan para pembaca.

Pertama, terlebih dahulu kita posisikan tentang istilah atau terminologi dari judicial review itu sendiri. Sebab ahli hukum pada umumnya acapkali terjebak dalam penggunaan istilah constitutional review, judicial review dan hak menguji (toetsingsrecht). Konsepsi judicial review hadir dalam kerangka objek yang lebih luas, dibandingkan dengan konsep contstitutional review, yang hanya sebatas pengujian konstitusional suatu aturan hukum terhadap konstitusi (UUD), sedangkan judicial review memiliki objek pengujian yang lebih luas, bisa menyangkut legalitas peraturan di bawah UU terhadap UU, tidak hanya sekedar UU terhadap UUD. Akan tetapi, pada segi subjek pengujinya, makna judicial review mengalami penyempitan, sebab judicial review hanya dapat dilakukan melalui mekanisme peradilan (judiciary), yang dilaksanakan oleh para hakim. Sedangkan jika constitutional review subjek pengujinya dapat dilaksanakan oleh lembaga pengadilan (judicial review), lembaga legislative (legislative review), lembaga eksekutif (executive review), atau lembaga lainnya yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi tersebut, pemberian hak uji inilah yang menjadi pengertian dari toetsingsrecht. Judicial review hanya berlaku jika pengujian dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norms) secara “a posterior,” artinya norma hukum tersebut telah diundangkan oleh pembentuk UU.

Kedua, mengenai cakupan peradilan tata negara itu sendiri. Menurut pendapat banyak ahli hukum terminologi peradilan tata negara itu mencakup peradilan tata negara di Mahkamah Konstitusi (constitutional adjudication), peradilan tata usaha negara di Mahkamah Agung (administrative adjudication), dan badan-badan peradilan tata usaha negara yang ada di bawah Mahkamah Agung. Akan tetapi, pengertian yang luas tersebut apabila kita persempit dengan tidak mengikutsertakan peradilan tata usaha negara yang berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung, maka pengertian peradilan tata negara yang dimaksud dapat dimaknai sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dan fungsi tertentu dari Mahkamah Agung. Dalam pembahasan ini, pengertian atau ruang lingkup peradilan tata negara akan dipersempit secara strict, atau dengan pengertian yang lebih khusus dan spesifik mengenai fungsi dari Mahkamah Konstitusi, sebagai diatur dalam ketentuan Pasal 24 C UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, menyangkut objek dari judicial review, dalam praktek dikenal tiga macam norma hukum yang bisa diuji. Pertama, keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling); Kedua, keputusan normative yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking); Ketiga, keputusan normative yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement/vonnis). Ketiga norma hukum tersebut ada yang merupakan individual and concrete norms (beschikking dan vonnis), dan ada yang berwatak generale and abstract norms (regeling). Karena di atas tadi sudah dilakukan pembatasan mengenai ruang lingkup dari peradilan tata negara, yakni hanya menyangkut kewenangan dari Mahkamah Konstitusi, maka berkaitan dengan objek pengujiannya, di sini lokusnya hanya sebatas pada generale and abstract norms (regeling), dalam implementasi pengujian konstitualitas UU terhadap UUD. Pengujian konstitualitas berhubungan dengan kadar kekonstitusionalan UU, baik secara materil maupun formil. Dalam tradisi Indonesia sekarang pengujian konstitulitas menjadi bagian dari fungsi Mahkamah Konstitusi, sedangkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi pengujian legalitas. Artinya, Mahkamah Konstitusi menguji the constitutionality of legislative law or legislation (Produk-produk legislative/UU), sedangkan Mahkamah Agung menjalankan uji the legality of regulation (peraturan hukum di bawah UU).

Mauro Capelletti, secara substantif mengartikan judicial review sebagai sebuah proses penerjemahan nilai-nilai yang ditentukan oleh konstitusi melalui sebuah metode tertentu untuk menjadi suatu keputusan tertentu. Proses penerjemahan tersebut terkait dengan pertanyaan questio juris yang juga harus dijalankan oleh para hakim dalam sebuah lembaga kehakiman, hakim tidak hanya memeriksa fakta-fakta (judex factie), tetapi juga mencari, menemukan dan menginterpretasikan hukumnya (judex juris). Artinya, penekanan pada proses interpretasinya ini (proses review) mengakibatkan judicial review menjadi isu yang punya kaitan erat dengan struktur ketatanegaraan suatu negara bahkan hingga ke proses politik pada suatu negara. Konsep ini memiliki hubungan erat dengan struktur tatanegara suatu negara yang menempatkan dan menentukan lembaga mana sebagai pelaksana kekuasaan tersebut. Bahkan lebih jauh, bagaimana proses politik nasional memaknai pelaksanaan pemegang kekuasaan judicial review tersebut.

Istilah judicial review sesungguhnya merupakan istilah teknis khas hukum tata negara Amerika Serikat yang berarti wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi. Pernytaan ini diperkuat oleh Soepomo dan Harun Alrasid, mereka mengatakan di Belanda tidak dikenal istilah judicial review, mereka hanya mengenal istilah hak menguji (toetsingensrecht). Judicial review dimaksudkan menjadi salah satu cara untuk menjamin hak-hak kenegaraan yang dimiliki oleh seorang warga negara pada posisi diametral dengan kekuasaan pembuatan peraturan.

Pengujian oleh hakim itu dapat dilakukan dalam bentuk institutional-formal dan dapat pula dalam bentuk substansial. Suatu peraturan sebagai institusi dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan perkara ‘judicial review’ itu dalam persidangan yang tersendiri, inilah bentuknya yang secara institutional-formal. Sedangkan dapat juga terjadi pengujian yang dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. Dalam mengadili sesuatu perkara apa saja, hakim dapat saja atau berwenang mengesampingkan berlakunya sesuatu peraturan atau tidak memberlakukan sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme demikian ini dapat pula disebut sebagai ‘judicial review’ yang bersifat prosessual, atau ‘judicial review’ yang bersifat substansial.

Dalam konteks yang berkembang di Indonesia, sealur dengan perkembangan ketatanegaraan kontemporer, di mana judicial reviw menjadi bagian dari fungsi Mahkamah Konstitusi, judicial review dimaknai sebagai kewenangan untuk melakukan pengujian baik secara materil maupun formil suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar, serta kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Jadi, secara teoritik judicial review, dalam kerangka peradilan tata negara, dengan pemaknaan yang telah dipersemit seperti di atas, judicial review berarti kewenangan-kewenangan yang di miliki oleh peradilan tata negara (sebuah lembaga judicial), untuk melaksanakan fungsi-fungsi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mengenai objek pengujiannya ialah produk-produk legislative (legislative act), yang berupa undang-undang. Dalam system hukum Indonesia yang berkembang saat ini, yang mejadi legislator utama adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan tetapi karena pembuatan produk legislasi (UU) membutuhkan persetujuan bersama antara eksekutif dan legislative, maka pemerintah pun memiliki fungsi sebagai legislator, meski hanya co-legislator. Dalam kapasitasnya sebagai pembentuk undang-undang, kedua organ tersebut (DPR dan Presiden) tidak wenang untuk merubah atau membatalkan suatu produk undang-undang. Pemerintah sendiri justru harus mentaati suatu produk undang-undang, dan DPR menggunakan undang-undang bersangkutan sebagai satndar atau alat control terhadap pemerintah dalam melaksanakan kinerjanya. Persoalannya adalah ketika produk undang-undang tersebut nilai konstitulitasnya bertentanga dengan konstitusi, apakah harus terus dilanjutkan, pelaksanaan dan fungsi kontrolnya. Pada sisi inilah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga judicial mengambil peran, untuk melakukan uji konstitualitas.

CONTOH-CONTOH KASUS DAN ULASAN PENDAPAT HUKUMTERHADAP KETENTUAN & PRKTEK HAK UJI DALAM CONTOH-CONTOH KASUS

KASUS PERTAMA

MK Uji Materil UU Siaran Iklan Rokok

Jakarta, Kominfo Newsroom — Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Rabu (11/2) menggelar sidang pengujian Undang Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang dimohonkan oleh beberapa pihak.

Pihak-pi hak yang memohonkan itu adalah Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat dan perorangan yang mempermasalahkan pasal yang memperbolehkan promosi rokok meskipun dengan syarat tertentu.

Sidang perkara bernomor 6/PUU-VII/2009 itu mengagendakan pemeriksaan pendahuluan.

Pemohon dari Komas Anak diwakili Seto Mulyadi (Kak Seto), LPA Jawa Barat oleh Kusnadi Rusmil dan perorangan oleh Sekar Nadia dan Faza Ibnu Ubaydillah, secara keseluruhan diwakili oleh kuasa hukum Tim Litigasi untuk Pelarangan Iklan, Promosi dan Sponsorship Rokok.

Pemohon mendalilkan pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran yang menjadi dasar justifikasi yang secara normatif masih memperbolehkan promosi rokok walaupun dengan persyaratan tertentu.

Yakni ’tidak memperagakan wujud rokok’ bertentangan dengan pasal 28-A, 28-B ayat 1, 28-C ayat 2, 28-F, dan 28-G UUD 1945, karena bahan yang terdapat dalam rokok adalah zat yang mengandung nikotin dan tar serta zat lain yang bersifat adiktif dan membahayakan hidup dan kehidupan setiap orang apalagi anak-anak yang masih rawan dan sedang dalam pertumbuhan.

Pemohon menganggap, norma hukum UU Penyiaran yang termaksud di atas tidak jelas ratio logisnya dan melanggar hak konstitusional setiap orang (termasuk anak).

Menurut pemohon, pasal 46 ayat (3) sepanjang frase ’tidak memperagakan wujud rokok’ mengakibatkan iklan rokok masih dibolehkan.

Oleh karenanya telah menjadi kausalitas adanya dorongan dan pengaruh untuk merokok sehingga terjadilah pelanggaran hak-hak konstitusional anak yakni hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang yang dijamin pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

Selain itu dalam isi dan pesan iklan rokok sebagai karya seni dan budaya, juga melanggar hak kelangsungan hidup anak sebagaimana dijamin pasal 28C UUD 1945 karena setiap remaja dan anak mempunyai hak memperoleh manfaat atas seni dan budaya demi kualitas hidup.

Citra ‘kejantanan dan kebersamaan kenikmatan tertinggi’, ‘enjoy aja’, ‘gak ada loe gak rame’ dan sebagainya, menurut pemohon merupakan informasi dari iklan yang menyesatkan dan tidak sesuai fakta atau memanipulatif, karena pada kenyataannya rokok banyak mengandung racun.

Selain itu juga frasa promosi yang digunakan telah membentuk mental anak tidak sehat karena merusak psikologis dan melanggar pasal 28F UUD 1945, yaitu anak memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya.

Sementara itu, Majelis Konstitusi yang diketuai oleh hakim Akil Mochtar mempertanyakan kejelasan kerugian-kerugian Pemohon atas permohonan uji materi pasal dalam UU Penyiaran tentang aturan iklan rokok. Pemohon juga oleh majelis diminta memperbaiki permohonannya.

‘Yang menyebabkan kerugian ini iklan rokoknya atau akibat merokoknya,’ ujar Akil.

Menurut Akil, kerugian konstitusional dari penerapan aturan itu adalah dampak merokoknya. Pemohon, lanjut Akil, harus menjelaskan hubungan sebab akibat antara iklan rokok dan kerugian konstitusional.

Anggota majelis, Arsyad Sanusi, menambahkan, penghapusan Pasal 46 tersebut justru akan menghilangkan tindak pidana yang disebabkannya. ‘Kalau pasal itu dihapuskan bagaimana dengan pasal yang mengatur pidananya,’ ujarnya.

Menang gapi permintaan itu, Ketua Komnas Anak, Seto Mulyadi, menyatakan iklan rokok menyebabkan kerugian bagi masyarakat. Iklan itu, lanjut dia, dapat mengarahkan psikologi anak-anak untuk menjadi perokok. ‘Jadi kami meminta iklan rokok dihilangkan semuanya,’ jelasnya.

Ulasan Pendapat saya terhadap kasus tersebut

Pada kasus pertama:

Pihak pemohon memiliki banyak kekurangan pada segi hubungan norma hukum UU Penyiaran yang termaksud di atas tidak jelas ratio logisnya dan melanggar hak konstitusional setiap orang (termasuk anak). Hal ini sangat tidak jelas pada iklan rokok yang beredar, tak ada satupun kegiatan dalam iklan tersebut yang mentang UU (pasal 46 ayat (3) sepanjang frase ’tidak memperagakan wujud rokok mengakibatkan iklan rokok masih dibolehkan) yang mengatur tentang pengiklanan rokok yaitu salah satunya menunjukan wujud rokok dan memperlihatkan contoh-contoh atau cara merokok. Sedangkan Kak Seto memberikan penjabaran yang meleset dari pokok bahasan awal sehingga hal ini di jadikan alasan oleh Majelis Konstitusi yang diketuai oleh hakim Akil Mochtar agar Kak Seto memperbaiki terlebih dahulu permohonanya. Jadi menurut saya setiap individu maupun kelompok yang ingin mengajukan permohonan hak uji UU yang dirasa merugikan diri sendiri agar sebelumnya telah menyusun suatu skema permohonan agar tidak terjadi lepas control (keluar dari topik pembahasan utama).

KASUS KEDUA

MKRI Menolak Pemohonan Hak Uji UU Kehutanan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dalam putusannya menyatakan menolak permohonan hak uji materiil (Judicial Review) atas Undang-undang nomer 19 tahun 2004 tentang penetapan Perpu nomor 1 tahun 2004 atas perubahan UU no 41 tahun 1999 tentang kehutanan karena dinilai permohonan tersebut tidak cukup beralasan.

“Permohonaan pemohon atas pengujian materiil undang-undang nomor 19 tahun 2004 tentang penetapan perpu nomer 1 tahun 2004 tentang perubahan UU nomer 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945, tidaklah cukup beralasan sehingga harus ditolak,” kata ketua MKRI Prof Jimly Asshidiqie saat membacakan putusan di MKRI Jakarta, Kamis (07/07).

Oleh karena itu, tambah Jimly saat membacakan amar putusaan, MKRI menolak permohonan pemohon.

Atas keputusan MKRI tersebut kuasa hukum pemohon Abdul Haris Semendawai menyatakan ada sikap inkonsistensi dari MKRI. Menurut Abdul Haris, MKRI dalam pertimbangan hukumnya mengakui bahwa dengan adanya UU ini maka akan berdampak buruk terhadap kelestarian lungkungan hidup. Hal itu terjadi karena UU ini menjadikan dasar diijinkannya perusahaan tambang melakukan penambangan di areal Hutan lindung.

Saat ini, tambahnya sudah terdapat 13 ijin tambang yang diberikan pada 12 perusahaan tambang untuk melakukan penambangan di areal hutan lindung.

“Majelis mengakui kehadiran Undang-undang ini akan berdampak buruk kepada lingkungan hidup. tetapi dalam putusannya justru menolak permohonan kami. Ini aneh,” kata Abdul Haris.

Meskipun demikian, tambah Haris, pihaknya akan tetap menghormati keputusan MKRI tersebut. Namun ia mengingatkan bahwa dampak dari penambangan di areal hutan lindung tersebut tidak dirasakan saat ini tetapi pada lima atau sepuluh tahun nanti.

Menurut Abdul Haris, keputusan MKRI ini hanya sangat mempertimbangkan kepentingan perekonomian semata.

Dalam putusannya MKRI juga menegaskan bahwa meminta kepada pemerintah untuk melakukan pengawasan yang ketat.

Menurut Ketua MKRI Prof Jimly dalam konferensi pers seusai pembacaan putusan, mengakui bahwa semua dalil yang diajukan oleh pemohon tersebut benar.

“Undang-undang ini yang penting hanya berdasarkan pasal transisional saja, maka sebnarny semua dalil yang dikemukakan pemohon itu benar, cuma karena yang dipersoalkan hanya soal pasal transisional dan pasal transisional itu memang diperlukan, lalai di bentuk dalam UU no 41 tahun 2004, makanya kita tidak menemukan adanya inkonstitusionalitas,” katanya.

Menurut Jimly secara substansinya UU tersebut telah benar, sehingga hal ini harus menjadi catatan supaya pemerintah dalam pelaksanana fungsi pengawasannya terhadap perijin-perijinan yang sudah ada itu harus demikian efektif supaya tidak ada pelanggaraan.

Selain itu, karena masa transisi itu , maka semua perusahaan tambang harus menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang yang baru. Dan hal itu, tambah Jimly, harus diawasi secara ketat oleh pemerintah.

Ketatnya pengawasan itu sangat diperlukan karena kita juga mencatat data-data yang diajukan oleh pemohon bahwa dalam pelaksanaan praktek itu bisa macam-macam.

“Jadi meskipun 12 perusahaan yang mengantongi 13 ijin diakui status hukumnya, tetapi bukan tidak mungkin kalau dia melanggar perjanjian atau perijinan, itu pemerintah berwenang untuk mencabut ijinnya,” katanya.

Namun mengenai pengawasan yang harus dilakukan pemerintah, Abdul haris justru menyangsikan hal itu.

“Pengalaman selama ini dalam hal pengawasan dan penindakan para perusak lingkungan sangat lemah,” katanya.

Permohonan hak uji materiil atas UU kehutanan ini diajukan oleh 82 individu dan 11 lembaga swadaya masyarakat non-pemerintah. Sebelumnya berdasarkan UU no 41 tahun 1999, terdapat larangan untuk melakukan penambangan di areal hutan lindung. Namun kemudian pemerintah mengeluarkan Perpu nomer 1 tahun 2004 yang menerobos larangan itu dan membolehkan penambangan di areal hutan lindung.

Perpu nomor 1 tahun 2004 tersebut akhirnya disahkan menjadi UU nomer 41 tahun 2004. Keluarnya UU nomer 41 tahun 2004 tersebut menyebabkan kalangan aktivis pecinta lingkungan hidup berteriak menolaknya dan pada akhirnya mengajukan hak uji materiil.

Ulasan Pendapat saya terhadap kasus tersebut :

Pada kasus kedua

Pihak pemohon memiliki alasan yang cukup untuk mengajukankuat namun Prof Jimly Asshidiqie lebih menekankan muatan politis karena hukum merupakan produk politik sedangkan suatu produk politik biasanya di kuasai oleh faktor ekonomi sehingga keputusan Prof Jimly Asshidiqie memberikan penolakanhak uji materi pada Perpu no 1 th 2004 yang dishkan menjadi UU no 41 th 2004 dengan turunya UU tersebut membuat para pengusaha yang memiliki ijin penambangan di wilayah hutan lindung semakin merebak dan semakin merugikan wilayah hutan lindung. Oleh karena itu saya kurang setuju walau Prof. Jimly Ashhidiqe memiliki alasan cukup tegas dari segi aspek ekonomi namun hal ini akan sangat merugikan SDA Indonesia apa bila terus-menerus UU ini tetap di berlakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 2-7.

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal 332-334.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal 1-3.

Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective, Clarendon Press – Oxford, 1989, halaman 120.

Bentuk negara federasi akan membuat judicial review juga kadang-kadang dijalankan secara vertikal yakni antara pusat dan daerah. Selain itu, masing-masing negara juga punya pengalaman sendiri dalam mekonstruksi konsepsi judicial review-nya. Ada banyak negara yang menyatukan fungsi ini ke Mahkamah Agung dan demikian juga ada banyak negara yang menempatkannya pada lembaga lainnya yakni Mahkamah Konstitusi atau Dewan Konstitusi.

Lihat: Jerome A. Barron and C. Thomas S., Constitutional Law, St. Paul Menn-West Publishing Co., 1986, halaman 4-5.

Lebih lanjut dituliskan olehnya bahwa ‘review’ dapat dibedakan dari ‘appeal’, seperti yang dikatakan oleh Brian Thompson, “If one appeals a decision, one is claiming that it is wrong or incorrect, and that the appellate authority should change the decision”. Sedangkan pada ‘judicial review’, “the court is not concerned with the merits of the case, whether the decision was right or wrong, but whether it was lawful or unlawful. Seperti dikatakan oleh Lord Brightman: “Judicial review is concerned, not with the decision, but with the decision-making process”. Lihat: Jimly Ashshiddiqie, Judicial review: Pengawasan terhadap Kekuasaan Legislatif dan Regulatif dalam Perspektif Hukum Tata Negara, makalah belum dipublikasikan, 2002, hal. 5.

Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

http://wahyudidjafar.wordpress.com/2008/07/25/perkembangan-doktrin-constitutional-review-dan-judicial-review-di-indonesia/

http://www.endonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=44&artid=2779

http://www.kapanlagi.com/h/0000071605.html

Saafroedin Bahar, dkk (penyunting), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 22 Mei 1945-22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995),

Harun Alrasid, Hak Menguji dalam Teori dan Praktek, makalah tidak diterbitkan.

Kemelut ini sebenarnya bisa dipahami sebagai sebuah upaya untuk mencari suatu system yang benar-benar tepat dan pas bagi Indonesia, jadi wajar jika di awal kemerdekaan sering terjadi perubahan system pemerintahan dan ketatanegaraan, hal itu merupakan proses bagi Indonesia dalam menuju suatu system yang civilize.

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi Republic Indonesia, Menegakkan Negara Hukum yang Demokratis: Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, 2006), hal. 28.

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.

Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.

Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi Republic Indonesia, dalam Op. Cit. hal. 112-114

BAHASA HUKUM

Fokus
Bahasa Hukum yang Mulai Kehilangan Roh
[6/10/09]

Kalau saja anggota DPR dan para ahli bahasa Indonesia membaca tulisan Andre Moller, seharusnya mereka malu. Andre, seorang pria asal Swedia, membuat sebuah tulisan bertajuk “Undang-Undang Bahasa” di sebuah harian nasional, 25 September lalu.

 

 

 

 

Malu bukan saja karena Andre adalah orang asing, tetapi juga karena nyaris tidak ada pengamat kebahasaan yang jeli membaca ‘penyimpangan’ penggunaan bahasa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ia menyanjung niat para penyusun Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24/2009) yang ingin memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Nilai persatuan dan kesatuan bisa dipererat lewat bahasa. Andre menulis catatan itu sekitar dua bulan setelah UU No. 24/2009 berlaku.

 

Sebaliknya, dengan nada halus, penyusun kamus Swedia – Indonesia itu menyentil para penyusun UU No. 24/2009. Undang-Undang ini antara lain ‘mewajibkan’ para pejabat negara menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resmi. Bahasa Indonesia juga ‘wajib’ digunakan untuk penunjuk jalan, fasilitas umum, rambu umum. Bahasa yang ‘wajib’ dipakai di media massa, kecuali media khusus, adalah bahasa Indonesia. Pasal 31 melanjutkan bahasa Indonesia ‘wajib’ digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi Pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perorangan warga negara Indonesia.

 

Andre penasaran dengan penggunaan kata ‘wajib’ dalam Undang-Undang ini. Ia mencoba membolak-balik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kata ‘wajib’ mengandung arti “harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan”. Sayang sekali, tulis Andree, tak ada larangan ataupun ancaman pidana untuk orang atau perusahaan yang memakai bahasa Indonesia tidak sesuai Undang-Undang ini. Berbeda sekali dengan kata ‘wajib’ dalam pengibaran bendera yang diiringi dengan sanksi. Maka, dalam tulisannya Andre menggunakan tanda kutip dalam setiap kata wajib, karena makna kata wajib dalam UU No. 24/2009 dia nilai “tak sesuai dengan KBBI”.

 

Andre memang benar. Tak ada satu pun sanksi bagi mereka yang lalai atau sengaja melanggar ‘kewajiban’ berbahasa Indonesia. Padahal, minimal tercatat 16 kali kata ‘wajib’  dimuat dalam Bab III tentang Bahasa Negara, dan hanya 7 kali kata ‘dapat’.

 

Akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Niken Pramanik, mengatakan sulit menerapkan sanksi bagi orang yang tidak berbahasa Indonesia, selain sanksi moral. Niken menganalogikan orang wajib berpakaian sopan. Kalau orang tidak berpakaian sopan, apa sanksinya? Menurut Niken, sanksinya hanya bersifat moral.

 

Senada, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fernando Manullang mengatakan wajib tidak identik dengan sanksi. Kalau suatu hukum tidak mengandung sanksi maka hukum itu disebut tidak sempurna. Namun kesempurnaan hukum bukan terletak pada ada tidaknya sanksi. Wajib atau harus itu, kata Fernando, adalah suatu predikat yang dilekatkan pada subjek tertentu. Sanksi melekat pada pelanggaran atas kewajiban. “Sanksi tidak selalu melekat pada wajib,” ujarnya.

 

Meskipun begitu, Niken sependapat jika bahasa Indonesia dipakai dalam kontrak-kontrak yang dibuat di Indonesia dan melibatkan pihak Indonesia. Lebih aman kalau dibuat dalam dua bahasa. Jika dibuat dalam bahasa asing, Niken khawatir terjadi perbedaan penafsiran terhadap klausul kontrak antara pihak Indonesia dan pihak asing. Ia malah menyayangkan mengapa berbagai dokumen hukum yang dipergunakan untuk menarik publik seperti asuransi atau bank, banyak menggunakan bahasa Inggris. Bagaimana kalau konsumen pelayanan itu tidak mengerti bahasa Inggris?

 

Bahasa hukum, bahas kaku?

Penggunaan kata ‘wajib’ dalam UU No. 24/1999 sebagaimana disindir Andre Moller bukan satu-satunya masalah kebahasaan yang muncul dalam proses legislasi. Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi sebenarnya berusaha meluruskan penggunaan bahasa dalam rumusan Undang-Undang.

 

Selain penguasaan materi, para pembentuk Undang-Undang memang harus bijak dalam memilih kata-kata yang hendak dirumuskan. Salah memilih kata bisa berakibat fatal. Apalagi jika kesalahan itu menyangkut istilah hukum yang khas. Salah satu contoh konkrit adalah penggunaan kata ‘penetapan’ dalam Pasal 45 A UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung –sebelum diubah menjadi UU No. 3 Tahun 2009. Berdasarkan pasal ini, permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat harus dinyatakan tidak dapat diterima melalui penetapan ketua pengadilan negeri. Penggunaan kata penetapan dalam rumusan pasal itu keliru, karena pernyataan hakim tentang tidak dapat diterimanya suatu gugatan harus dituangkan dalam bentuk putusan. Para pembentuk Undang-Undang tampaknya menyamakan “penetapan” dengan “putusan”.

 

Menyadari adanya kekeliruan itu, dan didasari kekhawatiran menganggu acara di pengadilan, Ketua Mahkamah Agung (kala itu) Bagir Manan meluruskan kesalahan bahasa Undang-Undang itu melalui SEMA No. 6 dan SEMA No. 7 Tahun 2005.

 

Deputi Direktur Yayasan SET, Agus Sudibyo, punya pengalaman menarik memantau proses legislasi di Senayan. Dalam proses pembahasan, acapkali anggota DPR berdebat lama soal kata yang dipakai dalam rumusan. Malah anggota DPR pernah berdebat perbedaan kata ‘wajib’ dan ‘harus’. Untuk mengakhiri perdebatan biasanya dipanggi ahli bahasa. Agus dapat memaklumi perdebatan itu karena bahasa hukum dan bahasa yang dipakai dalam Undang-Undang harus universal dan seminimal mungkin multitafsir. Kalau bisa, tidak boleh lagi ada penafsiran lain. “Makanya, bahasa hukum itu cenderung rigid, kaku,” ujar Agus.

 

Cuma, Agus menyayangkan kebiasaan pembentuk Undang-Undang menuliskan frasa “cukup jelas” pada bagian penjelasan. Kebiasaan ini justru menyulitkan pihak lain memahami apa yang dimaksud dalam suatu rumusan. Pihak lain sebenarnya bisa mencari latar belakang dan perdebatan (memorie van toelichting) mengenai rumusan tersebut, atau suasana kebatinan lahirnya suatu rumusan. Sayang, akses terhadap sistem dokumentasi proses legislasi di DPR belum sepenuhnya terbuka.

 

Sewaktu memantau pembentukan RUU Keterbukaan Informasi Publik dan RUU Rahasia Negara, Agus Sudibyo juga menemukan berbagai istilah yang di mata awam berpotensi menimbulkan multitafsir. Forum pemantauan seperti itu digunakan Agus sebagai tempat belajar untuk lebih memahami bahasa hukum. “Paling tidak, saya mendapatkan sesuatu yang baru,” ujarnya.

 

Pada tataran ilmiah, kritik terhadap kekakuan bahasa hukum pernah dilontarkan notaris Liliana Tedjosapoetro. Sewaktu mempertahankan disertasinya di UGM Yogyakarta lima belas tahun silam, Liliana menilai bahasa dan format yang dipakai dalam akta notaris sudah ketinggalan zaman, berbelit dan kadang rancu. Ia menyarankan kalangan notaris untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai ejaan yang disempurnakan (EYD). Menteri Kehakiman Ismail Saleh mengutip disertasi Liliana itu dan menuangkannya ke dalam sebuah artikel. “Bahasa hukum sebagai bagian dari bahasa Indonesia harus mengikuti ketentuan-ketentuan, aturan dan kaidah yang ditetapkan bahasa Indonesia,” tulis sang Menteri.

 

Dari kalangan punggawa bahasa Indonesia, kritik yang tak kalah pedas datang dari Dad Murniah. Dalam sebuah tulisannya, Kepala Subbid Informasi dan Publikasi Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) ini menilai bahasa hukum itu “rumit dan membingungkan”.

 

Tetapi, di mata Fernando, teks hukum selalu terbuka akan interpretasi. Serigid apapun kata yang dipilih atau bahasa yang dirumuskan dalam suatu Undang-Undang, masih tetap terbuka kemungkinan penafsiran berbeda oleh orang yang berbeda.

 

Dengan menggunakan dua bahasa dalam teks hukum, semisal perjanjian, perbedaan tafsir itu, kata Niken, bisa diminimalisir. Yang paling penting UU No. 24 Tahun 2009 sudah menempatkan bahasa Indonesia dalam kedudukan dengan penyangga yang kuat. Meskipun RUU Kebahasaan yang digagas Pusat Bahasa Depdiknas belum dibahas DPR, minimal sudah ada payung hukum bahasa nasional tersebut.

 

Dalam peraturan perundang-undangan lain, bahasa Indonesia juga diposisikan sebagai bahasa wajib. UU No. 8/1997 tentang Dokumen Perusahaan menyebutkan setiap perusahaan wajib membuat catatan sesuai kebutuhan perusahaan. Catatan-catatan itu wajib disusun dalam bahasa Indonesia. Kalau mau dibuat dalam bahasa asing, perusahaan harus mendapat izin dari Menteri Keuangan.

 

Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2001 tentang Penggunaan Komputer dengan Aplikasi Komputer Berbahasa Indonesia juga menyinggung masalah ini. Terakhir, dalam UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris disebutkan bahwa akta-akta dibuat dalam bahasa Indonesia. Kalau penghadap tidak mengerti bahasa yang dipakai dalam akta, maka notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan, baik oleh notaris sendiri maupun oleh penerjemah.

 

(Mys/Shi(HOLE))

 

ALAT BUKTI PENGAKUAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Eman Suparman(1)
I. Pendahuluan
Hakim dalam memeriksa setiap perkara harus sampai kepada putusannya,
walaupun kebenaran peristiwa yang dicari itu belum tentu ditemukan. Benar tidaknya
sesuatu peristiwa yang disengketakan sangat bergantung kepada hasilpembuktian
yang dilakukan para pihak di persidangan. Oleh karena itu kebenaran yang dicari di
dalam hukum acara perdata sifatnya relatif.
Pembuktian dalam arti yuridis tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran
yang mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa pengakuan,
kesaksian, atau surat-surat, yang diajukan para pihak yang bersengketa kemungkinan
tidak benar, palsu atau dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa setiap perkara
yang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat diterima kedua
belah pihak.
Berkaitan dengan masalah pembuktian ini, Sudikno Mertokusumo,
mengemukakan antara lain:
“…Pada hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan
guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak
di persidangan….”2
Memberikan dasar yang cukup kepada hakim berarti memberikan landasan
yang benar bagi kesimpulan yang kelak akan diambil oleh hakim setelah
keseluruhan proses pemeriksaan selesai. Maka putusan yang akan dijatuhkan oleh
hakim diharapkan akan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya telah terjadi.
Di dalam hukum acara perdata, kepastian akan kebenaran peristiwa yang
diajukan di persidangan itu sangat tergantung kepada pembuktian yang dilakukan
1 Lektor Kepala Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum Unpad Bandung.
2 R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:Liberty, 1985, halaman
107.
2
oleh para pihak yang bersangkutan. Sebagai konsekuensinya bahwa kebenaran itu
baru dikatakan ada atau tercapai apabila terdapat kesesuaian antara kesimpulan
hakim (hasil proses) dengan peristiwa yang telah terjadi. Sedangkan apabila yang
terjadi justru sebaliknya, berarti kebenaran itu tidak tercapai.
Setelah pemeriksaan suatu perkara di persidangan dianggap selesai dan para
pihak tidak mengajukan bukti-bukti lain, maka hakim akan memberikan putusannya.
Putusan yang dijatuhkan itu diupayakan agar tepat dan tuntas. Secara objektif
putusan yang tepat dan tuntas berarti bahwa putusan tersebut akan dapat diterima
tidak hanya oleh penggugat akan atetapi juga oleh tergugat.
Putusan pengadilan semacam itu penting sekali, terutama demi pembinaan
kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan. Oleh karena itu hakim dalam
menjatuhkan putusan akan selalu berusaha agar putusannya kelak seberapa
mungkin dapat diterima oleh masyarakat, dan akan berusaha agar lingkungan orang
yang akan dapat menerima putusannya itu seluas mungkin.
Apabila harapan itu terpenuhi, maka dapat diketahui dari indikatornya antara
lain masing-masing pihak menerima putusan tersebut dengan senang hati dan tidak
menggunakan upaya hukum selanjutnya (banding maupun kasasi). Seandainya
mereka masih menggunakan upaya-upaya hukum banding dan kasasi, itu berarti
mereka masih belum dapat menerima putusan tersebut secara suka rela sepenuhnya.
Digunakannya hak-hak para pihak berupa upaya hukum banding dan kasasi,
bukan berarti bahwa putusan peradilan tingkat pertama itu keliru. Secara yuridis,
setiap putusan itu harus dianggap benar sebelum ada pembatalan oleh pengadilan
yang lebih tinggi (asas res judicata pro veritate habetur). Ketentuan ini
dimaksudkan untuk menjamin adanya kepastian hukum, bukan berarti kebenaran
peristiwa yang bersangkutan telah tercapai dan persengketaan telah terselesaikan
sepenuhnya dengan sempurna. Akan tetapi secara formal harus diterima bahwa
dengan dijatuhkannya suatu putusan oleh hakim atas suatu sengketa tertentu antara
para pihak, berarti untuk sementara sengketa yang bersangkutan telah selesai.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa di dalam proses perkara perdata di
persidangan yang dicari oleh hakim adalah kebenaran peristiwa yang ditemukan para
3
pihak yang bersangkutan. Untuk merealisasikan hal tersebut, hakim tidak boleh
mengabaikan apapun yang ditemukan para pihak yang berperkara. Dalam kondisi
seperti ini nyata sekali bahwa dalam perkara perdata hakim bersifat pasif. Artinya
ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk
diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh
hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan.3
Hakim dalam mengadili sengketa, hanya memeriksa apa yang ditemukan
para pihak sebagai usaha membenarkan dalil gugatan atau bantahannya. Inisiatif
beracara datangnya dari para pihak yang bersangkutan. Hakim hanya mempunyai
kebebasan untuk menilai sejauhmana yang dituntut oleh pihak-pihak tersebut. Akan
tetapi sudah barang tentu hakim tidak semata-mata bergantung kepada apa yang
dikemukakan para pihak, akan tetapi hakim mempunyai kewajiban untuk menilai
sejauhmana kebenaran peristiwa-peristiwa itu, sehingga apa yang dikemukakan para
pihak tersebut akan dapat membentu hakim untuk memberikan pertimbangan dalam
menjatuhkan putusannya.
II. Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata
Peradilan memiliki fungsi yang cukup penting di dalam masyarakat.
Fungsi tersebut antara lain dalam rangka membantu menyelesaikan sengketa atau
perselisihan yang timbul akibat benturan kepentingan anggota masyarakat satu sama
lain. Oleh karena itu eksistensi perangkat hukum acara perdata yang memadai
sesuai perkembangan masyarakat dengan segala macam kompleksitasnya sangat
diperlukan.
Adalah suatu kenyataan bahwa hukum acara perdata positip yang dinyatakan
secara resmi berlaku berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor
19 Tahun 1964 dan Nomor 3 tahun 1965 adalah “het Herziene Indonesisch Reglement
(HIR)”4 untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura
3 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970.
4 S. 1848 Nomor 16, S. 1941 Nomor 44. Lihat R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia. Yogyakarta:Liberty, 1985, halaman 7.
4
diberlakukan “Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg)”.5 Kecuali dua ketentuan di
atas, Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
memuat juga beberapa ketentuan tentang hukum acara perdata. Selebihnya peraturan
hukum acara perdata tersebar pula di laman BW, WvK, dan Peraturan Kepailitan.
Keseluruhan ketentuan hukum acara perdata tersebut merupakan suatu
sistem yang terdiri atas sub-sub sistem. Salah satu dari sub sistem itu adalah sub
sistem pembuktian. Untuk lebih memahami tentang sistem hukum acara perdata
tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui tentang apa yang dimaksud dengan sistem
itu sendiri.
R. Subekti mengemukakan, bahwa sistem adalah suatu susunan yang teratur
yang merupakan keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian (sub-sub) yang satu
sama lain saling kait-mengkait, dan tidak boleh terjadi suatu tumpang tindih antara
bagian-bagian itu dan tersusun menurut suatu pemikiran tertentu untuk mencapai
tujuan.6
Hukum sebagai suatu sistem merupakan suatu kesatuan yang bulat, yang di
dalamnya tidak dikehendaki adanya pertentangan. Apabila ternyata terjadi suatu
pertentangan maka akan diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri. Sebagai
suatu sistem, hukum juga memiliki sub-sub sistem di dalamnya, masing-masing
sub sistem itu saling membantu untuk menyempurnakan kekurangan yang terdapat
di dalamnya.
Hukum acara perdata sebagai salah satu sistem bertujuan untuk
menyelesaikan pertentangan kepentingan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh
karena itu maka sub sistem pembuktian merupakan keseluruhan ketentuan tentang
pembuktian yang tersusun secara teratur yang satu sama lain saling kait mengkait,
dan bertujuan untuk dapat menentukan terbukti tidaknya suatu peristiwa tertentu
yang dikemukakan oleh para pihak di persidangan.
5 S. 1927 Nomor 227. Ibid., halaman 7.
6 Lihat Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Bandung:
Alumni,1983, halaman 15.
5
Di dalam hukum acara perdata dikenal beberapa sistem beracara yaitu
sebagai berikut:
A. Sistem beracara secara langsung dan tidak langsung
Sistem beracara secara langsung artinya para pihak langsung menghadap
sendiri di persidangan tanpa mewakilkan kepada kuasa atau pengacara. Di dalam
sistem semacam ini hakim langsung berhadapan dan mendengar pihak-pihak itu
sendiri. Oleh karena itu hakim akan dapat memperoleh keterangan-keterangan
secara langsung, sebab para pihak menghadap sendiri di persidangan.
Para pihak yang bersengketa secara langsung pula akan membuktikan
kebenaran dalil-dalil yang mereka kemukakan, baik dengan mengajukan suratsurat,
saksi-saksi, pengakuan, maupun sumpah. Jadi hakim dapat melakukan
pengawasan secara langsung kepada para pihak, sehingga kemungkinan para pihak
untuk mengemukakan sesuatu yang tidak benar sedapat mungkin akan diminimalkan.
Hal ini disebabkan hakim dapat mengetahui keadaan para pihak yang berperkara
atau para saksi yang memberikan keterangan.
Sedangkan sistem beracara secara tidak langsung adalah suatu sistem yang
para pihak bersengketanya mewakilkan kepada kuasa atau pengacara. Konsekuensi
logis dari sistem ini antara lain para pihak tidak langsung berhadapan dengan hakim
yang memeriksa sengketa mereka. Pemeriksaan perkara dalam sistem ini
berlangsung secara tertulis. Akibatnya di dalam sistem ini hakim mencari kebenaran
peristiwa itu melalui kuasa atau pengacara para pihak.
Sistem tidak langsung ini mengandung cukup risiko, terutama bagi pihakpihak
yang diwakili. Ini disebabkan antara lain karena pada dasarnya seorang kuasa
atau pengacara acapkali kurang mendalami peristiwa yang menjadi sengketa secara
terinci. Oleh karena itu para kuasa atau pengacara umumnya hanya akan
menyampaikan sesuatu berdasarkan pada keterangan yang mereka peroleh atau
ketahui dari para pihak yang bersangkutan.
Dalam kaitan dengan sistem beracara secara tidak langsung di atas, Wirjono
Prodjodikoro, mengemukakan, antara lain sebagai berikut:
6
“… bahwa dengan adanya wakil dari pihak-pihak yang berperkara, hakim tidak
dapat berhadapan langsung dengan orang-orang yang berkepentingan sendiri. Ini
[mungkin] mengakibatkan bahwa hakim tidak mendapat kesempatan untuk
merasakan betul kebutuhan orang-orang itu…”.7
Akan tetapi sistem beracara secara tidak langsung juga tidak kaku. Oleh
karena berdasarkan pada asas kebebasan hakim, apabila hakim menganggap perlu
dapat memanggil pihak-pihak yang langsung berkepentingan untuk menghadap di
depan sidang guna didengar keterangannya, meskipun yang bersangkutan telah
diwakili oleh seorang pengacara.
Di dalam proses pembuktian, beracara secara tidak langsung ini juga dapat
merugikan. Umpamanya saja jika pembelaan yang dikemukakan oleh kuasaatau
pengacara justru tidak membantu hakim untuk menemukan kebenaran peristiwanya.
Lebih-lebih lagi jika pengacara atau kuasanya itu bukan seorang ahli hukum. Apabila
demikian adanya maka tidak jarang justru yang terjadi adalah kesulitan bagi hakim
untuk menemukan kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Padahal tujuan berperkara
dengan menggunakan kuasa atau pengacara sesungguhnya agar hakim dapat dibantu
dalam rangka menemukan hukum yang tepat, sehingga memudahkan hakim untuk
mengambil keputusan yang adil dan benar.
B. Sistem Pemeriksaan Perkara dalam Ruang Sidang
Dalam hukum acara perdata pada prinsipnya pemeriksaan perkara dilakukan
dalam suatu ruang sidang yang khusus ditentukan untuk itu. Sidang itu pun harus
dinyatakan terbuka untuk umum,8 kecuali undang-undang melarangnya. Sifat
terbukanya sidang untuk umum ini merupakan syarat mutlak, namun ada
pembatasannya yaitu apabila undang-undang menentukan lain atau berdasarkan
alasan penting menurut hakim yang dimuat dalam berita acara atas perintahnya.9
7 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung: Sumurbandung, 1978,
hlm. 30.
8 Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 14 tahun 1970.
9 Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970, dan pasal 29 Reglement op de Rechterlijke
Organisatie in het beleid der Justitie in Indonnesie (RO) S. 1847 Nomor 23. Lihat Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara… Op. cit., halaman 99.
7
Jika demikian maka pemeriksaan perkara akan dilakukan dengan pintu
tertutup. Ketentuan terbukanya sidang untuk umum itu antara lain dimaksudkan
untuk menjaga objektivitas pemeriksaan perkara yang bersangkutan. Sistem itu
sesungguhnya dapat mengakibatkan lambatnya proses pemeriksaan perkara di
persidangan. Keterlambatan itu sangat mungkin terjadi disebabkan oleh berbagai
faktor. Dapat terjadi karena adanya oknum hakim atau para pihak sendiri yang
karena si kapnya kemudian berakibat proses pemenyelesaian perkara menjadi
lambat. Hal itu dapat terjadi oleh karena semua kegiatan, seperti: mengajukan
gugatan, jawaban, replik, duplik, pemeriksaan alat-alat bukti, saksi-saksi, dan
sebagainya, semuanya harus dilakukan dan diperiksa di dalam suatu sidang yang
khusus diadakan untuk itu. Kenyataannya hal itu sulit untuk dapat dilaksanakan
dalam waktu yang relatif singkat.
Pada kesempatan sidang pertama, hakim akan menawarkan dan memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk berdamai.10 Apabila usaha perdamaian itu
berhasil, maka hakim akan menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk), yang isinya
menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat
antara mereka.11 Akte tersebut memiliki kekuatan seperti putusan hakim biasa.
Akibatnya maka akte tersebut berlaku sebagai penyelesaian perselisihan.
Sebaliknya jika keadaannya malah berlarut-larut, ditambah lagi kedua belah
pihak menunjukkan kesan seolah-olah tidak beriktikad baik, maka akan
memperlambat proses pemeriksaan sengketa. Akibat dari keadaan tersebut tidak
jarang malahan setelah diupayakan berkali-kali untuk berdamai, ternyata perdamaian
pun tidak berhasil. Apabila pada kesempatan sidang pertama kedua belah pihak tidak
mau berdamai, maka perkaranya akan mulai diperiksa. Pada saat itu juga kepada
penggugat diberikan kesempatan untuk membacakan gugatannya. Setelah itu,
tergugat dapat meminta waktu untuk mempelajari gugatan dan memberikan
jawabannya pada kesempatan sidang berikutnya. Sidang dapat tertunda atau sengaja
10 Pasal 130 HIR, pasal 154 Rbg. Lihat pula pasal 39 UU Nomor 1 tahun 1974. Bandingkan Sudikno
Mertokusumo, Op. cit,. halaman 84; Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1995, halaman 35-37.
11 Sudikno Mertokusumo, Op. cit., halaman 84.
8
diundur jika salah satu dari para pihak atau bahkan hakimnya sendiri berhalangan
hadir pada kesempatan hari sidang yang telah ditentukan.
Perancis adalah salah satu negara yang dikenal memiliki manajemen
pengadilan yang relatif baik, sehingga kelambatan jalannya persidangan pengadilan
dapat dikurangi. Caranya antara lain dengan menunjuk seorang hakim yang sebelum
perkara disidangkan diberi tugas khusus mengumpulkan gugatan-gugatan, jawaban
gugatan, replik, duplik, memeriksa surat-surat bukti, dan saksi-saksi kalau
diperlukan, dan sebagainya.12
Menurut sistem tersebut perkara-perkara perdata tidak langsung disidangkan,
melainkan diproses terlebih dahulu oleh seorang hakim yang ditunjuk untuk itu.
Setelah segala sesuatunya dianggap rampung, maka hakim ini menyatakan bahwa
pemeriksaan telah selesai, lalu mengirimkan berkasnya kepada ketua majelis yang
akan menyidangkannya.13 Semua pekerjaan itu dilakukan oleh hakim tersebut di
dalam ruang kerjanya dengan dibantu oleh seorang panitera, sudah tentu dengan
batas waktu maksimum yang ditetapkan oleh hakim itu sendiri demi kecepatan
persidangan.
Akan tetapi dalam visi L.O. Siahaan, tampak ada kehawatiran jika sistem di
Perancis diterapkan pada sistem peradilan di Indonesia. Menurutnya, kita harus
berfikir dua kali, oleh karena bahayanya dari sistem tersebut adalah bahwa hakimhakim
dapat menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan jalan
memanipulasi perkara-perkara yang bersangkutan.14
Kebebasan yang diberikan kepada seseorang hakim untuk mengolah perkara
tersebut sebelum sampai ke persidangan, justru dapat menciptakan peluang untuk
mengulur waktu serta mempermainkan para pihak supaya maksudnya tercapai.
Akibat yang akan terjadi malahan sebaliknya, yaitu bukan semakin cepat, melainkan
semakin lambat dan bertele-tele, sehingga kemungkinan akan membosankan dan
menjengkelkan pihak-pihak yang berperkara.
12 Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita.Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1981, halaman 36.
13 Op. Cit., halaman 36.
14 Loc. Cit., halaman 37.
9
Atas dasar pertimbangan baik dan buruknya sistem yang dianut di Perancis
tersebut, maka seyogianya dipertimbangkan lebih matang lagi untuk meniru sistem
tersebut. Yang paling baik bagi keadaan di Indonesia adalah menyerahkan kepada
kebijaksanaan hakim untuk menentukan tentang apa dan bagaimana yang menurut
pertimbangannya dapat mempercepat proses pemeriksaan.
Sebagai contoh umpamanya, dalam hal-hal yang berkaitan dengan penyerahan
jawaban gugatan, replik, duplik, dan penyerahan bukti-bukti surat saja yang dapat
disidangkan dalam ruang kerja para hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan. Sedangkan pemeriksaan saksi-saksi, alat-alat bukti, serta putusannya
sendiri haruslah dalam suatu sidang yang khusus ditentukan untuk itu.
Apabila sistem yang demikian itu yang dianut, maka hakim tidak mudah
untuk dapat melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Hal
itu kiranya dapat menjadi salah satu usaha untuk merealisasikan cita-cita peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, sebagaimana dituangkan dalam pasal 4
ayat (1) Undang-undang Nomor14 tahun 1970.
C. Sistem Peradilan dua Tingkat
Sistem peradilan dua tingkat adalah sistem yang terdiri atas pengadilan
negeri sebagai pengadilan tingkat pertama (original jurisdiction) dan pengadilan
tinggi sebagai pengadilan tingkat banding (appellate jurisdiction).
Pada tingkat pertama, pengadilan negeri menerima surat gugatan,
mendamaikan, menerima jawaban gugatan, replik, duplik, memeriksa alat-alat bukti,
dan menjatuhkan putusan.Pengadilan tingkat pertama ini disebut juga sebagai
pengadilan judex factie karena berurusan dengan fakta-fakta. Sedangkan pada
pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua dan terakhir, perkara diperiksa
secara keseluruhan, baik dari segi peristiwanya maupun segi hukumnya. Pemeriksaan
ulang tersebut dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama. Permohonan pemeriksaan ulang dapat dimintakan baik
oleh pihak yang kalah maupun oleh pihak yang dimenangkan. Akan tetapi biasanya
yang menggunakan upaya hukum banding sebagai upaya pemeriksaan ulangan adalah
pihak yang dikalahkan dipersidangan. Namun bukan sesuatu yang tidak mungkin
10
bahwa pihak yang dimenangkan pun masih menggunakan upaya hukum banding.
Biasanya pihak yang sudah menang akan menggunakan upaya hukum banding,
manakala tuntutannya tidak dikabulkan semua. Upaya banding dapat juga dilakukan
oleh pihak yang sudah dimenangkan apabila putusan pengadilan tingkat pertama
dirasakan sebagai kurang adil.
Sistem banding ini dalam praktiknya memang tidak digunakan untuk semua
jenis dan nilai gugatan perkara perdata. Hal itu didasarkan pada berbagai
pertimbangan, sebab dapat dibayangkan jika semua jenis perkara dan nilai gugatan
dapat diajukan permohonan bandingnya, maka akan terjadi tumpukan perkara
perdata pada pengadilan tinggi. Akibatnya pemeriksaan perkara perdata akan
menjadi lambat. Bahkan tidak mustahil terjadi suatu perkara perdata dengan nilai
gugat relatif kecil akan tetapi memakan waktu bertahun-tahun untuk dapat
memperoleh kekuatan hukum yang pasti, karena perkara tersebut terus dimintakan
uapaya hukum kasasi hingga Mahkamah Agung.
Untuk menghindari hal-hal seperti tersebut di atas, tepat kiranya apa yang
dikemukakan oleh Lintong Siahaan, bahwa menggunakan sistem yang memberikan
wewenang kepada pengadilan tingkat pertama untuk memutus dalam tingkat terakhir
atas perkara-perkara perdata yang nilai gugatnya relatif kecil. Hal itu akan sangat
bermanfaat untuk mempercepat jalannya persidangan. Di samping itu, mengingat
upaya hukum banding itu bertujuan untuk memperoleh perbaikan putusan yang lebih
menguntungkan, maka upaya hukum banding tidak selayaknya disediakan bagi pihak
yang dimenangkan. Adalah seyogianya jika banding hanya diperuntukan bagi pihak
yang yang dikalahkan atau merasa dirugikan.
Berkaitan dengan hal di atas, terdapat putusan Mahkamah Agung1 yang
menyatakan bahwa: “…permohonan banding itu hanya terbatas pada putusan
pengadilan negeri yang merugikan pihak yang naik banding, jadi tidak ditujukan
pada putusan pengadilan negeri yang menguntungkan baginya…”.15
Walaupun terdapat penegasan di dalam putusan Mahkamah Agung tersebut,
akan tetapi kenyataan acapkali berbeda. Tidak jarang justeru upaya hukum banding
15 Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Desember 1975 Nomor 281K/Sip/1973; di dalam
Rangkuman Yurisprudensi II. 1977, halaman 250.
11
sengaja dipergunakan oleh pihak-pihak yang dikalahkan, terutama yang beriktikad
buruk, sebagai senjata untuk memperlambat proses kekalahannya. Lebih jauh lagi
sikap semacam itu sengaja diciptakan agar yang bersangkutan (pihak yang telah
dikalahkan pada tingkat pertama), tetap dapat menikmati benda-benda sengketa
hingga memperoleh keputusan Kasasi dari Mahkamah Agung.
Tidak memberikan kesempatan naik banding terhadap perkara-perkara yang
nilai gugatnya relatif kecil, bukan berarti tidak memberikan keadilan kepada pihak
yang kecil. Namun didasarkan pada pertimbangan risiko dan efisiensi. Artinya risiko
sebagai akibat kesalahan putusan yang mungkin timbul dalam perkara yang nilai
gugatnya relatif kecil, juga akan lebih kecil jika dibandingkan dengan risiko
penguluran waktu jika yang bersangkutan melakukan banding. Demikian pula
halnya dengan efisiensi atau penghematan biaya untuk berperkara pada tingkat
banding. Boleh jadi malah biaya perkara untuk mengajukan banding akan lebih
besar jika dibandingkan dengan besarnya nilai gugat. Itu berarti berperkara dengan
nilai gugat kecil tetapi menggunakan upaya hukum banding, dari segi biaya perkara
sama sekali tidak efisien.
Mahkamah Agung, selain sebagai peradilan kasasi, dalam sistem peradilan
dua tingkat MA juga sebagai peradilan tertinggi negara untuk semua jenis peradilan.
Sebagai peradilan kasasi, tugasnya antara lain membina keseragaman dalam
penerapan hukum. Hal itu berarti menjaga agar semua hukum dan perundangundangan
di seluruh wilayah Indonesia diterapkan secara tepat dan adil. Berkenaan
dengan hal ini R. Subekti mengemukakan antara lain:16
“…Sistem kasasi adalah baik untuk negara kita yang merupakan negara
kesatuan, namun harus kita perhatikan juga bahwa sistem tersebut memerlukan garis
yang panjang untuk mencapai putusan pengadilan yang pasti (kekuatan hukum yang
mutlak…”.
Suatu putusan dikategorkan sebagai telah mempunyai kekuatan hukum yang
pasti apabila terhadap putusan tersebut tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Sifat
putusan demikian dapat saja dimiliki, baik oleh putusan pengadilan negeri maupun
16 R. Subekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung. Bandung:
Alumni, 1978, halaman 124.
12
putusan pengadilan tinggi. Sedangkan setiap putusan Mahkamah Agung telah
memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Apabila para pihak dalam suatu perkara menerima putusan pengadilan negeri
atau pengadilan tinggi, dengan kata lain mereka tidak menggunakan upaya hukum
banding maupun kasasi, berarti putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi
itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Terhadap putusan semacam itu tidak
dapat dilakukan upaya hukum biasa, kecuali upaya hukum luar biasa yaitu
peninjauan kembali (PK).
Tidak digunakannya upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi oleh para
pihak, belum tentu berarti bahwa para pihak telah menerima putusan secara sukarela.
Belum tentu juga karena putusan tersebut telah sesuai dengan rasa keadilan mereka.
Terdapat beberapa kemungkinan dalam kaitan tersebut. Pertama, mungkin
disebabkan mereka tidak mengetahui atau tidak dapat menggunakan upaya-upaya
hukum tersebut. Kedua, para pihak kurang mengerti formalitas beracara perdata
perihal upaya hukum banding maupun kasasi. Hal ini disebabkan untuk mengajukan
banding maupun kasasi pihak-pihak pencari keadilan harus membuat atau
menyertakan memori banding dan/atau memori kasasi. Ketiga, mungkin juga karena
memang nilai gugatnya relatif kecil, sehingga berdasarkan pertimbangan efisiensi
memang sangat tidak efisien bila dibandingkan dengan biaya perkara yang harus
dibayar pihak yang mengajukan banding.
Upaya-upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali,
disediakan antara lain sebagai upaya untuk memperbaiki kekeliruan atau kesalahan
yang mungkin terjadi pada pemeriksaan perkara pada peradilan yang lebih rendah.
Namun seperti telah dikemukakan di atas, kesempatan ini hanya layak diberikan
kepada pihak-pihak yang memang memiliki nilai gugat yang relatif besar. Hal itu
disebabkan perkara yang nilai gugatnya relatif besar, risiko terjadinya kekeliruan
atau kesalahan pemeriksaan pada peradilan yang lebih rendah pun lebih besar.
Maka selayaknya-lah jika perkara-perkara yang nilai gugatnya relatif besar diberi
kesempatan yang lebih terbuka untuk diperiksa ulang pada tingkat banding maupun
kasasi, bahkan hingga peninjauan kembali (PK).
13
III. Peranan Alat Bukti Pengakuan
Dibedakannya antara pengertian hukum perdata materiil dengan hukum
perdata formal (hukum acara perdata) dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa
keduanya memang berbeda secara substansial. Hukum perdata materiil merupakan
kumpulan kaidah hukum yang mengatur atau berisi hak-hak dan kewajibankewajiban
para subjek hukum. Sedangkan hukum acara perdata adalah kumpulan
kaidah hukum yang berisi tentang pengaturan bagaimana cara-cara mempertahankan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban apabila dilanggar subjek hukum lain.
Kebutuhan terhadap hukum acara merupakan tuntutan dari hukum materiil itu
sendiri. Hal itu disebabkan tanpa ada hukum acara tentu saja perselisihan atau
sengketa yang timbul diantara para subjek hukum yang mengadakan hubungan
hukum akan sangat sulit dipulihkan. Oleh karena itu keberadaan hukum acara pada
dasarnya adalah sebagai jaminan atas penegakan hak atau kewenangan subjek hukum
terhadap objek hukum tertentu. Pada akhirnya tujuan dari adanya hukum acara
adalah simultan dengan tujuan hukum secara keseluruhan yakni terciptanya
ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Hukum perdata materiil juga berbeda dengan hukum acara perdata, karena
hukum perdata materiil adalah hukum privat sedangkan hukum acara perdata
adalah hukum publik. Pembedaan ini pun terjadi karena adanya perbedaan
kepentingan yang dilindungi. Hukum perdata materiil berisi kaidah yang mengatur
kepentingan individu atau perorangan (mengandung sifat keperdataan) sedangkan
hukum acara perdata sebagai kaidah yang mengatur tentang bagaimana
mempertahankan hukum materiil jika hukum materiil itu dilanggar, ini menyangkut
kepentingan umum (mengandung sifat publik).
Hukum acara perdata di samping mengandung sifat-sifat sebagai hukum
publik, juga mengandung sifat-sifat keperdataan. Sifat keperdataan itu tampak dalam
hal kaidah-kaidah yang mengatur tentang hak dan wewenang yang dilakukan oleh
para pihak untuk mempertahankan kepentingannya. Sedangkan sifat publiknya
tampak dalam kaidah yang mengatur tentang tata cara hakim sebagai aparatur
14
negara menjalankan tugasnya dan terdapat ketentuan-ketentuan yang harus
dilakukan oleh hakim yang harus ditaati.
Ketentuan-ketentuan yang bersifat publik tersebut tidak boleh dikesampingkan.
Umpamanya saja, kaidah tentang tata cara mengajukan gugatan, batas waktu
mengajukan banding maupun kasasi, tentang kekuatan alat-alat bukti yang
diajukan para pihak di depan sidang pengadilan, dan lain-lain.
Menyangkut masalah kekuatan pembuktian, mengingat kekuatan pembuktian
dari alat-alat bukti merupakan sifat publik dari hukum acara perdata, maka hakim
diharuskan percaya kepada kekuatan alat bukti yang diajukan para pihak. Dengan
demikian hakim perdata tidak boleh memeriksa secara mendalam tentang latar
belakang pernyataan para pihak di persidangan. Tentang apakah pengakuan yang
dikemukakan itu palsu atau tidak, demikian pula apakah sumpah yang diucapkan itu
palsu atau tidak, itu semua merupakan tugas dan wewenang hakim pidana.
A. Faktor-faktor yang Mendukung Timbulnya Pengakuan
Hakim sebagai organ pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.17 Dalam
menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan kepadanya, hakim memerlukan
pembuktian terhadap peristiwa yang diajukan para pihak.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang
cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.18
Menurut sifatnya alat bukti dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, bukti yang berasal dari diri para pihak (pengakuan dan sumpah). Kedua,
alat-alat bukti yang berasal dari luar diri para pihak (surat-surat, persangkaan hakim,
dan keterangan para saksi).
17 Pasal 14 ayat (1) U.U. No. 14 Tahun 1970. Lihat pula penjelasan pasal tersebut.
18 R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara… Op. Cit., halaman 107.
15
Alat bukti yang berasal dari diri para pihak dan diberikan berdasarkan atas
kejujuran maka dapat dianggap terbukti sebagai suatu peristiwa tertentu.
Sedangkan alat bukti yang berasal dari luar para pihak kadang-kadang masih perlu
didukung oleh alat-alat bukti lain, terutama apabila peristiwanya tidak dapat dianggap
terbukti. Umpamanya saja, hanya terdapat satu orang saksi. Padahal diketahui dari
adagium bahwa “satu saksi itu bukan saksi” (Unus testis nullus testis). Keterangan
seorang saksi tidak dianggap sebagai suatu kesaksian yang kuat di dalam hukum.
Hal itu terutama untuk menghindari adanya kelemahan-kelemahan yang terkandung
di dalam kesaksian itu. Kelemahan yang dimaksud, baik yang berasal dari iktikad
buruk orang yang memberi kesaksian itu maupun kelamahan yang tidak disengaja.
Sebagai contoh umpamanya, diajukan saksi seseorang yang kurang ingatannya.
Atau dapat juga saksi yang keterangannya diperoleh dari orang lain (kesaksian de
auditu). Padahal kesaksian de auditu tidak dapat dianggap sebagai alat bukti
kesaksian.
Demikian pula halnya dengan alat bukti surat yang kemungkinannya masih
harus dibebani dengan alat bukti lain, jika peristiwanya masih belum dianggap
terbukti. Ukuran perbedaan kekuatan sebagai alat bukti adalah karena besar atau
kecilnya kemungkinan mendekati kepada kebenaran. Akta otentik umpamanya, lebih
besar kemungkinan mendekati kepada kebenaran, karena telah dikuatkan oleh
pejabat yang berwenang. Oleh karena itu barangsiapa yang mengajukan akta otentik
sebagai alat bukti di persidangan, maka akta otentik tersebut mempunyai kekuatan
bukti yang sempurna. Sebagai kon sekuensinya, barangsiapa yang membantah
keabsahan dari akta otentik itu harus membuktikan bahwa akta tersebut tidak benar.
Sebaliknya, menyangkut akta di bawah tangan, jika akta di bawah tangan dibantah
kebenarannya, maka barangsiapa yang mengajukan akta di bawah tangan tersebut
sebagai alat bukti, maka yang bersangkutan harus mebuktikan kebenarannya.
Kemudian menyangkut masalah bukti persangkaan hakim, untuk alat bukti
ini masih memerlukan adanya bukti-bukti lain. Ini disebabkan persangkaan hakim
itu timbul berdasarkan adanya bukti atau dalil-dalil lain yang diajukan para pihak.
16
a) Faktor Keinsyafan Batin Manusia
“…Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis)
merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan
oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik
seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang
diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim
tidak perlu lagi…”.19
Dari batasan di atas dapat difahami bahwa pengakuan merupakan
pernyataan dari salah satu pihak di persidangan, yang timbul atas dorongan naluriah
manusia. Naluri manusia-lah yang mengarahkan untuk mewujudkan cita-cita
kebenaran. Oleh karena itu maka pengakuan yang jujur merupakan pernyataan dari
salah satu pihak untuk mengemukakan yang benar, walaupun merugikan dirinya
sendiri.
O. Notohamidjojo,20 dalam bukunya mengemukakan antara lain bahwa:
“…keinsyafan batin atau nurani manusia adalah sebagai alat pengontrol dalam diri
manusia untuk memihak kepada yang baik dalam menghadapi suatu keadaan antara
yang baik dan yang buruk, antara salah dan benar…”.
Pembahasan tentang pengakuan pada hakikatnya merupakan suatu tinjauan
tentang kepribadian manusia itu sendiri. Hal itu karena pengakuan timbul
berdasarkan dorongan keinsyafan batin manusia. Pengakuan itu berarti membenarkan
tentang suatu hal atau kejadian. Oleh karena itu maka pengakuan yang patut
dihargai adalah pengakuan yang jujur atau yang benar-benar timbul dari keinsyafan
batin para pihak yang berperkara. Pengakuan yang timbul karena keinsyafan batin
ini tidak diragukan lagi bahwa akan selaras dengan kebenaran, atau telah sesuai
dengan kenyataan yang sesungguhnya telah terjadi.
19 R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara… Op. Cit., halaman 107.
20 O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Beberapa Bab dalam Filsafat Hukum.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975, halaman 21.
17
b) Faktor Pemikiran yang Logis
Untuk menentukan kebenaran terhadap suatu kejadian atau peristiwa tertentu
diperlukan akal, sementara akal itu dimiliki oleh setiap orang. Akal itulah yang
menjadi hakim dalam diri seseorang yang senantiasa memberikan pertimbangan
dalam menjatuhkan suatu keputusan atas setiap kejadian.
Faktor pikiran logis ini merupakan pendukung bagi para pihak untuk
memberikan pengakuan yang jujur, sebab akal yang ada padanya dapat menentukan
pilihannya, untuk melakukan yang sesuai dengan kebenaran sebagai yang
diharapkan. Untuk dapat menentukan pilihannya itu maka ia berpedoman kepada
kaidah-kaidah tentang apa yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Soedjono Dirdjosisworo,21 mengemukakan bahwa masalah kepatuhan hukum
itu menyangkut kemampuan individu dalam menghayati aturan hukum yang
dibentuk. Menghayati benar atau tidak kaidah hukum yang dihadapinya akan
menetapkan pilihan sikap untuk patuh atau menyeleweng dari patokan kaidah yang
ada. Kesadaran seseorang untuk melakukan perilaku yang sesuai dengan hukum,
berkaitan dengan penilaian yang diberikan untuk melakukan perilaku tersebut.
Penilaian tersebut timbul oleh karena manusia di dalam menentukan kehendaknya
sangat ditentukan oleh keserasian antara pikiran dengan perasaannya.
B. Bentuk-bentuk Pengakuan
Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa pada permulaan sidang, hakim
haraus senantiasa berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
Apabila perdamaian itu berhasil, maka hakim akan membuat akta perdamaian,
sehingga sengketa itu berakhir dengan dibuatnya akta perdamaian tersebut. Akan
tetapi apabila para pihak tidak berhasil didamaikan, maka hakim akan
mempersilakan penggugat untuk membacakan gugatannya. Setelah itu giliran
21 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar tentang Psikologi Hukum. Bandung: Alumni, 1983, halaman
75.
18
tergugat untuk mengajukan jawabannya. Jawaban tergugat dapat diajukan secara
lisan atau tertulis. Jawaban juga dapata berupa referte, bantahan, dan pengakuan.
Referte adalah jawaban dari pihak tergugat yang berupa menyerahkan
seluruhnya kepada kebijaksanaan hakim. Tergugat tidak membantah dan tidak pula
membenarkan gugatan.22 Tergugat memohon keadilan kepada hakim, sehingga apa
yang harus dilakukan selama persidangan itu diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
Referte ini bukan pengakuan dan bukan pula bantahan.
Sedangkan bantahan (verweer) dapat berupa tangkisan (eksepsi) atau
sangkalan. Tangkisan belum menyangkut pokok perkara, sedangkan sangkalan
telah berhubungan dengan pokok perkara (verweer ten principale). Di samping
referte dan sangkalan, jawaban tergugat juga dapat berupa sepenuhnya pengakuan
(pengakuan murni).
Dalam praktik banyak terjadi penggabungan antara pengakuan dan
sangkalan. Akibatnya terjadi pengakuan yang tidak bulat. Akan tetapi pada dasarnya
pengakuan itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal itu karena menyangkut pembuktian,
sebab apabila sudah ada pengakuan tidak perlu lagi pembuktian. Hanya hal-hal yang
disangkal yang memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Disebabkan karena adanya pengakuan yang tidak bulat, yurisprudensi dan
ilmu pengetahuan membedakan pengakuan menjadi tiga jenis pengakuan. Pertama,
pengakuan murni; Kedua, pengakuan dengan kualifikasi; dan Ketiga, pengakuan
dengan klausula.23 Yang dimaksud dengan kualifikasi bukan semata-mata
sangkalan, tetapi hendak memberikan kualifikasi terhadap pengakuan. Demikian
juga pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dengan tambahan yang bersifat
membebaskan.
22 R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara…Op.cit., halaman 92.
23 R.M. Sudikno Mertokusumo, Loc. cit., halaman 150.
19
IV. Macam-macam Alat Bukti Pengakuan
1. Pengakuan Murni (aveu pur et simple)
Pengakuan murni adalah pengakuan yang sesuai sepenuhnya dengan posita
pihak lawan.24 Penggugat menyatakan sesuatu peristiwa pada pihak tergugat,
kemudian tergugat mengakui atau membenarkan seluruh gugatan penggugat
tersebut, sehingga dengan pengakuan saja hakim menyatakan terbukti apa yang
dikemukakan oleh penggugat maka gugatan penggugat dikabulkan.
Pengakuan dapat berupa ucapan atau isyarat bagi orang yang bisu.
Seseorang yang bisu dapat mengemukakan melalui perantara. Bahkan pengakuan
juga dapat dilakukan dengan tulisan. Oleh karena itu pengakuan secara tulisan ini
dapat merupakan alat bukti pengakuan sekaligus alat bukti surat. Hakikat dari
pengakuan secara tulisan ini memiliki dua fungsi sekaligus. Dari segi substansinya
atau materinya termasuk kategori fungsi sebagai pengakuan, sedangkan apabila
dilihat bentuknya berfungsi sebagai alat bukti surat.
Kedua fungsi dari pengakuan secara tulisan itu akan mempunyai kekuatan
sebagai alat bukti apabila tidak dibantah oleh pihak lawan. Akan tetapi apabila
ternyata hal itu dibantah oleh pihak lawan, maka pihak yang memberikan pengakuan
itu harus membuktikan kebenaran dari pengakuan tersebut. Jika ternyata pihak yang
mengajukan pengakuan tulisan itu tidak dapat membuktikan kebenarannya, maka
pengakuan tulisan itu tidak mempunyai kekuatan alat bukti, baik sebagai
pengakuan maupun sebagai bukti surat.
Apabila pengakuan secara tulisan yang diajukan di muka sidang itu tidak
dibantah oleh pihak lawan, maka pengakuan tersebut dapat diterima sebagai alat
bukti yang sempurna. Sedangkan pengakuan yang ditulis dalam surat jawaban
tergugat, kekuatan pembuktiannya disamakan sebagai pengakuan secara lisan di
depan sidang.25
24 Ibid., halaman 150.
25 Retnowulan Sutantio, Op. Cit., halaman 81.
20
Pengakuan secara tertulis tersebut merupakan akta di bawah tangan,
kekuatan pembuktiannya bersifat formal dan bersifat materiil. Kekuatan pembuktian
formal menerangkan bahwa terdapat sesuatu yang diterangkan oleh penandatangan
tersebut. Dengan kata lain, surat itu berisikan keterangan dari orang yang
menandatanganinya.
Sedangkan kekuatan pembuktian materiil, memberikan kepastian tentang isi
yang diterangkan di dalam akta yang bersangkutan. Berkenaan dengan hal itu, Pitlo,
dalam bukunya mengemukakan bahwa yang penting adalah kekuatan pembuktian
materiil, karena kekuatan pembuktian materiil itu menilai “apakah memang benar
sesuatu yang diterangkan di dalam akta tersebut, atau sejauhmana isi keterangan
tersebut sesuai dengan kebenaran”.26
Apabila tergugat di dalam jawabannya tidak menyangkal kebenaran
gugatan penggugat atau bagian-bagian tertentu dari gugatan penggugat tidak
dijawab oleh tergugat, maka gugatan penggugat dianggap diakui oleh tergugat secara
diam-diam.27
Pada dasarnya jika tergugat telah mengakui gugatan penggugat seluruhnya,
maka hakim harus menganggap peristiwa yang diakui itu terbukti. Akan tetapi hal
itu tidak berlaku bagi setiap sengketa. Dalam beberapa perkara, umpamanya saja,
dalam gugatan mengenai hak milik atau gugatana perceraian, di samping pengakuan
tergugat masih diperlukan bukti-bukti lain. Hal itu terutama dimaksudkan untuk
menghindari timbulnya pengakuan palsu di dalam gugatan mengenai hak milik.
Sedangkan dalam perkara perceraian, dimaksudkan untuk mempersulit
terjadinya perceraian, sehingga diharapkan tujuan Undang-undang perkawinan dapat
tercapai. Oleh karena itu di dalam kedua perkara tersebut hanya dengan bukti
pengakuan tidak dapat dianggap telah terbukti peristiwa yang bersangkutan.
Apabila suatu perkara tidak memiliki bukti-bukti lain kecuali pengakuan
tergugat dan tidak disertai sangkalan, maka pengadilan menerima pengakuan itu
26 A.Pitlo, Hukum Pembuktian dan Daluarsa menurut BW Belanda. 1978, halaman 64.
27 Periksa, Putusan PN Denpasar No. 159/Pdt./1966 tanggal 30 Januari 1967, antara lain dikatakan
bahwa: “gugatan penggugat seluruhnya dianggap diakui secara diam-diam kebenarannya apabila
hal-hal lain selebihnya dalam surat gugatan penggugat tidak dijawab oleh tergugat.”
21
sebagai alat bukti sempurna.28 Terhadap masalah ini Pengadilan Negeri Surabaya
memberikan putusan yang justeru lebih luas interpretasinya. Dalam putusan
tentang masalah wanprestasi terhadap utang, isinya antara lain: bahwa “pengakuan
merupakan alat bukti ang sempurna, bahkan walaupun terdapat bukti lain tidak
perlu diperhatikan karena telah mempunyai kekuatan pembuktian pembuktian yang
sempurna.29
2. Pengakuan dengan Kualifikasi (gequalificeerde bekentenis)
Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang dilakukan oleh
tergugat yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.30 Di dalam
pengakuan dengan kualifikasi ini tergugat menambahkan sesuatu pada pokok
gugatan, sehingga sebenarnya tergugat tidak mengakui apa pun melainkan
memberikan gambaran menurut pandangannya sendiri.
Berdasarkan hal di atas, pengakuan dengan kualifikasi sebenarnya adalah
pengakuan dan sangkalan. Di satu pihak tergugat mengakui sebagian dari gugatan
penggugat, sedangkan di lain pihak tergugat juga menyangkal sebagian lainnya dari
gugatan. Terhadap pengakuan dengan kualifikasi ini, undang-undang melarang
untuk memisah-misahkan pengakuan tersebut. Pengakuan semacam itu harus
diterima secara bulat, dalam arti tidak boleh hanya pengakuan yang diterima
sebagai terbukti sedangkan sangkalannya tidak diterima.
3. Pengakuan dengan Klausula (geclausuleerde bekentenis)
Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dari tergugat tentang hal
pokok yang diajukan penggugat, akan tetapi disertai dengan keterangan tambahan
yang bersifat membebaskan. Pengakuan ini pun pada hakikatnya adalah pengakuan
dengan sangkalan. Akan tetapi bedanya adalah bahwa dalam pengakuan dengan
28 Periksa, Putusan PN Singaraja No. 133/Pdt./1960, tanggal 21 Mei 1970. Putusan PN Klungkung No.
540/Pdt./1963, tanggal 19 Oktober 1963.
29 Lihat Putusan PN Surabaya No. 09/1980/Pdt-G, tanggal 1 September 1980.
30 R.M. Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 150
22
klausula ini terdapat keterangan tambahan yang sifatnya memebebaskan sebagai
dasar penolakan gugatan penggugat.
Sebagai contoh, pada awalnya tergugat mengakui gugatan penggugat, namun
kemudian tergugat mengemukakan alasan untuk melepaskan diri dari gugatan
penggugat untuk tidak memenuhinya. Hal itu biasanya dilakukan oleh tergugat
karena misalnya dia telah melakukan kewajibannya berupa membayar utangnya,
bahkan dia (tergugat) kini mempunyai tagihan dari penggugat.
Seperti halnya pengakuan dengan kualifikasi, maka pengakuan dengan
klausula pun harus diterima secara bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari
keterangan tambahannya (onsplitsbare aveu). Mengenai hal ini diatur di dalam pasal
176 HIR (Ps. 313 Rbg) dan pasal 1925 BW, sebagai berikut:
“Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya,dan hakim tidak berwenang
untuk menerima sebagiannya saja dan menolak bagian yang lain, sehingga
merugikan orang yang mengakui itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan jika
orang yang berhutang mempunyai maksud untuk membebaskan dirinya,
menyebutkan perkara yang terbukti itu tidak benar”.
Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam hal terdapat pengakuan tergugat yang
disertai keterangan tambahan, maka masih diperlukan sesuatu keterangan berupa
pembuktian yang harus dibebankan kepada penggugat. Dalam pengakuan dengan
kualifikasi dan pengakuan dengan dengan klausula ini, apabila penggugat dapat
membuktikan bahwa keterangan tambahan dari tergugat itu sesungguhnya tidak
benar, maka pengakuan itu dapat dipisah-pisahkan. Pertimbangan pembentuk
Undang-undang dalam menentukan bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan
terutama sekali disebabkan sukar pembebanan pembuktiannya. Untuk bagian yang
berisi pengakuan tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Sedangkan bagian tambahan
dari pengakuan masih dibebani pembuktian, yakni kepada pihak yang memberi
pengakuan. Apabila ternyata pihak yang memberi pengakuan tidak sanggup
membuktikannya, konsekuensinya dia akan dikalahkan. Akibatnya maka tuntutan
penggugat akan dianggap terbukti dan berarti pula merugikan pihak yang
memberikan pengakuan.
Untuk mencegah kemeungkinan hakim akan memisahkan pengakuan yang
tidak dapat dipisah-pisahkan, pembentuk undang-undang secara tidak langsung telah
23
mengisyaratkan bahwa tidak layak apabila tergugat yang memberi pengakuan masih
harus dibebani dengan pembuktian. Oleh karena itu ketentuan pasal 173 HIR
merupakan akekecualian dari pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg dan ps. 1865 BW).
Dengan demikian terhadap pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan,
kewajiban pembuktian dibebankan kepada penggugat.31
Pada hakikatnya pengakuan tergugat dengan keterangan tambahan adalah
sebagai suatu penyangkalan. Akibatnya penggugat diwajibkan untuk membuktikan
kebenaran gugatannya. Pada umumnya penggugat memang dapat membuktikan
kebenaran gugatannya. Akan tetapi apabila ternyata penggugat kebetulan tidak dapat
membuktikan kebenaran gugatannya, maka ketentuan tersebut di atas sungguh
merupakan aturan yang merugikan penggugat, karena pada dasarnya gugatan
(sebagian dari gugatan) penggugat telah diakui oleh tergugat. Dalam hal-hal
menghadapi pengakuan tergugat yang tidak dapat dipisah-pisahkan tersebut,
penggugat dapat memilih dua cara, yaitu: Pertama, dia menolak seluruh pengakuan
tergugat dan melakukan pembuktian sendiri; Kedua, membuktikan bahwa keterangan
tambahan tergugat itu tidak benar. Apabila hal tersebut terbukti, maka penggugat
dapat meminta kepada hakim untuk memisahkan pengakuan tersebut sehingga
menjadi pengakuan murni yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna serta
mengikat.
V. P e n u t u p
Sebagai penutup dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Sebagai salah satu alat bukti di dalam hukum acara perdata,
pengakuan tetap perlu dipertahankan. Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
pengakuan dapat menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan
hak atau hukumnya antara para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi untuk
menghindari pengakuan palsu dari salah satu pihak, maka penggugat masih perlu
dibebani dengan beban pembuktian, kendati sudah ada pengakuan dari pihak lawan.
31 Putusan MA Nomor 29K/Sip/1950, Tanggal 24 Mei 1951H. 1951 No. 1, halaman 25.
24
Kedua, Perkembangan yurisprudensi menunjukkan antara lain bahwa
pengakuan sebagai alat bukti tidak selalu mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna. Oleh karena itu untuk menilai kekuatan pembuktiannya diserahkan
kepada kebijaksanaan hakim. Ini berarti peranan pengakuan sebagai alat bukti
dalam hukum acara perdata sangat tergantung kepada kasusnya masing-masing.
Ketiga, Ketentuan tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan
(onsplitsbare aveu) tetap perlu dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan
kepada hakim untuk memberi kekuatan pembuktian ini sebagai alat bukti yang
sempurna atau tidak, tergantung pada keadaan yang bersangkutan. Hal ini perlu
diperhatikan tidak lain untuk melindungi kedua belah pihak secara proporsional.
Keempat, Dalam memeriksa perkara perdata, hakim seyogianya
mengutamakan kepentingan para pihak, daripada sifat formalnya hukum acara
perdata. Artinya hakim perlu menyelaraskan kaidah-kaidah hukum acara perdata
dengan perkembangan masyarakat yang menghendakinya.
Kelima, Dalam hukum acara perdata, hakim juga seyogianya tidak hanya
mencari kebenaran formal semata-mata, melainkan harus senantiasa berusaha
mencari dan menemukan kebenaran material.
Keenam, Mempercepat proses pemeriksaan dalam pembuktian adalah tugas
hakim dalam rangka mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan.***
25
DAFTAR PUSTAKA
Chidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Armico,
1983.
Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat dari
Peradilan Kita. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Bandung:
Alumni, 1983.
O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Keamnusiaan, Beberapa Bab dalam
Filsafat Hukum. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975.
Pitlo, Hukum Pembuktian dan Daluarsa Menurut BW Belanda. 1978.
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek.
Bandung: Alumni, 1980.
Subekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkama Agung.
Bandung: Alumni, 1978.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty,
1985.
Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat.
Yogyakarta: Liberty, 1981.
Sudjono Dirdjosisworo, Pengantar tentang Psikologi Hukum. Bandung: Alumni,
1983.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung:
Sumurbandung, 1978.

TUGAS JURUSITA PENGADILAN NEGERI DALAM PROSES PERKARA PERDATA

Oleh Mulijanto
PENDAHULUAN
Jurusita merupakan bagian dari pelaksana tugas Pengadilan Negeri dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata mempunyai peran yang tidak kalah penting dengan pejabat lain di Pengadilan, karena keberadaannya diperlukan sejak belum dimulainya persidangan hingga pelaksanaan putusan Pengadilan.
Sebagai pejabat peradilan, keberadaannya diatur di dalam undang-undang (Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan TUN) sedangkan bekerjanya diatur dalam hukum acara (RBg /HIR). Tidak mudah menemukan Literatur, khususnya yang membahas tentang kejurusitaan, tidak banyak mendapat perhatian dari para sarjana hukum kita dibandingkan dengan bidang tugas hukum lainnya di Pengadilan, disamping itu bidang kejurusitaan ini kurang diajarkan secara mendalam dalam pendidikan ilmu hukum. Padahal, bidang tugas kejurusitaan merupakan hal yang sangat penting dan sangat menentukan untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan suatu perkara. Suatu perkara tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik dan benar menurut hukum, tanpa peran dan bantuan tugas di bidang kejurusitaan. Hakim tidak mungkin dapat menyelesaikan perkara tanpa dukungan jurusita/jurusita pengganti, sebaliknya jurusita/jurusita pengganti juga tidak mungkin bertugas tanpa perintah Hakim. Keduanya dalam melaksanakan tugasnya tidak mungkin lepas sendiri-sendiri, kedua-duanya saling memerlukan satu sama lain.
Pembangunan hukum tidak hanya lahir dari pembentuk Undang-Undang, namum praktik peradilan tidak kecil peranannya untuk pembangunan hukum. Bahkan, pembaharuan hukum kebanyakan lahir dan diciptakan oleh praktik
peradilan. Oleh karena itulah pemahaman dan penguasaan bidang teknis peradilan sangatlah penting dikuasai oleh para pejabat peradilan, termasuk jurusita/jurusita pengganti. Bagi para pejabat peradilan, penguasaan hukum acara dan bidang teknis peradilan merupakan pegangan pokok atau aturan permainan sehari-hari untuk memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara. Hukum acara dan teknis peradilan tidak hanya penting didalam praktik peradilan saja, tetapi mempunyai pengaruh yang besar dalam praktik diluar pengadilan.
Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan kepustakaan (literatur) para pejabat peradilan, khususnya para jurusita/jurusita pengganti dalam menjalankan tugas, sehingga melalui makalah ini diharapkan mereka mendapat gambaran yang singkat namum mendalam tentang bidang tugas kejurusitaan yang mesti dilaksanakannya. Disamping itu makalah ini juga dimaksudkan sebagai bahan untuk diskusi dan tanya jawab bagi para peserta Acara Sosialisasi Hukum Untuk Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri se Kalimantan Selatan, yang bertema “Meningkatkan Pelayanan Pengadilan Dengan Penerapan Madiasi an Menyamakan Persepsi alam Pelaksanaan Tugas Kejurusitaan” agar dikemudian hari lebih memahami landasan teoritis dan segi-segi praktis praktik kejurusitaan. Oleh karena itulah, dalam makalah ini bukan hanya sekedar menguraikan tentang apa tugas seorang jurusita/jurusita pengganti serta dasar pengaturannya atau pasal-pasalnya, tetapi lebih menekankan pada pokok permasalahan dan penemuan hukum tentang bagaimanakah praktik kejurusitaan mesti dilaksanakan secara baik dan benar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada.
Menyadari bahwa ilmu hukum memerlukan bahan-bahan dari praktik untuk disistimatisir dan dikaji, sehingga memungkinkan lahirnya teori-teori baru.
Sebaliknya praktik peradilan juga memerlukan dukungan ilmiah yang obyektif. Oleh karena itulah berbekal pengalaman praktik kejurusitaan di lapangan oleh para peserta, yang pasti ada yang unik dan menarik, maka makalah ini diharapkan dapat memicu lahirnya pemikiran teoritis yang lahir dari pengalaman praktis para peserta pelatihan, sehingga nantinya melalui makalah dan acara pelatihan ini diharapkan dapat dihasilkan panduan bidang tugas kejurusitaan yang ringkas, jelas dan terang yang dapat digunakan sebagai pegangan bagi kita selaku pejabat peradilan.
JURUSITA/JURUSITA PENGGANTI SEBAGAI PEJABAT PERADILAN;
Selain Hakim dan Panitera, pada setiap pengadilan ditetapkan adanya jurusita (deurwaander) dan jurusita pengganti (Pasal 40 sampai dengan Pasal 43 UU No. 8 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum). Jurusita Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan oleh Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan jurusita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan (Pasal 41 UU No. 8 tahun 2004).
Adapun sebagai syarat untuk diangkat menjadi jurusita, sorang calon antara lain harus memenuhi syarat berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai jurusita pengganti, sedangkan untuk dapat diangkat menjadi jurusita pengganti, seorang calon harus berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Negeri (Pasal 40 UU No. 8 tahun 2004). Dalam menjalankan tugasnya kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang jurusita/jurusita pengganti tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang didalamnya ia sendiri berkepentingan. Disamping itu, ia juga tidak boleh
merangkap menjadi advokad. Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh jurusita akan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung (Pasal 43 UU No. 8 tahun 2004).
Sebelum memangku jabatannya, jurusita atau jurusita pengganti wajib diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan (Pasal 42 UU No. 8 tahun 2004). Dengan demikian jurusita/jurusita pengganti adalah pegawai negeri yang diangkat berdasarkan peraturan perundangan-undangan untuk melakukan tugas kejurusitaan di Pengadilan (Negeri) dimana ia bertugas.
Memperhatikan syarat-syarat pengangkatan dan pelaksanaan tugas seorang jurusita/jurusita pengganti yang diatur secara khusus oleh undang-undang, sesungguhnya dapat menyadarkan kita betapa pentingnya kedudukan dan tugas seorang jurusita/jurusita pengganti di pengadilan. Oleh karena itulah pandangan yang meremehkan tugas seorang jurusita/jurusita pengganti tidaklah dapat diterima, mengingat tugas seorang jurusita/jurusita pengganti dapat menentukan berlangsung atau tidaknya suatu pemeriksaan di persidangan.
Kedudukan dan syarat-syarat pengangkatan seorang jurusita/jurusita pengganti diatur secara khusus dalam Undang-undang tentang Peradilan Umum, karena tugas-tugas yang dilakukan oleh seorang jurusita/jurusita pengganti tersebut, termasuk tugas yang sangat penting. Sebagaimana diketahui, tugas Pengadilan itu meliputi :
1. Tugas peradilan teknis justisial (Iurisdictio Contentiosa) ;
2. Tugas non justisial (Iurisdictio Voluntaria) ;
3. Tugas lain menurut Undang-Undang ;
4. Administerasi peradilan (admistration of justice),yang meliputi :
a) Administerasi perkara
b) Administerasi keuangan perkara
5. Administerasi Umum 1
Tugas seorang jurusita/jurusita pengganti merupakan tugas teknis justisial. Tugas pengadilan yang bersifat teknis justisial pada dasarnya dimulai sejak pendaftaran perkara, management (pengelolan) biaya perkara, penyelesaian administerasi perkara, pengelolaan administerasi perkara, pengriman atau penerimaan berkas ke Pengadilan Tinggi dan atau Mahkamah Agung (manakala ada upaya hukum banding dan atau kasasi), serta pelaksanaan putusan perkara perdata.
Sedangkan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh seorang juru sita/jurusita penganti terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain dalam Pasal 65 UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang sudah diubah dengan UU No. 8 tahun 2004 (bandingkan juga dengan ketentuan Pasal 716 Rbg). Berdasarkan ketentuan tersebut, tugas jurusita/jurusita pengganti antara lain meliputi :
– Melaksanakan pemanggilan atas perintah Ketua Pengadilan atau atas perintah Hakim ;
– Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan pemberitahuan putusan Pengadilan menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang ;
– Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri/Hakim;
– Membuat berita acara penyitaan yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
1 Soebyakto, Tentang Kejurusitaan Dalam Praktik Peradilan Perdata, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 32. Mahkamah Agung RI dalam berbagai petunjuknya pada pokoknya telah membagi tugas di Pengadilan meliputi administerasi perkara dan administerasi umum. Tugas administerasi perkara merupakan tugas teknis justisial yang dilakukan oleh Hakim, Panitera (Panitera Pengganti) dan jurusita (jurusita pengganti). Sedangkan tugas administerasi umum dilakukan oleh pejabat kesekretariatan pengadilan.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :KMA/055/SK/X/1996 tentang Tugas dan Tanggung Jawab serta Tata Kerja Jurusita pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, dalam Pasal 5 diatur jurusita mempunyai tugas untuk melakukan pemanggilan, melakukan tugas pelaksanaan putusan, membuat berita acara pelaksanaan putusan yang salinan resminya disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, melakukan penawaran pembayaran uang, serta membuat berita acara penawaran pembayaran uang dengan menyebutkan jumlah dan uraian jenis mata uang yang ditawarkan.
Adapun wilayah kerja jurusita/jurusita pengganti adalah di daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Jadi beda dengan tugas seorang Panitera atau Panitera Pengganti yang melaksanakan tugasnya di gedung Pengadilan, seorang jurusita/jurusita pengganti justru melaksanakan tugasnya di luar gedung Pengadilan.
Tugas dan tanggung jawab serta pola tata kerja seorang jurusita/jurusita pengganti tentunya akan saling berkaitan serta tidak dapat dipisahkan dengan pejabat peradilan yang lain, terutama Hakim. Haruslah disadari “tidak ada pembentukan organisasi tanpa kaitan organ, struktur kerja, proses-cara kerja, demikian pula tidak mungkin untuk menyusun suatu tugas dan tanggung jawab serta tata kerja tanpa menyusun organisasinya”.2 Adalah suatu hal yang menggembirakan, kalau saat ini berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, susunan organisasi peradilan telah berpuncak pada Mahkamah Agung RI., sehingga Mahkamah Agung dapat menentukan struktur organisasi, pembinaan dan pengawasan pejabat peradilan, termasuk jurusita. Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung RI SK
2 Subagyo, Peranan Organisasi Dan Managemen Dalam Badan Peradilan, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi Pejabat Kepaniteraan, Jakarta, 7 Agustus 2001, hal. 7
004/SK/11/92 jurusita/jurusita pengganti adalah bagian dari kepaniteraan pengadilan. Kepaniteraan adalah unsur pembantu pimpinan dan bertanggung jawab kepada ketua, bertugas memberi pelayanan teknis dibidang administrasi perkara dan administrasi lain berdasar undang-undang dan berfungsi antara lain dalam kegiatan pelayanan administrasi perkara dan persidangan serta pelaksanaan putusan perkara perdata dimana jurusita tersebut terlibat didalamnya.
Sebagai pejabat peradilan tanggung jawab jurusita/jurusita pengganti dalam konteks kelembagaan adalah kepada Ketua Pengadilan, sedangkan secara administratif tanggung jawab kepada Panitera. Hal ini diatur dalam Pasal 8 Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/055/SK /X/1996.
Memperhatikan tugas dan tanggung jawab jurusita yang demikian besar, maka dalam makalah ini pertama-tama akan diuraikan bagaimanakah sesungguhnya peranan dan tugas seorang jurusita/jurusita pengganti tersebut harus dijalankan dengan baik dan benar menurut hukum. Untuk memudahkan pemahaman, maka tugas jurusita/jurusita pengganti tersebut akan diuraikan mulai tahap sebelum, pada saat dan sesudah pemeriksaan perkara di persidangan, dengan berbagai kendala atau hambatan serta upaya penyelesaiannya, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada atau kebiasaan praktik peradilan yang lahir dari sejumlah doktrin dan yurisprudensi.
TUGAS POKOK DAN FUNGSI JURUSITA/JURUSITA PENGGANTI;
A. Tugas Pemanggilan Dan Pemberitahuan.
Dalam persidangan perkara perdata, dimulai dengan pemanggilan para pihak yang dapat dirinci dalam 3 (tiga) bagian :
a) Pemanggilan yang dijalankan sebelum pemeriksaan (persidangan) di mulai.
b) Pemanggilan yang harus dijalankan setelah pemeriksaan (sidang) berjalan.
c) Pemanggilan yang harus dijalankan setelah pemeriksaan selesai dengan acara putusan Hakim terakhir.3
Ad. a) Pemanggilan Sebelum Pemeriksaan Dimulai
Pasal 145 RBg : (pasal 121 HIR.)
(1) Panggilan baru dapat mulai di jalankan apabila sudah ada penetapan oleh Ketua Pengadilan Negeri (Hakim) tentang hari dan jam pemeriksaan (persidangan), dalam penetapan mana sekaligus diperintahkan kepada pegawai yang ditunjuk untuk memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada hari dan jam yang telah ditentukan. Biasanya Berita Acara panggilan ini dibuat menjadi satu meskipun mungkin hari pemanggilannya tidak sama, dalam mana harus dijelaskan berbicara dengan siapa dan jika mungkin juga harus memuat tanda tangan masing-masing yang dipanggil (dengan siapa ia berbicara), tapi panggilannya terpisah juga diperbolehkan.
Pasal 145 ayat (2) RBg .(pasal 121 (2) HIR:)
(2) Terhadap tergugat pada waktu memanggil menurut pasal 121 ayat (2) harus diserahkan satu turunan resmi dan surat gugatan asli, tindakan mana harus dinyatakan dalam surat panggilan terhadap tergugat. Apabila ada lebih dari satu tergugat, jika perlu mereka sendiri-sendiri harus diberi surat turunan surat gugat resmi.
3 Soebyakto, Op.Cit., hal 33. Menurut Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi Praktik Kejurusitaan Pengadilan, PT. Tatanusa, Jakarta, 2004, hal 11 yang dimaksud pemanggilan harus dilakukan dengan patut, artinya :
– Bahwa yang bersangkutan telah dipanggil dengan cara pemanggilan menurut undang-undang. Yaitu pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan membuat berita acara pemanggilan pihak-pihak.
– Pemanggilan dilakukan terhadap yang bersangkutan atau wakilnya yang sah.
– Pemanggilan tersebut dilakukan dengan memperhatikan tenggang waktu (kecuali dalam hal yang sangat perlu tak boleh kurang dari 3 hari kerja lihat Pasal 122 atau 146 Rbg).
Pemanggilan secara patut juga dirumuskan dalam Pasal 26 PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 718 ayat (1) RBg. (pasal 121 (2) HIR) :
(3) Pada umumnya tiap-tiap panggilan, pemberitahuan dan sebagainya, pokoknya semuanya yang disebut exploit seperti diterangkan diatas harus disampaikan pada orang yang bersangkutan sendiri (yaitu penggugat maupun tergugat) ditempat kediamannya atau ditempat tinggalnya, tetapi jika tidak dapat bertemu sendiri dengan orang yang bersangkutan itu, harus disampaikan kepada kepala desanya atau wakilnya yang selanjutnya berkewajiban segera memberitahu pada yang bersangkutan sendiri tentang adanya panggilan tersebut.
Pasal 718 ayat(2) RBg.(pasal 390 (2) HIR :
(4) Apabila yang harus dipanggil ternyata telah meninggal dunia, maka panggilan (exploit) harus disampaikan pada ahli warisnya dan jika ini tidak ada, kepada Kepala Desanya.
Pasal 718 ayat (2) RBg.(pasal 390 (3) HIR) :
(4) Apabila yang bersangkutan tidak diketahui tempat tinggalnya maka exploit harus disampaikan kepada Bupati Kepala Daerah dimana penggugat bertempat tinggal.
Ad.b Selama Pemeriksaan Sidang Berjalan
Pasal 150 RBg.(pasal 126 HIR:)
(1) Apabila pada hari pemeriksaan pertama salah satu pihak ataupun kedua-duanya tidak hadir, meskipun telah ada panggilan yang sah, tapi Hakim memandang perlu untuk memanggil lagi yang tidak hadir, maka atas perintah Ketua (Hakim) Pengadilan dapat dilakukan lagi terhadap yang tidak hadir, untuk kedua kalinya.
Pasal 151 RBg.(pasal 127 HIR:)
(2) Apabila ada dua tergugat atau lebih dan pada sidang pertama ada salah satu tergugat tidak hadir, tanpa menyuruh Kuasa atau Wakilnya maka pemeriksaan harus ditunda dengan memanggil tergugat yang tidak hadir pada hari sidang berikutnya.
Pasal 186 ayat (3) RBg.(pasal 159 ayat(3) HIR:)
(3) Apabila seorang penggugat atau tergugat yang pada hari sidang pertama dan berikutnya hadir tetapi pada saat itu berhalangan hadir, maka bila pemeriksaan ditunda, yang tidak hadir harus dipanggil untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
Pasal 165 ayat (1) RBg.(pasal 139 ayat (1) HIR;)
(4) Apabila baik penggugat maupun tergugat mengajukan permohonan untuk memanggil saksi-saksinya, maka panggilannya harus dilakukan oleh seorang juru sita, yang semuanya harus dinyatakan dalam satu relaas.
Pasal 165 ayat (2) RBg.(pasal 139 ayat (2) HIR:)
(5) Kemungkinan selanjutnya dapat terjadi apabila bukan pihak yang bersangkutan tetapi Pengadilan sendiri memandang perlu untuk memanggil saksi.
(6) Akhirnya apabila saksi yang telah dipanggil dengan sah tidak datang, hingga harus dipanggil lagi, caranya sama dengan panggilan-panggilan untuk pertama kali.
Demikian macam-macam pengaturan dan kemungkinan yang harus dilakukan selama pemeriksaan sedang berjalan dan belum selesai.
Ad.c Tahap apabila pemeriksaan sudah selesai (sudah ada putusan terakhir).
Pasal 148 RBg.(pasal 124 HIR:)
Jika penggugat yang telah dipanggil dengan patut pada hari yang telah ditentukan tidak datang menghadap di sidang Pengadilan Negeri dan tidak menyuruh seseorang untuk datang untuknya, maka gugatannya dinyatakan gugur dan dan penggugat dihukum untuk membayar biaya acara dengan hak bahwa ia dapat mengajukan kembali gugatan tersebut asal saja telah membayar biaya acara sebelumnya.
Pasal 149 ayat (1)RBg.(pasal 125 ayat(1) HIR)
(1) jika pada hari sidang yang telah ditentukan tergughat yang telah dipanggil dengan patut tidak datang menghadap dan tidak menyuruh orang lain menghadap untuknya, maka gugatan dikabulkan dengan verstek, kecuali apabila Pengadilan Negeri berpendapat bahwa gugatan itu melawan hukum atau tidak beralasan;
Pasal 152 ayat (1-2) RBg.(pasal 128 HIR:)
Dalam pemberitahuan (aanzegging) kepada tergugat sebagai pihak yang kalah harus diberitahukan bahwa ia dalam 14 hari terhitung mulai esok harinya setelah pemberitahuan itu dapat mengajukan surat perlawanan atau verzet. Semuanya ini seperti apa yang dijelaskan diatas verzet juga harus dinyatakan dalam suatu berita acara.
(2) Kemungkinan pemanggilan atau pemberitahuan dapat terjadi apabila pada waktu pengumuman putusan terakhir salah satu pihak atau kedua-duanya tidak hadir, maka isi putusan harus diberitahukan kepada mereka masing-masing dengan keterangan jika dipandang perlu mereka dapat naik banding.
Pasal 207 Rbg (Pasal 196 HIR)
(9) Dalam hal sudah ada putusan terakhir, yang oleh pihak yang menang dimintakan eksekusi, maka lebih dulu pihak yang kalah harus dipanggil untuk ditegur (aanmaning) supaya memenuhi isinya keputusan.
B. Tugas Penyitaan (beslag)
Ada 3 (tiga) macam penyitaan (beslag), yaitu :
a. Executorial beslag (Pasal 208, 209 Rbg dan seterusnya, bandingkan dengan Pasal 197 HIR)
b. Revindicatoir beslag (Pasal 260 Rbg/226 HIR)
c. Conservatoir beslag (Pasal 261 Rbg/227 HIR)
Ad. a. Executorial Beslag
Penyitaan ini merupakan yang terpenting dari ketiga jenis sita yang lain, karena mengenai pelaksanaan suatu putusan Hakim sebagai hasil sengketa perdata. Sebelum dilaksanakan, lebih dahulu harus ada permohonan eksekusi dari pihak yang menang, maka atas perintah Ketua Pengadilan Negeri pihak yang kalah harus dipanggil untuk mendapat “teguran (aanmaning)” supaya memenuhi putusan (Pasal 207 RBg). Apabila ternyata dalam waktu yang ditetapkan, pihak yang ditegur tetap membangkang tidak mau melaksanakan putusan, maka Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan kepada Panitera atau penggantinya dengan suatu surat perintah agar supaya menyita barang-barang kepunyaan (miliknya) tergugat. Setelah selesai menjalankan penyitaan, jurusita harus membuat berita acara tentang penyitaan tersebut dengan memberitahukan segala sesuatu kepada si pemilik barang-barang yang disita, jika ia ikut hadir. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, jurusita tersebut harus dibantu oleh 2(dua) orang saksi yang sudah dewasa dan dikenalnya. Segala barang milik tergugat
boleh disita, kecuali hewan-hewan termasuk alat-alat yang digunakan untuk membantu pekerjaannya. Setelah selesai melakukan penyitaan barang-barang harus diserahkan atau ditinggalkan kepada pemiliknya, dalam hal mana jurusita melaporkan kepada Kepala Desa agar barang-barang tersebut tidak dijual/dipindahtangankan. Menurut pengalaman, jurusita sebelum melakukan penyitaan sebaiknya terlebih dahulu memberitahukan akan dilakukannya penyitaan kepada Kepala Desa. Kalau barang-barangnya ada diluar daerah Pengadilan Negeri yang memutus, maka Ketua Pengadilan Negeri meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri didalam daerah barang yang harus disita berada (Pasal 206 ayat 2-3 RBg).
Ad. b. Revindicatoir Beslag
Diatur dalam Pasal 260 RBg (Pasal 226 ayat (1) HIR). Seseorang pemilik barang bergerak yang berada ditangan orang lain, karena tidak mau mengembalikan barang tersebut secara sukarela, maka pemilik tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah mana pemegang barang tersebut berada, untuk menyita barang miliknya yang berada ditangan orang lain tersebut.
Cara-cara penyitaannya sama dengan yang telah diterangkan pada bagian Executie beslag tersebut di atas.
Ad. c. Conservatoir beslag
Diatur dalam Pasal 261 RBg (Pasal 227 HIR). Dapat diajukan terhadap barang-barang bergerak maupun tidak bergerak milik tergugat. Permohonannya biasanya dibuat bersama-sama dengan surat gugatan, dengan alasan bahwa tergugat berusaha untuk menjual atau menyingkirkan barang-barangnya sebelum ada putusan.
Menurut Retnowulan Sutantio, perbedaan antara sita conservatoir dan sita revindicatoir adalah :
1. Barang-barang yang disita dengan cara conservatoir adalah barang milik tergugat, sedangkan barang-barang yang disita dengan revindicatoir adalah barang-barang milik penggugat, yang dikuasai/dipegang oleh tergugat.
2. Barang-barang yang disita dengan sita conservatoir adalah barang bergerak dan barang tidak bergerak, termasuk tanah, sedangkan barang-barang yang disita dengan sita revindicatoir hanya barang bergerak saja.
3. Untuk sita conservatoir harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya dengan maksud menghindari tuntutan penggugat. Untuk sita revindicatoir hal ini tidaklah perlu.
4. Apabila gugat dikabulkan, sita conservatoir akan dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi barang-barang tersebut akan diserahkan secara nyata kepada penggugat atau dalam hal yang digugat adalah sejumlah uang, barang-barang tersebut akan dilelang cukup untuk memenuhi putusan, termasuk biaya perkara, sedangkan apabila gugat ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita conservatoir akan diperintahkan untuk diangkat. Sedangkan dalam sita revindicatoir. Apabila gugat dikabulkan, dan sita dinyatakan sah dan berharga, dalam rangka eksekusi barang itu akan diserahkan kepada Penggugat. Kata revindicatoir berarti, meminta kembali.
5. Oleh karena itu, barang yang disita dengan sita revindicatoir harus disebutkan dengan jelas, juga ciri-cirinya, secara lengkap. Untuk sita conservatoir hal itu tidak perlu.4
Sedangkan persamaannya adalah :
1. Baik sita conservatoir, maupun sita revindicatoir, dalam hal gugat ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, akan diperintahkan untuk diangkat.
2. Dalam rangka eksekusi, kedua sita tersebut akan secara otomatis berubah menjadi sita eksekusi.5
Masih ada sita lain yang dinamakan marital beslag (Pasal 823 Rv) yaitu seorang isteri yang bersama-sama dengan suaminya tunduk pada hukum Barat mengajukan permohonan untuk bercerai dengan suaminya, diberi hak juga untuk mengajukan supaya diperintahkan untuk meletakkan sita terhadap barang-barang
4 Retnowulan Sutantio, Jurusita, Tugas dan Tanggung jawabnya, Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, MARI, Jakarta, tahun 1993, hal 16
5 Ibid
milik sang isteri sendiri maupun milik bersama yang berada dibawah kekuasaan sang suami, untuk menjamin barang-barang tersebut tidak dijual dan disembunyikan oleh suaminya.
Cara-cara pelaksanaan sitanya sama dengan yang diuraikan dibagian awal.
Sesungguhnya masih ada dasar pengaturan pelaksanaan tugas seorang jurusita/jurusita pengganti yaitu dibidang pelaksanaan putusan. Namum, oleh karena dalam pelatihan saat ini tentang hal tersebut akan dibahas dalam sesion tersendiri, maka dalam makalah ini sengaja tidak penulis uraikan.
HAMBATAN PELAKSANAAN TUGAS JURUSITA/-JURUSITA PENGGANTI
1. Tugas Dan Tanggung Jawab Di Bidang Pemanggilan/Pemberitahuan
Telah diuraikan di bagian awal, bahwa tugas jurusita/jurusita pengganti yang diatur berdasarkan ketentuan undang-undang hanya terbatas, pada daerah hukum Pengadilan Negeri dimana ia bekerja saja. Padahal, saat ini batas wilayah didaerah kadang-kadang masih berupa sungai atau jalan desa setapak, yang seringkali tidak nampak dengan jelas, maka hal tersebut memerlukan kejelian dari jurusita/jurusita pengganti pada saat melakukan tugasnya tersebut. Apabila ia menemukan bahwa orang yang dipanggil atau diberitahu atau barang yang akan disita, ternyata berada diwilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain, maka ia tidak berwenang untuk melakukan tindakan hukum tersebut. Jurusita/jurusita pengganti tersebut harus kembali ke kantor agar Ketua Pengadilan Negeri membuat penetapan yang baru dan meminta bantuan Ketua Pengadilan Negeri yang membawahi orang yang akan dipanggil atau diberitahu dan atau barang-barang yang akan disita itu berada.
Manakala yang akan dipanggil adalah para pihak yang tugasnya adalah anggota korps diplomatik di luar negeri, maka cara memanggilnya dengan cara menyampaikan surat kepada Departemen Luar Negeri Dirjen Protokol dan Konsuler dengan permohonan untuk memanggil orang/anggota korps diplomatik tersebut (Perhatikan Surat Menteri Luar Negeri Direktorat Konsuler tertanggal 18 Juli 1990 Nomor : 295/90/07/44 yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat). Sedangkan apabila pemanggilan dilakukan terhadap warga negara asing yang berada diluar negeri, pemanggilannya dilakukan dengan cara menyampaikan surat kepada Departemen Luar Negeri untuk meminta bantuan kepada kedutaan besar negara pihak-pihak yang dipanggil untuk memanggil orang tersebut, dengan catatan salinan gugatan harus diterjemahkan kedalam bahasa Inggris (Surat Direktorat Protokol dan Konsuler Departeman Luar Negeri tertanggal 31 April 1991 Nomor 202/91/45 yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat).
Seorang jurusita/jurusita pengganti harus benar-benar mengerti dan menghayati batas tugas dan kewenangannya dengan baik dan benar, apa yang harus dilakukan olehnya dalam menghadapi keadaan tertentu dalam melaksanakan tugasnya harus dapat dijalankan dengan baik. Misalnya, apakah pemanggilan dan pemberitahuan dapat dilakukan pada hari minggu atau libur nasional, atau dapatkah pemanggilan dan pemberitahuan dilakukan pada malam hari, misalnya karena kehabisan BBM, maka kendaraannya mogok, maka jurusita/jurusita pengganti tersebut baru bisa jalan ketika hari sudah malam, apakah ia langsung dapat melakukan pemanggilan, pemberitahuan dan ataupun penyitaan ataukah harus menunggu keesokan harinya ? Apakah dapat panggilan dititipkan liwat petugas kepolisian atau diserahkan kepada isteri atau suami dari pihak yang dipanggil ? Bagaimana pula dengan uang makan dan penginapan, kalau terpaksa ia harus menginap, apakah dapat dimasukkan dalam biaya
perjalanan dinas ? Ketentuan hukum dalam RBg maupun HIR tidak mengatur hal-hal tersebut. Namum ternyata dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) yaitu hukum acara perdata pada jaman penjajahan Belanda, yang berlaku untuk beracara di Raad van Justitie ada pengaturan tentang hal tersebut.
Pasal 17 Rv menyatakan : Tidak satupun tindakan jurusita dapat dilakukan pada hari minggu, kecuali berdasarkan perintah khusus dari Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Apabila hari terakhir untuk melakukan panggilan atau pemberitahuan, …….maka tugas tersebut dapat dilakukan esok harinya. Apabila reglemen ini memakai istilah sebulan, maka hal itu berarti 30 hari.
Pasal 18 Rv menyatakan : Tidak satupun tindakan jurusita atau pelaksanaan suatu putusan dapat dilakukan sebelum jam enam pagi dan setelah jam enam sore, kecuali apabila Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan, dalam perkara tertentu yang memerlukan tindakan khusus yang cepat, memberi perintah untuk itu. Ijin yang dimaksud dalam pasal ini dan dalam pasal sebelumnya, dapat diberikan atas permohonan tertulis, atau lisan dari pihak yang berkepentingan. Dalam hal ijin diberikan atas permohonan lisan, maka ijin tersebut akan dicantumkan dibagian atas surat panggilan atau berita acara pelaksanaan sita, sedangkan apabila ijin diberikan atas permohonan tertulis, maka ijin tersebut akan dicantumkan di bagian atas dari surat permohonan tersebut. Penetapan mengenai pemberitahuan ijin tersebut dapat dilaksanakan dengan serta merta. Tentang hal itu tidak akan diberitahukan kepada pihak lawan, melainkan akan dicantumkan di bagian atas dari surat panggilan, surat pemberitahuan
putusan atau berita acara yang bersangkutan. (diterjemahkan secara bebas oleh Retnowulan Sutantio).
Hendaknya ketentuan tersebut, diperhatikan dan dilaksanakan dengan sungguh dalam praktik kejurusitaan, karena adalah hal yang sangat ganjil dan aneh serta tidak manusiawi, ketika pada malam takbiran atau hari raya misalnya, tiba-tiba datang seorang jurusita/jurusita pengganti untuk memanggil tergugat agar datang disuatu sidang pengadilan, karena suaminya atau isterinya minta cerai atau tiba-tiba jurusita/jurusita pengganti tersebut melakukan penyitaan atas barang-barang milik tergugat. Pengecualian dapat terjadi, yaitu dalam keadaan yang sangat mendesak, dengan ijin Ketua Pengadilan Negeri, apabila hal itu memang mutlak harus dilakukan, biarlah Ketua Pengadilan Negeri yang menentukan ijin tersebut dengan arif lagi bijaksana.
Panggilan dan pemberitahuan harus disampaikan kepada pribadi yang dipanggil dan atau diberitahu, jadi tidak boleh disampaikan kepada suami atau isteri pihak tersebut, atau kepada anak atau pembantu rumah tangga penggugat, tergugat atau turut tergugat. Karena undang-undang telah jelas mengatur, apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu. Jadi seandainya panggilan telah tidak dapat disampaikan kepada orang yang dipanggil itu sendiri, maka jurusita/jurusita pengganti harus langsung menuju ke kantor desa yang bersangkutan dan menyerahkan surat panggilan kepada Lurah atau Kepala Desa yang bersangkutan.
Penyerahan panggilan kepada Lurah atau Kepala Desa harus terbukti dalam hukum, dengan lain perkataan Lurah atau Kepala desa harus membubuhkan tanda tangannya dalam berita acara panggilan dan adalah lebih
baik lagi, apabila tanda tangan tersebut dipertegas dengan cap/ stempel Kelurahan/Desa.
Permasalahan lain yang harus diperhatikan adalah mencermati ketentuan Pasal 146 RBg jo Pasal 718 RBg (bandingkan dengan Pasal 122 HIR jo Pasal 390 HIR), yang jelas berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 26 ayat (4) PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 146 RBg jo Pasal 718 RBg (bandingkan dengan Pasal 122 HIR jo Pasal 390 HIR), jelas menyebutkan tenggang waktu antara panggilan dengan hari sidang bukan 3 (tiga) hari, tetapi 3(tiga) hari kerja. Jadi jelas pada hari minggu dan atau libur tidak dihitung. Sedangkan ketentuan Pasal 26 ayat (4) PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya menyebutkan Pemanggilan dilakukan dan disampaikan secara patut dan diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka, sehingga hari libur tentunya juga dihitung. Hal tersebut penting diperhatikan, karena ada pengaruhnya terhadap pemeriksaan perkara dengan acara istimewa, yaitu gugur atau verstek.
2. Tugas dan Tanggung Jawab di Bidang Penyitaan Dan Eksekusi.
Di atas telah diuraikan dasar pengaturan dan macam-macam sita. Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan administerasi Pengadilan Buku (II) diatur sebagai berikut :
A. Sita Jaminan
– Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim/Ketua Majelis sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung, Hakim/Ketua Majelis membuat surat penetapan. Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita/
Panitera Pengadilan Negeri dengan dua orang pegawai pengadilan sebagai saksi.
– Dalam hal dilakukan sita jaminan sebelum sidang dimulai, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Penyitaan hendaknya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal sita revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada ditangan tergugat yang dimaksud dalam surat gugat) sekedar cukup untuk menjamin pelaksanaan putusan dikemudian hari.
b. Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita acara penyitaan harus didaftarkan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 227 ayat (3) Pasal 198 dan Pasal 199 HIR atau Pasal 261 jo Pasal 213 dan 214 Rbg. Apabila penyitaan tersebut telah didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional atau Kelurahan, maka sejak didaftarkannya itu tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan dengan cara apapun atau membebankan/menjaminkan tanah tersebut. Tindakan tersesita yang bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal demi hukum.
c. Barang yang disita itu, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita dengan sita conservatoir, harus tetap dipegang/ dikuasai oleh tersita. Adalah salah untuk menitipkan barang itu kepada lurah atau penggugat atau membawa barang itu untuk disimpan di gedung Pegadilan Negeri.
– Ada dua macam sita jaminan yaitu sita conservatoir (terhadap milik tergugat), dan sita revindicatoir (terhadap milik penggugat) (Pasal 227. 226 HIR 261, 260 Rbg).
B. Sita Conservatoir
– Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat.
– Yang disita adalah barang bergerak dan barang tidak bergerak milik tergugat.
– Apabila yang disita adalah tanah, maka harus dilihat dengan seksama, bahwa tanah tersebut milik tergugat dan luas serta batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas (Perhatikan SEMA No. 89/K/1018/M/1962 tertanggal 25 April 1962). Untuk menghindari salah sita. Hendaknya kepala desa diajak serta untuk melihat keadaan tanah, batas serta luas tanah yang akan disita.
– Penyitaan atas tanah harus dicatat dalam buku tanah yang ada di Desa, selain itu sita atas tanah yang ada sertifikat harus pula didaftarkan, dan atas tanah yang belum sertifikat diberitahukan pada kantor pertanahan daerah tingkat II kotamadya atau kabupaten.
– Tentang penyitaan itu dicatat di buku khusus yang disediakan di Pengadilan Negeri yang memuat catatan mengenai tanah-tanah yang disita, kapan disita dan perkembangannya. Buku ini adalah terbuka untuk umum.
– Sejak tanggal pendaftaran sita itu, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita itu. Semua tindakan tersita yang dilakukan bertentangan dengan larangan itu adalah batal demi hukum.
– Kepala Desa yang bersangkutan dapat ditunjuk sebagai pengawas agar tanah tersebut tidak dialihkan kepada orang lain.
– Penyitaan dilakukan terutama atas barang bergerak milik tergugat, juga jangan berlebihan, hanya cukup untuk menjamin dipenuhinya gugatan penggugat. Apabila barang bergerak milik tergugat tidak cukup, biarlah tanah/tanah dan rumah milik tergugat yang disita.
– Apabila gugatan dikabulkan sita jaminan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam amar putusannya, apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus diperintahkan untuk diangkat.
– Apabila gugatan dikabulkan untuk sebagian dan selebihnya ditolak, sirta jaminan untuk sebagian dinyatakan sah dan berharga, dan untuk bagian yang lain diperintahkan untuk diangkat. Namun apabila yang disita itu sebidang tanah dan rumah, seandainya gugatan mengenai ganti rugi dikabulkan hanya untuk sebagian, tidaklah dapat diputuskan menyatakan sah dan berharga, sita jaminan (misalnya 1/3/ tanah dan rumah yang bersangktan).
– Sita Jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara dilarang, kecuali seijin dari Mahkamah Agung, setelah mendengar Jaksa Agung (Pasal 65 dan 66 ICW)
C. Sita Revindicatoir
– Yang disita adalah barang bergerak milik penggugat yang dikuasai /dipegang oleh tergugat.
– Gugatan diajukan untuk memperoleh kembali hak atas barang tersebut. Kata revindicatoir berasal dari revindiceer, yang berarti minta kembali miliknya.
– Barang yang dimohon agar disita, harus disebut dalam surat gugat secara jelas dan terperinci, dengan menyebutkan ciri-cirinya.
– Apabila gugatan dikabulkan untuk seluruhnya, sita revindicatoir dinyatakan sah dan berharga dan tergugat dihukum untuk menyerahkan barang tersebut kepada penggugat.
– Dapat terjadi, bahwa gugatan dikabulkan hanya untuk sebagian dan untuk selebihnya ditolak. Apabila hal itu terjadi, maka sita revindicatoir untuk barang-barang yang dikabulkan dengan putusan tersebut akan dinyatakan sah dan berharga, sedangkan untuk barang-barang yang lainnya, diperintahkan untuk diangkat.
– Dalam rangka eksekusi barang yang dikabulkan itu diserahkan kepada penggugat.
– Untuk selanjutnya, segala sesuatu yang dikemukakan dalam membahas sita conservatoir secara mutatis mutandis berlaku untuk sita revindicatoir.
D. Sita Eksekusi
Ada dua macam sita eksekusi : yang langsung dan yang tidak langsung.
D. 1. Sita eksekusi yang langsung.
Sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitor atau pihak yang kalah.
a. Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau pelaksanaan grosse akta hipotik (berfungsi sebagai grosse akta hipotik adalah sertifikat hipotik yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Daerah tingkat II kotamadya yang bersangkutan. Lihat Pasal 7 Peraturan Agraria No. 15 tahun 1961 dan Pasal 14 ayat (3) UU No. 16 tahun 1985 jo jo PP No. 24 tahun 1997).
b. Sita eksekusi lanjutan apabila barang-barang yang disita sebelumnya dengan sita conservatoir, yang dalam rangka
eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan dilelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan putusan pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang milik tergugat untuk kemudian dilelang.
D. 2. Sita eksekusi yang tidak langsung
Sita eksekusi yang tidak langsung adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga, dalam rangka eksekusi otomatis berubah statusnya menjadi sita eksekusi. Dalam rangka eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (Pasal 197 ayat (8) HIR, 211 Rbg). Perlu diperhatikan, bahwa yang tidak dapat disita adalah hewan yang benar-benar dibutuhkan untuk mencari nafkah oleh tersita, jadi satu atau dua ekor sapi/kerbau yang benar-benar dibutuhkan untuk mengerjakan sawah. Jadi bukan sapi-sapi dari sebuah peternakan, ini selalu dapat disita. Binatang-binatang yang lain yaitu kuda, anjing, kucing, burung yang kadang-kadang sangat tingi harganya dapat saja disita.6
Dalam praktik peradilan pelaksanaan sita sering kali banyak menimbulkan permasalahan. Bisa saja pada waktu hendak dilakukan penyitaan, ternyata barang yang hendak disita tidak ada, maka jurusita/jurusita pengganti akan membuat berita acara bahwa tidak ada barang yang dapat disita. Lain lagi halnya, manakala jurusita/jurusita sewaktu hendak menyita menghadapi kenyataan, ternyata barang yang hendak disitanya itu adalah barang bergerak yang sebelumnya sudah disita eksekusi untuk orang lain, jadi sedang dibebani sita eksekusi oleh Pengadilan atau Badan Urusan Piutang Lelang Negara (BUPLN). Dalam hal yang demikian,
6 Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administerasi Pengadilan Buku II, diterbitkan MARI, Jakarta , hal 121 s/d 125
jurusita/juru sita pengganti tidak diperkenankan untuk menyita lagi barang-barang yang sudah disita itu, akan tetapi ia setelah meminta agar berita acara sita eksekusi yang dipegang oleh tersita diserahkan kepadanya, ia akan mempersamakan berita acara tersebut dengan barang-barang milik tersita, dan jurusita/jurusita pengganti hanya bisa menyita barang milik tersita, yang belum disita (Pasal 463 Rv). Berita acara sita persamaan ini berlaku sebagai suatu sanggahan/pencegahan untuk menyerahkan uang hasil pelelangan barang-barang tersebut kepada penyita yang pertama. Dengan lain perkataan yang menyita kemudian akan berbagi hasil lelang itu. Bahkan dapat terjadi, ia akan memperoleh lebih banyak dari penyita pertama, justru oleh karena memang tagihannya lebih besar atau telah dijamin dengan fiducia umupamanya.
Lain lagi persoalannya, manakala ternyata penetapan Majelis Hakim tentang sita jaminan ternyata batas-batasnya berbeda dengan keadaan yang sesungguhnya diketemukan jurusita/jurusita penganti. Bila terdapat perbedaan batas tanah yang mengakibatkan obyek sita berbeda, maka penyitaan tidak dapat dilaksanakan dengan dibuat berita acara sita non bevending, karena obyek sita tidak sesuai data-datanya. Akan tetapi, bila perbedaan batas tersebut tidak mengakibatkan obyek berbeda, hanya karena tanah yang berbatasan dengan obyek sita telah berubah kepemilikan, maka hal ini dinyatakan dalam berita acara sita jaminan tersebut.
Manakala jurusita/jurusita pengganti ditugaskan untuk menjalan penyitaan rekening di sebuah bank, maka jurusita/jurusita pengganti tersebut harus datang ke Bank mengecek kebenaran tentang rekening tersebut, untuk selanjutnya menuangkan dalam berita acara tanpa menyebutkan jumlah uangnya. (Perhatikan Surat Bank Indonesia kepada Bank Rakyat Indonesia di seluruh Indonesia tanggal 24 Nopember 1987 Nomor : 20/12/UHO/HNI jo ANGKA 2/SE. BI Nomor :
3/507/UPPB/BGB tertanggal 18 september 1970 jo Surat Direksi Bank Indonesia kepada Bank-Bank di seluruh Indonesia tertanggal 20 Oktober 1987).
Masih banyak permasalahan hukum dan hambatan-hambatan yang dialami oleh seorang jurusita/jurusita pengganti dalam melaksanakan tugasnya yang mesti dipecahkan, namun dengan adanya berbagai keterbatasan, tidak mungkin dapat diuraikan secara mendetail dalam makalah ini. Mudah-mudahan dalam pelatihan ini, permasalahan hukum dan hambatan tugas seorang jurusita/jurusita pengganti, dapat kita diskusikan dan dipecahkan bersama.
————————

CLASS ACTION

Seperti telah diketahui, bahwa istilah class action itu sendiri tidak begitu dikenal di Negara-negara yang tidak menganut sistem hukum common law. Akan tetapi dinegara-negara tersebut hanya mengadopsi class action tersebut dan disesuaikan dengan hukum yang berlaku di negaranya masing-masing. Di Indonesia sendiri sejarah class action dibagi atas dua periode yaitu sebelum adanya pengakuan class action dan setelah adanya pengakuan class action. Adapun yang menjadi tolak ukur dari pengakuan class action adalah dengan dikeluarkannya UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

a. Periode sebelum adanya pengakuan class action

Meskipun sebelum tahun 1997 belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktekkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya gugatan class action yang pertama kali dilakukan di Indonesia yaitu pada tahun 1987 terhadap kasus R.O. Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors dimana diajukan di PN Jakarta Pusat. Menyusul kemudian kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta dan Kakanwil Kesehatan DKI (kasus endemic demam berdarah) di PN Jakarta Pusat pada tahun 1988 dan kasus YLKI melawan PT.PLN Persero (kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997 di PN Jakarta Selatan.

 

b. Periode setelah adanya pengakuan class action

Class action dalam hukum positif di Indonesia baru diberikan pengakuan setelah diundangkannya UU Lingkungan Hidup pada tahun 1997 yang kemudian diatur pula dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Kehutanan pada tahun 1999. Akan tetapi ketiga UU tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur dan acara dalam gugatan perwakilan kelompok (class action). Sebelum tahun 2002 gugatan secara class action dilaksanakan melalui prosedur yang sama dengan gugatan perdata biasa. Adapun ketentuan khusus yang mengatur mengenai acara dan prosedur class action baru diatur dalam PERMA No. I Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Dalam aturan hukum Indonesia pengaturan mengenai class action diatur dalam bentuk perundang-undangan, diantaranya yaitu :

A. UU No.23 Tahun1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dalam pasal 37 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.

Adapun syarat dalam pengajuan gugatan dalam UU ini adalah sbb:

a. berbentuk badan hukum atau yayasan

b. dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup

c. telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

 

B. UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 46 ayat 1 huruf b menyebutkan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya dalam penjelasannya menyebutkan bahwa undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan ini harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satunya adalah adanya bukti transaksi.

Adapun syarat dalam pengajuan gugatan dalam UU ini adalah sbb:

a. harus berbentuk badan hukum atau yayasan

b. dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen

c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

 

C. UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

Dalam pasal 38 ayat 1 Undang-undang No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara orang-perorangan, kelompok dengan pemberian kuasa, kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.

 

D. UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Diatur dalam pasal 71 ayat 1 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.

Adapun syarat dalam pengajuan gugatan ini adalah:

a. berbentuk badan hukum

b. dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan

c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

 

E. Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok

Dimana terdiri dari 6 bab yaitu:

I. Mengenai ketentuan umum

II. Mengenai tata cara dan persyaratan gugatan perwakilan kelompok

III. Mengenai pemberitahuan atau notifikasi

IV. Mengenai pernyataan keluar

V. Mengenai putusan

VI. Mengenai ketentuan penutup

Wakil kelompok dalam class action harus dibedakan dengan ORNOP yang oleh peraturan diberi hak gugat (legal standing) mewakili kepentingan orang banyak, misalnya para konsumen, kepentingan perlindungan lingkungan, hutan, dsbnya. Wakil kelompok dalam class action berasal dari kelompok yang mempunyai kepentingan dan mengalami kerugian yang sama dengan kelompok yang diwakilinya, sedangkan oraganisasi lingkungan, organisasi konsumen, organisasi kehutanan, dsbnya bukan pihak yang mengalami kerugian atau permasalahan secara konkret.

Meskipun beberapa peraturan perundang-undangan diatas sudah meletakkan dasar-dasar gugatan perwakilan kelompok, akan tetapi implementasinya sering dihadapkan pada kendala teknik procedural, karena seperti diketahui bahwa dalam hukum acara perdata positif Indonesia dianggap tidak mengatur procedur gugatan perwakilan kelompok.

Adapun ketentuan mengenai prosedur pengajuan gugatan ini diatur secara khusus dalam PERMA No.1 tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok. Namun sepanjang tidak diatur PERMA No. 1 tahun 2002 maka dapat berlaku juga ketentuan dalam hukum acara perdata yang berlaku (HIR/RBg). Dalam kasus class action berlaku juga ketentuan hukum acara perdata yang mensyaratkan, apabila wakil kelompok pihak diwakili atau didampingi oleh pengacara maka diwajibkan untuk membuat surat kuasa khusus antara wakil kelompok kepada pengacara. Adapun hal yang menarik pada pengacara dalam class action adalah dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 pasal 2 huruf d dimana menyebutkan bahwa hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan pergantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompok. Dalam hal ini sebenarnya diperlukan adanya keberanian hakim untuk melakukan terobosan hukum dengan melakukan penemuan hukum (rechvinding), dalam upaya membuat putusan-putusan yang memenuhi perasaan keadilan masyarakat meskipun suatu perkara tidak diatur secara jelas dalam perundang-undangan. Adapun hakim dapat menggunakan metode penemuan hukum yang ada, seperti interprestasi, analogi maupun eksposisi/konstruksi hukum. Hakim tidak perlu terpaku pada undang-undang saja, tetapi hakim dapat mempergunakan sumber hukum lainnya seperti hukum kebiasaan, yurisprudensi, doktrin, SEMA/PERMA, dll.

Dengan diakui dan diterimanya gugatan perwakilan, baik legal standing maupun class action tersebut dalam praktik maka terdapat beberapa manfaat utama, yaitu:

1. mencapai peradilan yang lebih ekonomis

2. memberi peluang yang lebih besar ke pengadilan, dan

3. merubah perilaku yang tidak pantas dari para pelanggar atau

orang-orang yang potensial melakukan pelanggaran.

http://nwlawdocument7.blogspot.com/2009/04/hukum-acara-perdata.html

PEMILU INDONESIA

http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39

Pemilu 1955.

Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.

Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.

Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.

Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :

1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu;

2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.

Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.

Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.

Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.

Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkom-petisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Kons-tituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.

No. Partai/Nama Daftar

Suara

%

Kursi

1.

Partai Nasional Indonesia (PNI)

8.434.653

22,32

57

2.

Masyumi

7.903.886

20,92

57

3.

Nahdlatul Ulama (NU)

6.955.141

18,41

45

4.

Partai Komunis Indonesia (PKI)

6.179.914

16,36

39

5.

Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)

1.091.160

2,89

8

6.

Partai Kristen Indonesia (Parkindo)

1.003.326

2,66

8

7.

Partai Katolik

770.740

2,04

6

8.

Partai Sosialis Indonesia (PSI)

753.191

1,99

5

9.

Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)

541.306

1,43

4

10.

Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)

483.014

1,28

4

11.

Partai Rakyat Nasional (PRN)

242.125

0,64

2

12.

Partai Buruh

224.167

0,59

2

13.

Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)

219.985

0,58

2

14.

Partai Rakyat Indonesia (PRI)

206.161

0,55

2

15.

Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)

200.419

0,53

2

16.

Murba

199.588

0,53

2

17.

Baperki

178.887

0,47

1

18.

Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro

178.481

0,47

1

19.

Grinda

154.792

0,41

1

20.

Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)

149.287

0,40

1

21.

Persatuan Daya (PD)

146.054

0,39

1

22.

PIR Hazairin

114.644

0,30

1

23.

Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)

85.131

0,22

1

24.

AKUI

81.454

0,21

1

25.

Persatuan Rakyat Desa (PRD)

77.919

0,21

1

26.

Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)

72.523

0,19

1

27.

Angkatan Comunis Muda (Acoma)

64.514

0,17

1

28.

R.Soedjono Prawirisoedarso

53.306

0,14

1

29.

Lain-lain

1.022.433

2,71

Jumlah

37.785.299

100,00

257

Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut:

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.

No. Partai/Nama Daftar

Suara

%

Kursi

1.

Partai Nasional Indonesia (PNI)

9.070.218

23,97

119

2.

Masyumi

7.789.619

20,59

112

3.

Nahdlatul Ulama (NU)

6.989.333

18,47

91

4.

Partai Komunis Indonesia (PKI)

6.232.512

16,47

80

5.

Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)

1.059.922

2,80

16

6.

Partai Kristen Indonesia (Parkindo)

988.810

2,61

16

7.

Partai Katolik

748.591

1,99

10

8.

Partai Sosialis Indonesia (PSI)

695.932

1,84

10

9.

Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)

544.803

1,44

8

10.

Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)

465.359

1,23

7

11.

Partai Rakyat Nasional (PRN)

220.652

0,58

3

12.

Partai Buruh

332.047

0,88

5

13.

Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)

152.892

0,40

2

14.

Partai Rakyat Indonesia (PRI)

134.011

0,35

2

15.

Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)

179.346

0,47

3

16.

Murba

248.633

0,66

4

17.

Baperki

160.456

0,42

2

18.

Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro

162.420

0,43

2

19.

Grinda

157.976

0,42

2

20.

Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)

164.386

0,43

2

 

21.

Persatuan Daya (PD)

169.222

0,45

3

 

22.

PIR Hazairin

101.509

0,27

2

 

23.

Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)

74.913

0,20

1

 

24.

AKUI

84.862

0,22

1

 

25.

Persatuan Rakyat Desa (PRD)

39.278

0,10

1

 

26.

Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)

143.907

0,38

2

 

27.

Angkatan Comunis Muda (Acoma)

55.844

0,15

1

 

28.

R.Soedjono Prawirisoedarso

38.356

0,10

1

 

29.

Gerakan Pilihan Sunda

35.035

0,09

1

 

30.

Partai Tani Indonesia

30.060

0,08

1

 

31.

Radja Keprabonan

33.660

0,09

1

 

32.

Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI)

39.874

0,11

   

33.

PIR NTB

33.823

0,09

1

 

34.

L.M.Idrus Effendi

31.988

0,08

1

 
  lain-lain

426.856

1,13

   

Jumlah

37.837.105

 

514

 

 

Periode Demokrasi Terpimpin.

Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.

Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny — sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.

Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.

Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pemilu 1971
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.

Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.

Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.

UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.

Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.

Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.

Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.

Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.

Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.

No.

Partai

Suara

%

Kursi

1. Golkar

34.348.673

62,82

236

2. NU

10.213.650

18,68

58

3. Parmusi

2.930.746

5,36

24

4. PNI

3.793.266

6,93

20

5. PSII

1.308.237

2,39

10

6. Parkindo

733.359

1,34

7

7. Katolik

603.740

1,10

3

8. Perti

381.309

0,69

2

9. IPKI

338.403

0,61

10. Murba

48.126

0,08

Jumlah

54.669.509

100,00

360

Sekedar untuk perbandingan, seandainya pembagian kursi peroleh-an suara partai-partai pada Pemilu 1971 dilakukan dengan sistem kombinasi sebagaimana digunakan dalam Pemilu 1955, dengan mengabaikan stembus accoord 4 partai Islam yang mengikuti Pemilu 1971, hasilnya akan terlihat seperti pada tabel di bawah ini.

Pembagian Kursi Hasil Pemilu 1971 Seandainya Menggunakan Sistem Kombinasi (hipotetis)

No.

Partai

Jumlah Suara Secara Nasional

Jumlah Kursi Pada Pembagian Pertama

Sisa Suara Setelah Pembagian Pertama

Perolehan pada Pembagian Kursi Sisa Pertama

Jumlah Sisa Suara Setelah Pembagian Kursi Sisa

Kursi Atas Suara Terbesar

Jumlah Kursi

1 Golkar

34.339.708

214

1.342.084

11

81.770 (III)

1

226

2 NU

10.201.659

48

1..323.245

11

62.931

59

3 PNI

3.793.266

16

908.061

7

106.043 (II)

1

24

4 Parmusi

2.930.919

10

1.389.435

12

14.547

 

22

5 PSII

1.257.056

1

1.039.280

9

8.000

10

6 Parkindo

697.618

1

628.752

5

53.882

6

7 Katolik

603.740

2

412.428

3

68.706 (IV)

1

6

8 Perti

380.403

2

180.240

1

65.666 (V)

1

4

9 IPKI

338.376

338.376

2

109.228 (I)

1

3

10 Murba

47.800

47.800

47.800

   

54.669.509

294

7.561.901

61

 

5

360

Catatan:

  1. Hasil pembagian pertama yang diperoleh partai-partai sebagaimana terlihat dalam lajur 4 (empat) sesuai dengan hasil bagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan masing-masing. Sedangkan hasil pembagian kursi sisa pada lajur 6 (enam) merupakan hasil bagi sisa suara masing-masing partai dengan kiestquotient nasional 114.574 (7.561.901:66). Hasil pada lajur 8 (delapan) berdasarkan sisa suara terbesar atau terbanyak karena masih tersisa 7 kursi lagi.

Dengan cara pembagian kursi seperti Pemilu 1955 itu, hanya Murba yang tidak mendapat kursi, karena pada pembagian kursi atas dasar sisa terbesar pun perolehan suara partai tersebut tidak mencukupi. Karena peringkat terbawah sisa suara terbesar adalah 65.666. PNI memperoleh kursi lebih banyak dari Parmusi, karena suaranya secara nasional di atas Parmusi.

 

 

 

 

 

 

 

 

Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan.

Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.

Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.

Hasil Pemilu 1977

Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.

Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.

PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.

PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik..

Hasil Pemilu 1982

Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.

 Hasil Pemilu 1987

Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.

Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka’bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.

Hasil Pemilu 1992

Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.

PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional.

Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.

 Hasil Pemilu 1997

Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.

PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.

Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.

Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.

Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.

Hasil Pemilu 1999

Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.

Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut: Partai Keadilan, PNU, PBI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, dan PARI.

Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.

Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.

Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.

Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.

Catatan:

  1. Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau 9,17 persen dari suara yang sah.
  2. Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara sah.

Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.

Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terba-nyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon, sebut saja si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada Pemilu 1971.

 

 

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia#Pemilu_2004

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perolehan suara partai-partai peserta pemilu 2004

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009.

[sunting] Pemilihan Umum Anggota DPR

Pemilihan Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dan diikuti oleh 24 partai politik. Dari 124.420.339 orang pemilih terdaftar, 124.420.339 orang (84,07%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 113.462.414 suara (91,19%) dinyatakan sah, dengan rincian sebagai berikut:

No.   Partai   Jumlah Suara   Persentase   Jumlah Kursi   Keterangan  
1. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 923.159 0,81% 1 Lolos
2. Partai Buruh Sosial Demokrat 636.397 0,56% 0 Tidak Lolos
3. Partai Bulan Bintang 2.970.487 2,62% 11 Lolos
4. Partai Merdeka 842.541 0,74% 0 Tidak Lolos
5. Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 8,15% 58 Lolos
6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654 1,16% 5 Lolos
7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru 672.952 0,59% 0 Tidak Lolos
8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 1.230.455 1,08% 1 Lolos
9. Partai Demokrat 8.455.225 7,45% 57 Lolos
10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1.424.240 1,26% 1 Lolos
11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 855.811 0,75% 1 Lolos
12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 895.610 0,79% 0 Tidak Lolos
13. Partai Amanat Nasional 7.303.324 6,44% 52 Lolos
14. Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 2,11% 2 Lolos
15. Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 10,57% 52 Lolos
16. Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 7,34% 45 Lolos
17. Partai Bintang Reformasi 2.764.998 2,44% 13 Lolos
18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 18,53% 109 Lolos
19. Partai Damai Sejahtera 2.414.254 2,13% 12 Lolos
20. Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58% 128 Lolos
21. Partai Patriot Pancasila 1.073.139 0,95% 0 Tidak Lolos
22. Partai Sarikat Indonesia 679.296 0,60% 0 Tidak Lolos
23. Partai Persatuan Daerah 657.916 0,58% 0 Tidak Lolos
24. Partai Pelopor 878.932 0,77% 2 Lolos

Jumlah

113.462.414 100,00% 550

Pemilihan Umum Anggota DPD

Pemilihan Umum Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak, dengan peserta pemilu adalah perseorangan. Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 kursi, dengan daerah pemilihan adalah provinsi.

 

 

 

 

 

 

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004 diselenggarakan untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2004-2009. Pemilihan Umum ini adalah yang pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia. Pemilihan Umum ini diselenggarakan selama 2 putaran, dan dimenangkan oleh pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Aturan

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota DPR 2004. Untuk dapat mengusulkan, partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh sekurang-kurangnya 5% suara suara secara nasioanl atau 3% kursi DPR. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Apabila tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Pendaftaran Pasangan Calon

Sebanyak 6 pasangan calon mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum

  1. K. H. Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim (dicalonkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa)
  2. Prof. Dr. H. M. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo (dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional)
  3. Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. (dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan)
  4. Hj. Megawati Soekarnoputri dan K. H. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan)
  5. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia)
  6. H. Wiranto, SH. dan Ir. H. Salahuddin Wahid (dicalonkan oleh Partai Golongan Karya)

Dari keenam pasangan calon tersebut, pasangan K. H. Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim tidak lolos karena berdasarkan tes kesehatan, Abdurrahman Wahid dinilai tidak memenuhi kesehatan.

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama

Pemilu putaran pertama diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004, dan diikuti oleh 5 pasangan calon. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang diumumkan pada tanggal 26 Juli 2004, dari 153.320.544 orang pemilih terdaftar, 122.293.844 orang (79,76%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 119.656.868 suara (97,84%) dinyatakan sah, dengan rincian sebagai berikut:

No.

Pasangan Calon

Jumlah Suara

Prosentase

1. H. Wiranto, SH.
Ir. H. Salahuddin Wahid
26.286.788 22,15%
2. Hj. Megawati Soekarnoputri
H. Hasyim Muzadi
31.569.104 26,61%
3. Prof. Dr. HM. Amien Rais
Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo
17.392.931 14,66%
4. H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
39.838.184 33,57%
5. Dr. H. Hamzah Haz
H. Agum Gumelar, M.Sc.
3.569.861 3,01%

Karena tidak ada satu pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka diselenggarakan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, yakni SBY-JK dan Mega Hasyim.

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kedua

Pemilu putaran kedua diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004, dan diikuti oleh 2 pasangan calon. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang diumumkan pada tanggal 4 Oktober 2004, dari 150.644.184 orang pemilih terdaftar, 116.662.705 orang (77,44%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 114.257.054 suara (97,94%) dinyatakan sah, dengan rincian sebagai berikut:

No.

Pasangan Calon

Jumlah Suara

Prosentase

2. Hj. Megawati Soekarnoputri
H. Hasyim Muzadi
44.990.704 39,38%
4. H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
69.266.350 60,62%

Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih

Berdasarkan hasil Pemilihan Umum, pasangan calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih. Pelantikannya diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 2004 dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang juga dihadiri sejumlah pemimpin negara sahabat, yaitu: PM Australia John Howard, PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, PM Timor Timur Mari Alkatiri, dan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah, serta 5 utusan-utusan negara lainnya. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri tidak menghadiri acara pelantikan tersebut. Pada malam hari yang sama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan anggota kabinet yang baru, yaitu Kabinet Indonesia Bersatu.

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2009

Artikel atau sebagian dari artikel ini terkait dengan suatu peristiwa terkini.
Tag ini diberikan pada 9 April 2009
Informasi di halaman ini bisa berubah setiap saat.

 

 

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 diselenggarakan secara serentak untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan pada tanggal 9 April 2009 (sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 5 April, namun kemudian diundur).

Pemilihan Umum Anggota DPR

Pemilihan Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dengan peserta pemilu adalah partai politik.

Peserta

Pemilihan Umum Anggota DPR 2009 diikuti oleh 38 partai politik. Pada 7 Juli 2008, Komisi Pemilihan Umum mengumumkan daftar 34 partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi faktual untuk mengikuti Pemilu 2009, dimana 18 partai diantaranya merupakan partai politik yang baru pertama kali mengikuti pemilu ataupun baru mengganti namanya. 16 partai lainnya merupakan peserta Pemilu 2004 yang berhasil mendapatkan kursi di DPR periode 2004-2009, sehingga langsung berhak menjadi peserta Pemilu 2009. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa seluruh partai politik peserta Pemilu 2004 berhak menjadi peserta Pemilu 2009, sehingga berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta No. 104/VI/2008/PTUN.JKT, KPU menetapkan 4 partai politik lagi sebagai peserta Pemilu 2009. Berikut daftar 38 partai politik nasional peserta Pemilihan Umum Anggota DPR 2009 beserta nomor urutnya.

 

No.

nama partai

1

Partai Hati Nurani Rakyat

2

Partai Karya Peduli Bangsa

3

Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia

4

Partai Peduli Rakyat Nasional

5

Partai Gerakan Indonesia Raya

6

Partai Barisan Nasional

7

Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

8

Partai Keadilan Sejahtera

9

Partai Amanat Nasional

10

Partai Perjuangan Indonesia Baru

11

Partai Kedaulatan

12

Partai Persatuan Daerah

13

Partai Kebangkitan Bangsa

14

Partai Pemuda Indonesia

15

Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

16

Partai Demokrasi Pembaruan

17

Partai Karya Perjuangan

18

Partai Matahari Bangsa

19

Partai Penegak Demokrasi Indonesia

No.

dan nama partai

20

Partai Demokrasi Kebangsaan

21

Partai Republika Nusantara

22

Partai Pelopor

23

Partai Golongan Karya

24

Partai Persatuan Pembangunan

25

Partai Damai Sejahtera

26

Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia

27

Partai Bulan Bintang

28

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

29

Partai Bintang Reformasi

30

Partai Patriot

31

Partai Demokrat

32

Partai Kasih Demokrasi Indonesia

33

Partai Indonesia Sejahtera

34

Partai Kebangkitan Nasional Ulama

41

Partai Merdeka

42

Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia

43

Partai Sarikat Indonesia

44

Partai Buruh

Daerah pemilihan

Daerah pemilihan Pemilihan Umum Anggota DPR adalah provinsi atau gabungan kabupaten/kota dalam 1 provinsi, dengan total 77 daerah pemilihan. Jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan berkisar antara 3-10 kursi, yang ditentukan sesuai dengan jumlah penduduk.

 

Survei

Survei-survei nasional yang dilakukan lembaga-lembaga survei pada tahun 2007 dan 2008 menunjukkan tiga tempat teratas kemungkinan akan diperebutkan oleh PDI Perjuangan, Partai Golkar , dan Partai Demokrat, diikuti partai-partai Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan, serta partai [2] baru Partai Hati Nurani Rakyat.

Hasil

Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009-2014

Berikut adalah hasil sementara perolehan suara dan kursi partai politik peserta Pemilu Anggota DPR 2009.
(Data rekapitulasi manual KPU pada Jumat, 8 Mei 2009 pukul 17.50 WIB)

No.  

Partai  

Jumlah suara  

Persentase suara  

Jumlah kursi DPR  

Persentase kursi DPR  

1

Partai Hati Nurani Rakyat

3.680.008

3,68%

2

Partai Karya Peduli Bangsa

1.422.589

1,42%

0

0,00%

3

Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia

717.517

0,72%

0

0,00%

4

Partai Peduli Rakyat Nasional

1.154.244

1,15%

0

0,00%

5

Partai Gerakan Indonesia Raya

4.519.183

4,52%

6

Partai Barisan Nasional

730.144

0,73%

0

0,00%

7

Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

895.544

0,90%

0

0,00%

8

Partai Keadilan Sejahtera

8.052.231

8,05%

9

Partai Amanat Nasional

6.007.306

6,01%

10

Partai Perjuangan Indonesia Baru

174.955

0,17%

0

0,00%

11

Partai Kedaulatan

395.141

0,40%

0

0,00%

12

Partai Persatuan Daerah

490.721

0,49%

0

0,00%

13

Partai Kebangkitan Bangsa

5.018.960

5,02%

14

Partai Pemuda Indonesia

372.121

0,37%

0

0,00%

15

Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

303.650

0,30%

0

0,00%

16

Partai Demokrasi Pembaruan

855.873

0,86%

0

0,00%

17

Partai Karya Perjuangan

321.040

0,32%

0

0,00%

18

Partai Matahari Bangsa

390.212

0,39%

0

0,00%

19

Partai Penegak Demokrasi Indonesia

126.095

0,13%

0

0,00%

20

Partai Demokrasi Kebangsaan

625.009

0,62%

0

0,00%

21

Partai Republika Nusantara

586.923

0,59%

0

0,00%

22

Partai Pelopor

315.780

0,32%

0

0,00%

23

Partai Golongan Karya

14.335.312

14,33%

24

Partai Persatuan Pembangunan

5.421.572

5,42%

25

Partai Damai Sejahtera

1.327.430

1,33%

0

0,00%

26

Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia

433.111

0,43%

0

0,00%

27

Partai Bulan Bintang

1.825.534

1,83%

0

0,00%

28

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

14.280.875

14,28%

29

Partai Bintang Reformasi

1.211.889

1,21%

0

0,00%

30

Partai Patriot

445.940

0,45%

0

0,00%

31

Partai Demokrat

20.872.626

20,87%

32

Partai Kasih Demokrasi Indonesia

294.083

0,29%

0

0,00%

33

Partai Indonesia Sejahtera

287.234

0,29%

0

0,00%

34

Partai Kebangkitan Nasional Ulama

1.517.625

1,52%

0

0,00%

41

Partai Merdeka

107.527

0,11%

0

0,00%

42

Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia

142.841

0,14%

0

0,00%

43

Partai Sarikat Indonesia

137.092

0,14%

0

0,00%

44

Partai Buruh

232.348

0,23%

0

0,00%

Jumlah

100.028.285

100,00%

560

100,00%

Keterangan:
Karena adanya penerapan parliamentary threshold, partai politik yang memperoleh suara dengan persentase kurang dari 2,50% tidak berhak memperoleh kursi di DPR.

Pemilihan Umum Anggota DPD

Pemilihan Umum Anggota DPD 2009 dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak, dengan peserta pemilu adalah perseorangan. Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 kursi, dengan daerah pemilihan adalah provinsi.

Hasil

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar anggota Dewan Perwakilan Daerah 2009-2014

Pemilihan Umum Anggota DPRD

Pemilihan Umum Anggota DPRD 2009 dilaksanakan dengan sistem, aturan, dan peserta yang sama dengan Pemilihan Umum Anggota DPR. Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, ada tambahan 6 partai politik lokal yang berhak mengikuti Pemilihan Umum Anggota DPRD di provinsi tersebut, sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan Nota Kesepahaman Helsinki 2005. Berikut daftar 6 partai politik lokal Aceh tersebut beserta nomor urutnya.

No.

Lambang dan nama partai

35

Partai Aceh Aman Seujahtra

36

Partai Daulat Aceh

37

Partai Suara Independen Rakyat Aceh

No.

Lambang dan nama partai

38

Partai Rakyat Aceh

39

Partai Aceh

40

Partai Bersatu Aceh

Lain-lain

Pemungutan suara pada Pemilihan Umum 2009 dilakukan dengan cara menandai (mencontreng), berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya dimana pemungutan suara dilakukan dengan cara mencoblos. Pencontrengan dilakukan pada kolom nama partai atau nama/nomor urut calon anggota DPR atau DPRD, dan pada nama/foto/nomor urut calon anggota DPD, sebanyak 1 kali.

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2009 juga diikuti oleh dua orang calon anggota lembaga legislatif eks-warga negara asing: Petra Odebrecht dari Provinsi Bali (DPR, dari PDP, semula warga negara Jerman) dan Robert Ali Sakias dari Provinsi Papua (DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang, dari PDI-P, semula warga negara Papua Nugini).

Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang menyangkut ketentuan sistem nomor urut. Dengan pembatalan ini, penetapan calon anggota terpilih ditentukan oleh suara yang diperoleh masing-masing calon, tanpa melihat nomor urut.

Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 yang memungkinkan KPU melakukan perbaikan Daftar Pemilih Tetap sebanyak 1 kali dan mensahkan pencontrengan sebanyak lebih dari 1 kali pada kolom partai politik atau calon anggota DPD yang sama.

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2009

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Artikel atau sebagian dari artikel ini terkait dengan pemilihan umum di masa depan.
Informasi di halaman ini bisa berubah setiap saat (tidak jarang perubahan yang besar) seiring dengan pelaksanaan pemilu tersebut.

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2009 diselenggarakan untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014. Pemilihan Umum ini adalah yang kedua kalinya diselenggarakan di Indonesia.

Pemilu ini dijadwalkan akan berlangsung di bulan Juli 2009.

Sistem Pemilihan Umum

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Apabila tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Bakal Calon Presiden

Sejumlah tokoh telah mengumumkan akan mencalonkan diri atau menerima pencalonan pada 2009, diantaranya:

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat.

Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dari PDI-P

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid dari PKB

Mantan Ketua DPR Akbar Tandjung dari Golkar

Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dari PBB

Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng – independen

Tokoh-tokoh yang telah menyatakan kemungkinan akan mencalonkan diri antara lain

Gubernur Yogyakarta Hamengkubuwono X dari Golkar.

Wakil Presiden Jusuf Kalla dari Golkar.

Mantan Panglima Kostrad Prabowo Subianto dari GERINDRA,

Tokoh-tokoh lain yang dianggap memiliki peluang dalam pemilihan presiden antara lain,

Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia / Panglima ABRI Wiranto dari Partai Hanura.

 

Survei

Survei nasional yang diumumkan oleh Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Pusdeham) pada November 2007 (jumlah responden=3527) menunjukkan 17,1% responden mendukung Hamengkubuwono X; Ketua MPR Hidayat Nur Wahid 11,7%; Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir 8,7%; Yusril Ihza Mahendra 8,6%; dan Anas Urbaningrum 3,9%.

Survei nasional yang diumumkan oleh Indo Barometer pada Desember 2007 (n=1200) menunjukkan 49,5% responden akan mendukung Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu 2009, Yusuf Kalla didukung 21,7%, dan Hamengkubuwono X mendapatkan 14,7%.

Survei nasional yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada Januari 2008 (n=1200) menunjukkan dari 20 nama calon, Susilo Bambang Yudhoyono didukung oleh 34%, Megawati 24.2%, Sri Sultan 6.6%, Gus Dur 4.4%, Wiranto 4.1% Amien Rais 3%, dan Jusuf Kalla 1.9%.